Mohon tunggu...
Ardi
Ardi Mohon Tunggu... Guru - Guru

Guru Swasta Mengabdi 12 Tahun

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

"Si Kaya" Menikahi "Si Miskin," Solusikah?

21 Februari 2020   18:07 Diperbarui: 21 Februari 2020   18:14 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Pixabay

Menarik untuk diulas! Menko PMK, Muhadjir Effendi mengusulkan mentri agama untuk mengeluarkan fatwa pernikahan lintas tingkat ekonomi, yaitu orang kaya dianjurkan untuk menikahi orang miskin. Dimaksudkan menjadi salah satu cara memutus rantai kemiskinan, menurutnya.   

Dilansir dari laman cnnindonesia.com, kamis (20/02/2020) bahwa usulan yang disampaikannya hanya sebatas intermeso. Beragam komentarpun muncul dari warganet menanggapi hal tersebut. Diantaranya ada yang mengatakan bahwa jodoh itu ada ditangan Tuhan, ada juga yang menanggapi bahwa untuk menjadi kaya tidak instan, butuh kerja keras, kegigihan dan ketekunan.

Lainnya, berkomentar bahwa kaya dalam sekejab sebab jalur pernikahan hanya ada dalam sinetron. Jikapun ada, kemungkinan itu tipis sekali terjadi di dunia nyata. Jika di skala-kan, mungkin satu berbanding seribu.

Pengalaman dari orang yang menikah lintas tingkat ekonomi ini pernah penulis dengar. Ceritanya begini, mereka menikah sebab perjodohan. Calon istrinya seorang dengan kecukupan materi yang sangat baik. Sementara ia hanya seorang biasa. Tidak ada perjanjian khusus atau permintaan muluk saat menyepakati pernikahan.

Pihak wanita juga tidak mensyaratkan hal macam-macam. Seperti mahar yang besar, punya rumah mewah lengkap dengan isinya dan sebagainya. Kesepakatan berlanjut hingga berlangsungnya pernikahan. Semua biaya pernikahan ditanggung oleh pihak wanita. Termasuk tempat tinggal, kendaraan dan sarana prasarana lainnya pasca menikah.

Bahagiakah mereka? Belum tentu. Sang suami merasa terkekang dengan aturan yang ditetapkan oleh pihak wanita. Sebab diawal, semua kebutuhan sudah ditanggung oleh pihak wanita, sang priapun merasa 'impoten" sebagai kepala rumah tangga. Tidak bisa mengambil keputusan. Ia hanya diminta untuk 'menurut saja' dengan kebijakan dari keluarga wanita.

Sebulan dua bulan ia mencoba bertahan melalui hari-hari bagai di penjara emas. Tak perlu lagi baginya memikirkan sebuah pekerjaan, membayar sewa rumah, pelesiran ke berbagai tempat indah bahkan hingga mau makan enak apa lagi, semua sudah ada yang atur.

Tapi dibalik itu, hatinya tidak puas. Ia ingin mendidik istrinya untuk taat padanya, menghargainya dan menghormatinya sebagai suaminya dan kepala rumah tangga. Hal itulah yang belum dirasakan. Yang ada malah, ia harus ikut apa yang mereka mau. Hingga suatu hari terdengar ucapan yang sangat menyakitkan hatinya.

Pihak wanita menyinggung kondisi ekonomi keluargannya. Atas ketersinggungan itu, ia dan keluarganya menjadi kesal hingga berbuntut pada perceraian. Setelah menduda, ia menentukan kriteri calon istrinya adalah wanita yang berasal dari keluarga yang memiliki tingkat ekonomi biasa-biasa saja. Dan kini, ia merengkuh kebahagiaan tersebut.

Menyatukan dua kebiasaan yang jauh berbeda adalah hal yang sangat sulit. Begitupun kebalikannya, jika si wanita yang miskin dan si pria yang kaya. Sulit bagi wanita untuk menyesuaikan diri secara drastis tinggal dalam keluarga yang banyak aturan tata krama dan lain sebagainya.

Semoga bermanfaat

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun