Izin Tambang Bukanlah Izin Merusak: Jeritan Masyarakat Koropusi Terhadap Ketidak Seriusan Yang di akibatkan oleh PT. Alaska.
Banjir besar kembali melanda wilayah pemukiman masyarakat Koropusi setelah hujan deras mengguyur kawasan itu pada awal bulan ini. Genangan air berlumpur deras yang mengalir dari perbukitan telah merendam rumah-rumah warga, menghancurkan usaha, dan merusak kebun yang selama ini menjadi sumber penghidupan.
Namun yang menjadi sorotan utama bukanlah derasnya hujan melainkan aktivitas pertambangan PT. Alaska yang beroperasi di atas kawasan pemukiman tanpa memperhatikan aspek keselamatan lingkungan. PT. Alaska dinilai lalai dan tidak serius dalam menata sistem tanggul, penyiraman jalan tambang, pengelolaan saluran air, reklamasi bukit, serta pengaturan limpasan hujan. Semua ini memperlihatkan kelalaian nyata yang menyebabkan kerugian besar, baik secara materil maupun immateril bagi masyarakat Koropusi.
Warga bertanya: apakah ini musibah alam, atau bencana yang lahir dari kerakusan tambang?
Sebelum aktivitas tambang dimulai, banjir serupa tak pernah terjadi. Kini, hampir setiap kali hujan turun deras, limpasan air dari lokasi tambang langsung menghantam pemukiman, tempat usaha, dan kebun warga. Vegetasi alami yang dulunya menjadi penahan air telah habis, dan tidak ada sistem drainase yang layak untuk melindungi masyarakat di bawahnya.
Dampaknya nyata. Rumah-rumah warga penuh lumpur, Usaha isi ulang air, warung, serta kos-kosan terhenti total. Kebun milik warga rusak dan tidak bisa dipanen. Di tengah penderitaan ini, PT. Alaska menyatakan akan bertanggung jawab, namun hingga kini tindakan konkret belum terlihat, bahkan proses ganti rugi dan kompensasi justru berbelit-belit.
Secara hukum, bencana ini tidak bisa dianggap sebagai peristiwa alam biasa. Dalam Pasal 88 UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, jelas dinyatakan: “Setiap orang yang tindakannya menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup wajib bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang terjadi.”
Artinya, meskipun PT. Alaska mengklaim telah mengantongi Izin Usaha Pertambangan (IUP), tanggung jawab hukum tetap melekat. Tidak ada pembenaran yang dapat membebaskan mereka dari kewajiban mengganti kerugian, karena kerusakan telah terjadi akibat aktivitas mereka.
Lebih jauh, PT. Alaska juga berpotensi digugat berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata, karena telah melakukan perbuatan melawan hukum yang menyebabkan kerugian nyata bagi warga Koropusi.
Izin yang dimiliki oleh PT. Alaska bukanlah sekadar syarat administratif. IUP dan AMDAL adalah komitmen hukum dan lingkungan. Jika PT. Alaska tidak menjalankan dokumen AMDAL, tidak melakukan reklamasi, tidak mengelola air limpasan, dan tidak menyediakan perlindungan terhadap pemukiman di bawahnya, maka semua itu menjadi bukti pelanggaran nyata terhadap hukum lingkungan.
Warga Koropusi secara tegas meminta dokumen AMDAL dan semua perizinan yang dimiliki PT. Alaska untuk diperiksa. Jika ditemukan pelanggaran atau ketidaksesuaian, maka aktivitas tambang tersebut sudah selayaknya dihentikan dan perusahaan wajib bertanggung jawab secara penuh.