Mohon tunggu...
ardhani prameswari
ardhani prameswari Mohon Tunggu... Guru - guru

seorang yang sangat menyukai photography

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Demokrasi dan Jiwa Kebangsaan Kita

17 Juni 2021   20:30 Diperbarui: 17 Juni 2021   20:48 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Banyak negara yang menilai demokrasi kita berjalan baik sejak kita masuk ke era reformasi. Penilaian itu berdasarkan beberapa indikator yang mereka miliki seperti keterbukaan, hak bersuara dan beberapa indikator lainnya. Hal ini biasanya memang diperbandingkan dengan era sebelumnya yaitu era Orde Baru dimana demokrasi berjalan mandeg dan kita seakan berada di negara tanpa demokrasi.

Sekali lagi penilaian ini adalah standar global tanpa mempertimbangkan budaya lokal dan lain-lain. Kita tahu beberapa hal dalam demokrasi seperti format pemilihan dengan sistem voting adalah pengaruh global. Kita sebagai bangsa yang berakar dari nusantara memiliki budaya mufakat dan musyarawah. Budaya musyawarah dan mufakat ini menjunjung pentingnya satu rasa yang harus dimiliki oleh masing-masing orang atau anggotanya. Berbeda dengan voting yang mengandalkan logika dalam memutuskan sesuatu; seringkali meninggalkan 'satu rasa' itu untuk mewujudkan pilihan dengan suara terbanyak.

Dibalik penilaian masyarakt global yang menilai bahwa demokrasi di Indonesia berjalan dengan baik, kita punya jejak majunya demokrasi yang harus dibayar dengan beberapa hal yang mahal dan menjauhi budaya kita. Majunya demokrasi memiliki dampak yang cukup mengerikan sebagai bangsa yang berbineka dan punya budaya adiluhung.

Contoh yang paling jelas adalah pemilihan umum yang dilakukan dalam sepuluh tahun ini. Pemilu yang seharusnya menjadi salah satu puncak demokrasi menjadi sesuatu yang 'mengerikan'. Para kontestan cenderung menghalalkan segala cara untuk memenangi kontestasi. Begitu juga anggota masyarakt yang seharusnya melihat pemilu sebagai salah satu alat demokrasi tidak bisa lagi melihat dengan jernih.

Sering kita jumpai narasi-narasi permusuhan, bersifat menyerang, ujaran kebencian bahkan fitnah mewakili narasi-narasi itu. Bahkan tak jarang narai yang dilontarkan bersifat hoax alias berita bohong. Hal ini tidak saja ditemukan di media sosial tetapi juga di mediamainstream.

Kita mungkin masih ingat saat seseorang mengabarkan bahwa ada puluhan kontainer surat suara yang telah tercoblos berada di salah satu pelabuhan di Indonesia. Kabar itu mengatakan bahwa kontainer-kontainer itu berasal dari negara Cina. Kejadian lain yang berkait dengan ujaran kebencian dan hoax kita bisa lihat di beberapa berita yang telah lewat. Kita juga menyaksikan ujaran kebencian itu merambah di tempat ibadah yang seharusnya steril dari narasi kebencian seperti itu. Hal ini kita bisa saksikan di Pilkada Jakarta.

Dampaknya memang cukup mengerikan; bahwa diantara pendukung masing saling benci tidak saja kepada tokoh  yang terpilih dan tidak terpilih tetapi juga kepada para pendukung. Kebencian yang sebagian sengaja dipelihara ini membuat demokrasi kita tidak sebaik dan seindah yang dinilai oleh masyarakat global.

Karena itu mungkin saatnya kita melihat kembali sikap-sikap berdemokrasi dan keselarasannya dengan jiwa dan budaya kita; kebangsaan kita. Semoga demokrasi kita memang seindah yang digambarkan masyarakat global; lepas dari rasa benci, kabar bohong bahkan fitnah.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun