Mohon tunggu...
ARDIANSYAH
ARDIANSYAH Mohon Tunggu... mahasiswa

Aktif dalam berbagai forum advokasi serta pendidikan hukum. Saat ini menaruh perhatian besar pada isu-isu ketenagakerjaan, lingkungan, hak asasi manusia, pendidikan, dan sistem hukum progresif berbasis keadilan sosial.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Polemik Penetapan Tersangka Dalam SPDP

11 Juni 2025   00:45 Diperbarui: 11 Juni 2025   00:45 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam sistem hukum pidana Indonesia, penetapan tersangka bukanlah perkara sepele. Ia adalah titik krusial yang menentukan peralihan status seseorang dari warga negara biasa menjadi subjek hukum yang dibatasi hak-haknya secara sah dan paksa oleh negara. Namun dalam praktik, seringkali muncul perdebatan soal kapan tepatnya status tersangka itu melekat. Apakah sejak diterbitkannya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP)? Atau setelah terpenuhinya alat bukti permulaan yang cukup?

Jika merujuk pada Pasal 10 ayat (1) Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana, penetapan tersangka baru muncul di urutan kelima (huruf d) dari sembilan tahapan penyidikan. Ini menunjukkan bahwa penetapan tersangka adalah hasil dari proses, bukan titik awalnya. Maka, menjadikan penerbitan SPDP sebagai momen penetapan tersangka sebagaimana kadang diasumsikan dalam praktik kepolisian adalah bentuk penyimpangan yang patut dikritisi.

Apalagi, Pasal 14 ayat (3) dan (4) Perkap yang sama menyatakan bahwa jika tersangka belum dapat ditetapkan, maka SPDP tetap bisa diterbitkan tanpa mencantumkan nama tersangka. Dan jika penetapan tersangka dilakukan lebih dari tujuh hari setelah surat perintah penyidikan (Sprindik) dikeluarkan, maka nama tersangka harus disusulkan atau dilampirkan kemudian. Artinya, SPDP bukan bukti penetapan tersangka, melainkan pemberitahuan bahwa penyidikan telah dimulai. Poin ini penting demi melindungi hak-hak individu dan mencegah negara bertindak sewenang-wenang.

Dalam konteks negara hukum sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, setiap tindakan pemerintah harus tunduk pada hukum. Negara hukum menuntut prosedur yang tertib, transparan, dan menghormati hak asasi manusia. Ketika status tersangka diberikan tanpa dasar hukum yang cukup dan prosedur yang benar, maka yang dilanggar bukan hanya KUHAP, tetapi juga prinsip konstitusional itu sendiri.

KUHAP sendiri memberikan batasan ketat terhadap upaya paksa, termasuk penangkapan. Pasal 17 KUHAP menegaskan bahwa penangkapan hanya sah jika ada “dugaan keras” berdasarkan “bukti permulaan yang cukup” yang oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 21/PUU-XII/2014 dijelaskan sebagai minimal dua alat bukti dari Pasal 184 KUHAP serta disertai pemeriksaan calon tersangka. Ini memperkuat bahwa seseorang tidak bisa ditangkap apalagi ditahan jika hanya berdasarkan SPDP atau sekadar laporan polisi.

Masalahnya, dalam praktik seringkali upaya paksa dilakukan terlalu dini. Seseorang bisa saja ditangkap atau dipanggil sebagai tersangka bahkan sebelum dua alat bukti dikumpulkan. Ini bukan hanya pelanggaran prosedural, tetapi juga perampasan hak asasi yang dapat menurunkan legitimasi aparat penegak hukum.

Kelemahan struktural KUHAP pun turut memperparah situasi. KUHAP belum mengatur perlindungan terhadap pelapor, saksi, dan korban secara komprehensif. Selain itu, banyak putusan pengadilan pidana yang tidak jelas mencantumkan perintah penahanan, sehingga rawan multitafsir dan penyalahgunaan. Dalam praktik, jaksa bahkan dapat mengajukan Peninjauan Kembali (PK), padahal secara normatif hanya terpidana atau ahli warisnya yang diberi hak tersebut menurut Pasal 263 KUHAP.

Di sinilah pentingnya reformasi hukum acara pidana. KUHAP lahir pada 1981 empat dekade lalu saat wajah Indonesia masih otoriter. Dalam konteks demokrasi konstitusional saat ini, pembaruan terhadap hukum acara pidana adalah keniscayaan. Sudah saatnya KUHAP diperkuat dengan asas due process of law yang menjamin keadilan substantif, bukan hanya prosedural.

Penyelidikan dan penyidikan adalah fondasi dari proses peradilan pidana. Jika fondasi ini rapuh karena praktik yang melanggar prinsip hukum dan HAM, maka seluruh bangunan peradilan bisa runtuh. Maka, SPDP harus dipahami sebagai titik awal proses, bukan penetapan status tersangka. Hanya dengan memahami dan menerapkan aturan dengan benar, kita bisa menjamin bahwa hukum bekerja sebagai pelindung, bukan penindas.

Dalam sistem peradilan pidana yang sehat, aparat penegak hukum tidak bisa bekerja berdasarkan asumsi dan interpretasi sempit terhadap peraturan. Mereka harus tunduk pada prinsip legalitas, keadilan, dan perlindungan HAM. Jika tidak, maka negara hukum hanya akan menjadi jargon kosong yang membenarkan penyalahgunaan kekuasaan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun