Kedua, pembangunan infrastruktur pendukung seperti unit cold storage mini di setiap SPPG. Ketiga, penguatan kelembagaan melalui pembentukan forum koordinasi SPPG yang melibatkan dinas terkait, akademisi, dan pelaku usaha.
Implementasi teknologi digital dapat menjadi game changer dalam pengelolaan SPPG. Pengembangan sistem informasi terintegrasi dapat menghubungkan SPPG dengan pemasok lokal, memantau stok bahan pangan, dan mengoptimalkan distribusi.Â
Aplikasi menu bergizi berbasis lokal dapat membantu pengelola SPPG dalam perencanaan makanan yang lebih variatif.
Untuk jangka panjang, pengembangan SPPG perlu diarahkan pada konsep kawasan mandiri pangan. Setiap SPPG idealnya memiliki kebun gizi sendiri sebagai sumber pasokan sayuran dan buah, serta kolam ikan/ternak kecil untuk memenuhi kebutuhan protein.Â
Konsep ini tidak hanya menjamin keberlanjutan pasokan, tetapi juga menjadi media edukasi gizi bagi masyarakat sekitar.
Evaluasi berkala terhadap kinerja SPPG perlu dilakukan dengan indikator yang komprehensif, mencakup aspek kecukupan gizi, pemanfaatan produk lokal, dampak ekonomi terhadap petani/nelayan, serta kepuasan penerima manfaat. Hasil evaluasi ini dapat menjadi dasar untuk penyempurnaan kebijakan dan program pengembangan SPPG ke depan.
Dengan pendekatan holistik ini, SPPG tidak hanya berfungsi sebagai penyedia makanan bergizi, tetapi juga menjadi penggerak ekonomi lokal dan pusat edukasi gizi masyarakat.Â
Transformasi SPPG menjadi lebih mandiri dan berbasis potensi lokal akan memberikan dampak ganda: meningkatkan status gizi masyarakat sekaligus menggerakkan perekonomian daerah.Â
Pada akhirnya, penguatan SPPG dapat menjadi salah satu pilar utama dalam mewujudkan ketahanan pangan dan gizi di Sulawesi Barat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI