Dua dekade setelah Reformasi 1998, demokrasi Indonesia sempat menjadi simbol keberhasilan transisi dari rezim otoriter menuju sistem politik yang lebih terbuka, partisipatif, dan inklusif. Kita menyaksikan pemilu langsung, kebebasan pers, dan tumbuhnya kesadaran masyarakat sipil sebagai hasil nyata dari perjuangan rakyat. Namun, pencapaian ini kini berada di titik kritis. Demokrasi Indonesia sedang diuji oleh kekuatan-kekuatan lama yang mulai bangkit kembali. Bahkan, sebagian kalangan menilai bahwa demokrasi Indonesia tengah mengalami kemunduran perlahan namun pasti.
Fenomena ini dikenal dalam kajian ilmu politik sebagai democratic backsliding kemunduran sistematis dari prinsip-prinsip dasar demokrasi, seperti akuntabilitas, supremasi hukum, pembatasan kekuasaan, serta kebebasan sipil dan politik. Gejala-gejala kemunduran ini semakin kentara dalam beberapa tahun terakhir seperti oposisi politik yang lemah, kebebasan berpendapat yang terus ditekan, serta menguatnya elitisme dan oligarki dalam proses pengambilan keputusan. Namun yang paling mengkhawatirkan adalah kebangkitan militerisme dalam ruang sipil dan politik Di tengah menurunnya kualitas demokrasi, pengaruh militer dalam urusan sipil justru kembali mencuat. Ini bukan saja kemunduran melainkan bentuk nyata pengkhianatan terhadap semangat Reformasi 1998.
Reformasi 1998 bukan sekadar peristiwa politik yang menumbangkan Soeharto. Ia merupakan tonggak sejarah, simbol dari perjuangan kolektif rakyat Indonesia yang menolak rezim militeristik dan otoriter. Salah satu tuntutan utama gerakan reformasi adalah mengakhiri dwi fungsi ABRI yaitu peran ganda militer dalam bidang pertahanan dan pemerintahan sipil. TNI pascareformasi pun sempat menjalani proses transformasi keluar dari parlemen dengan membatasi peran dalam kehidupan sipil serta memfokuskan diri pada fungsi utama sebagai alat pertahanan negara. Dalam konteks itu, muncul harapan besar bahwa Indonesia akan menapaki jalan demokrasi secara konsisten.
Namun kenyataannya dalam beberapa tahun terakhir kita justru menyaksikan kembalinya militer ke ranah sipil secara terselubung. Proses ini tidak berlangsung secara frontal melainkan melalui normalisasi perlahan yang diam-diam menggerogoti prinsip supremasi sipil. Laporan dari lembaga-lembaga internasional seperti Freedom House dan The Economist Intelligence Unit (EIU) menunjukkan dengan tegas bahwa demokrasi Indonesia mengalami penurunan kualitas Dari tahun ke tahun, skor kebebasan sipil dan kebebasan politik Indonesia menurun. Indikator utama dari kemunduran ini antara lain Pembatasan kebebasan sipil termasuk pengawasan dan pembungkaman terhadap kelompok kritis, aktivis, dan jurnalis di Kriminalisasi melalui pasal-pasal karet seperti yang terjadi dalam penggunaan UU ITE untuk membungkam kritik terhadap penguasa. Lemahnya oposisi politik yang membuat pemerintahan semakin dominan tanpa kontrol dan keseimbangan yang efektif, dan Meningkatnya peran oligarki, di mana sekelompok elit ekonomi dan politik menguasai arah kebijakan nasional demi kepentingan pribadi atau kelompok.
Situasi ini diperparah dengan kembalinya militer ke berbagai posisi strategis yang seharusnya menjadi domain sipil. Tanda-tanda kebangkitan militerisme dapat dikenali dari berbagai fenomena yang semakin sering terjadi yaitu Penempatan perwira militer aktif maupun purnawirawan dalam jabatan strategis, baik di kementerian, BUMN, maupun lembaga daerah. Hal ini memperluas dominasi militer dalam birokrasi, Keterlibatan militer dalam urusan sipil seperti penanganan bencana, pembangunan infrastruktur, program ketahanan pangan, hingga pengamanan dalam negeri. Ini membuka celah bagi peran militer yang tidak lagi dibatasi oleh fungsi pertahanan, dan Usulan revisi UU TNI yang memberi ruang bagi prajurit aktif untuk menduduki jabatan sipil. Jika disahkan, hal ini akan secara langsung menabrak prinsip-prinsip reformasi militer yang telah diperjuangkan dua dekade lalu.
Normalisasi keterlibatan militer dalam urusan sipil bukan hanya bertentangan dengan prinsip demokrasi, tetapi juga membuka celah bagi potensi penyalahgunaan kekuasaan abuse of power. Dalam sejarah politik, campur tangan militer dalam politik selalu menghasilkan pembungkaman, bukan kebebasan.
Demokrasi yang sehat mensyaratkan pemisahan yang tegas antara kekuasaan sipil dan militer. Ketika militer terlibat dalam politik praktis dan kehidupan birokrasi sipil, maka yang terjadi adalah ketimpangan kekuasaan. Masyarakat sipil kehilangan kontrol, dan lembaga-lembaga negara tunduk pada otoritas yang tidak akuntabel secara demokratis. Lebih dari itu, kebebasan rakyat untuk menyampaikan kritik menjadi semakin terbatas. Rasa takut mulai menjangkiti ruang publik. Kritik dianggap subversif, aktivisme dikaitkan dengan ancaman stabilitas, dan ruang partisipasi warga dipersempit.
Situasi ini berdampak nyata bagi kehidupan masyarakat seperti Menurunnya kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga demokrasi seperti parlemen, pengadilan, dan partai politik, Terpinggirkannya masyarakat sipil dalam proses pembuatan kebijakan publik, dan Ketakutan untuk menyampaikan pendapat, karena ancaman represi, doxing, atau bahkan kriminalisasi.
Jika kecenderungan ini dibiarkan terus berlanjut, Indonesia tidak sedang melangkah maju, tetapi justru sedang meluncur kembali ke era otoritarianisme terselubung di mana kekuasaan dijalankan dengan tangan besi, tapi dibungkus dalam retorika nasionalisme semu. Tidak ada sistem yang sempurna, dan demokrasi bukanlah pengecualian. Ia rentan terhadap korupsi, kolusi, dan nepotisme oleh kepentingan elit. Namun demikian, demokrasi tetap menjadi sistem yang paling mampu memberikan ruang bagi partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas. Sebaliknya militerisme dalam politik adalah jalan mundur, Ia menempatkan kekuasaan di tangan kelompok yang tidak dipilih secara demokratis, tidak akuntabel, dan berpotensi represif.
Kita harus belajar dari sejarah. Reformasi 1998 mengajarkan bahwa perubahan hanya mungkin terjadi ketika rakyat bersatu menolak dominasi kekuasaan yang absolut. Kini, tantangan itu hadir kembali dan kita tidak boleh tinggal diam. Pertarungan untuk menjaga demokrasi tidak bisa hanya dibebankan pada institusi formal. Masyarakat sipil, akademisi, mahasiswa, media, dan organisasi sosial harus kembali memainkan peran aktif. Kita harus menyuarakan kembali nilai-nilai reformasi yaitu supremasi sipil, keterbukaan, kebebasan berekspresi, dan partisipasi publik dalam setiap proses pengambilan keputusan.
Jika rakyat diam, maka sejarah akan mencatat bahwa demokrasi pernah tumbuh di negeri ini, tetapi dibiarkan mati karena ketakutan dan apatisme. Demokrasi yang sejatinya adalah ruang hidup rakyat. Jika demokrasi mati, yang menggantikannya bukanlah ketertiban, melainkan ketakutan. Dan jika kita ingin masa depan Indonesia tetap berada di tangan rakyat, maka militerisme harus ditegakkan pada tempatnya yaitu di barak, bukan di birokrasi.