Di balik catatan panjang pembangunan dan stabilitas politik yang sering dibanggakan Orde Baru, ada sisi gelap yang tidak kalah penting untuk dikenang: hilangnya sejumlah aktivis, mahasiswa, dan warga sipil secara misterius. Isu ini bukan sekadar fragmen sejarah, tetapi bagian dari luka kolektif bangsa yang belum sepenuhnya sembuh hingga kini.
Mereka Pergi dan Tak Pernah Kembali
Menjelang runtuhnya rezim Soeharto pada 1998, Indonesia diguncang oleh gelombang demonstrasi besar-besaran. Di balik euforia reformasi, terjadi serangkaian penculikan dan penghilangan paksa terhadap para aktivis yang dianggap mengancam status quo. Banyak dari mereka adalah mahasiswa dan pegiat demokrasi yang menyuarakan tuntutan perubahan, mulai dari penghapusan dwifungsi ABRI hingga penuntutan atas kasus korupsi dan pelanggaran HAM.
Menurut laporan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), setidaknya terdapat 23 orang aktivis pro-demokrasi yang menjadi korban penghilangan paksa pada tahun 1997--1998. Dari jumlah tersebut, sebagian berhasil kembali, sebagian ditemukan dalam kondisi cacat fisik dan psikologis, dan sisanya hilang hingga kini tanpa kejelasan nasib.
Dibungkam Tanpa Suara: Cara Rezim Menjaga Kekuasaan
Penghilangan paksa bukan sekadar pelanggaran hukum biasa. Ini adalah kejahatan terhadap kemanusiaan. Metodenya sistematis, melibatkan aktor-aktor negara, dan bertujuan membungkam oposisi dengan cara paling ekstrem: melenyapkan manusia dari kehidupan sosial tanpa jejak.
Aktivis seperti Wiji Thukul, penyair kerakyatan dari Solo, menjadi simbol penting dalam narasi ini. Puisi-puisinya yang lantang, seperti "Hanya Satu Kata: Lawan!", menjadi nyala api perlawanan terhadap ketidakadilan. Ia menghilang sejak tahun 1998 dan hingga kini belum ditemukan. Istrinya, Sipon, masih menanti kabar---sama seperti ratusan keluarga lain yang kehilangan anggota keluarga mereka dalam senyap.
Jejak Tersembunyi di Balik Seragam
Pada 2006, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) merilis hasil penyelidikan pro justisia yang menyimpulkan bahwa kasus penghilangan orang secara paksa pada 1997--1998 adalah pelanggaran HAM berat. Dokumen Komnas HAM bahkan menyebut adanya keterlibatan unsur militer dalam operasi penculikan ini.
Namun, alih-alih diadili secara tuntas, sebagian aktor kunci kasus ini justru melenggang dalam sistem kekuasaan pasca-reformasi. Beberapa di antaranya bahkan menjabat posisi penting di pemerintahan atau legislatif. Fakta ini menunjukkan betapa kuatnya impunitas dalam transisi demokrasi Indonesia.