Setelah bertahun-tahun menempuh pendidikan di perguruan tinggi, banyak mahasiswa yang berharap bisa segera mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan bidang studi mereka. Namun, kenyataannya tidak selalu semudah yang dibayangkan. Di Indonesia, mencari kerja setelah lulus perguruan tinggi seringkali menjadi tantangan besar. Lalu, seberapa sulit sebenarnya mencari kerja di Indonesia setelah lulus? Mari kita telusuri lebih dalam dengan melihat data, teori, dan faktor-faktor yang memengaruhi.
1. Tingkat Pengangguran Terbuka di Indonesia
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2023, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Indonesia mencapai sekitar 5,32%. Angka ini menunjukkan bahwa dari total angkatan kerja, sekitar 7,86 juta orang masih menganggur. Yang menarik, dari jumlah tersebut, sebagian besar adalah lulusan perguruan tinggi. Data BPS juga menyebutkan bahwa TPT untuk lulusan diploma dan sarjana lebih tinggi dibandingkan lulusan SMA atau SMK. Hal ini mengindikasikan bahwa meskipun memiliki gelar akademis, lulusan perguruan tinggi belum tentu mudah mendapatkan pekerjaan.
Fenomena ini dikenal sebagai "overeducation", di mana jumlah lulusan perguruan tinggi melebihi kebutuhan pasar kerja. Teori ekonomi tenaga kerja menjelaskan bahwa ketika pasokan tenaga kerja berpendidikan tinggi melebihi permintaan, maka akan terjadi ketidaksesuaian antara kualifikasi pendidikan dan pekerjaan yang tersedia. Akibatnya, banyak lulusan yang akhirnya bekerja di bidang yang tidak sesuai dengan studi mereka atau bahkan menganggur.
2. Ketidaksesuaian antara Pendidikan dan Kebutuhan Pasar Kerja
Salah satu faktor utama yang membuat lulusan perguruan tinggi sulit mendapatkan kerja adalah mismatch antara kurikulum pendidikan dan kebutuhan industri. Menurut penelitian yang dilakukan oleh World Bank pada tahun 2021, sekitar 50% perusahaan di Indonesia mengeluhkan kurangnya keterampilan teknis dan soft skills pada lulusan baru. Industri saat ini membutuhkan tenaga kerja yang tidak hanya memiliki pengetahuan teoritis, tetapi juga kemampuan praktis seperti analisis data, pemrograman, dan manajemen proyek.
Selain itu, perkembangan teknologi yang pesat juga menuntut adaptasi cepat. Lulusan yang tidak memiliki keterampilan digital atau kemampuan beradaptasi dengan perubahan teknologi akan ketinggalan. Hal ini diperparah dengan masih banyaknya perguruan tinggi yang belum mengintegrasikan kurikulum berbasis industri atau program magang yang memadai.
3. Persaingan yang Ketat
Jumlah lulusan perguruan tinggi di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya. Data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) mencatat bahwa pada tahun 2022, terdapat lebih dari 1,5 juta lulusan sarjana dan diploma. Sementara itu, lapangan kerja yang tersedia tidak sebanding dengan jumlah lulusan tersebut. Akibatnya, persaingan untuk mendapatkan pekerjaan menjadi sangat ketat.
Teori "Job Competition Theory" yang dikemukakan oleh Lester Thurow menjelaskan bahwa dalam pasar kerja, pelamar tidak hanya bersaing berdasarkan kualifikasi mereka, tetapi juga berdasarkan posisi mereka dalam hierarki persaingan. Artinya, meskipun seseorang memiliki kualifikasi yang baik, ia tetap harus bersaing dengan ribuan pelamar lain yang mungkin memiliki kualifikasi lebih tinggi atau pengalaman lebih banyak.