Pendidikan sejatinya adalah jalan utama untuk membentuk masyarakat yang adil, cerdas, dan beradab. Namun dalam praktiknya, khususnya di Indonesia, realitas pendidikan justru menjadi alat reproduksi ketimpangan sosial. Alih-alih menjadi ruang pembebasan, pendidikan hari ini lebih menyerupai mekanisme seleksi sosial yang hanya menguntungkan sebagian kelompok dengan privilese ekonomi dan geografis.
Salah satu persoalan paling krusial adalah ketidakadilan akses pendidikan. Banyak individu tidak memperoleh pendidikan yang sesuai dengan kapasitas dan potensi mereka karena terkendala biaya dan letak geografis yang sulit dijangkau. Mereka yang tinggal di daerah terpencil masih harus berjuang keras hanya untuk bisa mengenyam pendidikan dasar yang layak. Ini menciptakan jurang sosial yang semakin lebar antara yang mampu dan tidak mampu.
Sejak usia dini, kita telah dicekoki logika pasar melalui ijazah merupakan tiket untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Alhasil, pendidikan dipersepsikan sebagai alat mobilitas sosial dan ekonomi semata. Orientasi ini telah menggeser tujuan pendidikan dari proses pencarian makna dan pembentukan karakter, menjadi sekadar formalitas administratif untuk mengisi pasar kerja. Tak heran, biaya pendidikan terus meningkat, disamarkan dalam bentuk “sumbangan”, “bantuan”, atau “pungutan sukarela” yang sebenarnya bersifat wajib. Institusi pendidikan pun berubah menjadi ladang komersial, tempat para aktor lembaga dan pemilik modal mencari keuntungan.
Pada tahun 2019, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menggulirkan gagasan “Merdeka Belajar” yang diterapkan lebih lanjut dalam sistem pendidikan tinggi melalui program Kampus Merdeka. Konsep ini tampaknya menjanjikan: mahasiswa diberi keleluasaan memilih mata kuliah lintas prodi, mengikuti program magang, wirausaha, hingga pertukaran pelajar. Namun jika ditelaah lebih dalam, “kemerdekaan” yang ditawarkan justru menjebak mahasiswa dalam logika industrialisasi pendidikan. Alih-alih membebaskan pikiran, program ini justru diarahkan untuk mencetak tenaga kerja siap pakai, bukan individu berpikir kritis.
Dalam semangat Revolusi Industri 4.0, pendidikan direduksi menjadi pabrik pencetak tenaga kerja. Mahasiswa dijejali berbagai program berbasis keterampilan praktis demi kesiapan kerja, sementara ruang untuk berpikir kritis dan reflektif justru menyempit. Mereka yang mempertanyakan sistem ini sering kali dicap “tidak produktif” atau dianggap sebagai hambatan pembangunan. Konsep “merdeka belajar” pun kehilangan substansinya, menyempit menjadi kebebasan terkontrol yang dibingkai oleh kepentingan ekonomi.
Pendidikan pun tercerabut dari hakikatnya sebagai proses memanusiakan manusia. Negara, melalui kebijakan pendidikan yang kian teknokratis, menjadi aktor utama dalam membekukan daya pikir mahasiswa. Mereka disibukkan dengan tugas-tugas administratif dan kurikulum seragam yang mengabaikan minat dan bakat individu. Walaupun diberikan kesempatan belajar lintas prodi, nyatanya sistem yang rigid tetap mengekang kreativitas dan kebebasan berpikir.
Organisasi kemahasiswaan — yang seharusnya menjadi ruang pembelajaran alternatif dan tempat tumbuhnya kesadaran kolektif — ikut tergerus oleh dampak pandemi COVID-19. Dalam dua tahun terakhir, minat belajar mahasiswa di Indonesia dilaporkan menurun drastis hingga 70%, dan hanya sebagian kecil yang masih memiliki semangat tinggi dalam menjalani perkuliahan. Situasi ini mengkhawatirkan, sebab pendidikan kehilangan daya dorong transformasinya.
Padahal, berpikir kritis adalah inti dari kemerdekaan dalam belajar. Manusia adalah makhluk berpikir; dari pikiran-pikiran inilah lahir gagasan, refleksi, dan inovasi. Namun di negeri ini, berpikir kritis sering kali disalahartikan sebagai bentuk perlawanan. Mahasiswa yang menyuarakan pandangan berbeda dianggap radikal, bahkan mengancam stabilitas negara. Kampus, yang dulunya dikenal sebagai ruang dialektika, perlahan berubah menjadi ruang indoktrinasi dan pelanggengan kekuasaan.
Ironisnya, dalam sistem “merdeka belajar” yang diagung-agungkan, tak ada yang benar-benar merdeka. Kemerdekaan hanya menjadi slogan yang telah dimanipulasi oleh sistem. Sejak kecil, kita didesain melalui pola pedagogi yang menyamaratakan individu. Pendidikan menjadi sekadar alat administratif untuk memenuhi kebutuhan pasar kerja, bukan tempat menemukan jati diri dan mengembangkan potensi manusia seutuhnya.
Guru dan dosen pun tak luput dari jeratan sistem ini. Mereka dibebani dengan sertifikasi, akreditasi, dan beban administrasi yang menjauhkan mereka dari fungsi dasarnya sebagai pendidik. Akibatnya, hubungan emosional dan intelektual antara guru dan murid menjadi hambar. Semakin sedikit pula mahasiswa yang tertarik menekuni profesi guru, apalagi dengan tuntutan berjenjang S2 sebagai syarat mutlak di perguruan tinggi. Profesi guru tak lagi dimaknai sebagai pengabdian, tapi sekadar pekerjaan formal yang diukur dari kelengkapan berkas, bukan kualitas hubungan.
Kenyataan ini menandai bahwa pedagogi kita telah tumpul. “Merdeka belajar” kini hanyalah bayang-bayang semu. Padahal, pendidikan seharusnya menjadi ruang untuk memahami diri, mengeksplorasi potensi, dan menemukan arah hidup. Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang memanusiakan, bukan menyeragamkan; yang merangsang keberanian berpikir, bukan menumbuhkan kepatuhan membabi buta.