Mohon tunggu...
Hamdi Arcobaleno
Hamdi Arcobaleno Mohon Tunggu... -

I don't label myself, coz labels are for jars, not people. I'm not a label, just a human being.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jangan Mudah Terjebak dalam Dogma

6 Oktober 2015   10:08 Diperbarui: 6 Oktober 2015   10:56 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ketika roda kehidupan berada dibawah, kita sering berkata “ah, mau gimana lagi? Emang nasib kita kaya gini..”  Tapi, ketika segala sesuatunya sedang berjalan lancar, kita tidak pernah mengingat-ingat soal “nasib” ini. Seolah-olah definisi kita tentang nasib selalu saja berkaitan dengan hal-hal buruk dalam hidup. Kita merasa bahwa semua pencapaian baik yang kita peroleh adalah dari jerih payah diri sendiri, sedangkan keburukan dan kesialan semata-mata adalah nasib dari Tuhan. Terlebih lagi, beberapa orang sering mengira bahwa Tuhan terlalu diktator sehingga Dia menentukan nasib seseorang tanpa bisa ditawar-tawar lagi.

Benarkah demikian? Ah, tentu saja tidak.

Pernah suatu ketika, dalam perjalanan saya berhenti di sebuah masjid. Kemudian, saya menuju ke tempat berwudhu. Anda tahu, ketika anda ingin membuka keran air, anda putar keran tersebut berlawanan dengan arah jarum jam, bukan? Dalam ilmu fisika, hal itu disebut “besaran vektor”, dimana usaha yang kita lakukan menghasilkan suatu gaya yang memiliki arah. Aplikasinya, untuk menutup keran air kita memutarnya searah jarum jam, sedangkan untuk membukanya, kita memutar kearah berlawanan.

Saya kemudian memutar keran sesuai dengan hukum fisika itu. Namun, usaha saya tidak berhasil. Saya pikir si keran agak macet, sehingga membutuhkan tenaga lebih besar. Namun, sekuat apapun saya memutarnya, keran itu tetap bergeming. Lalu, secara tidak sengaja saya melakukan putaran kearah sebaliknya. Dan tiba-tiba saja air dalam keran itu meluncur deras keluar. Oh, ternyata ada keran yang dibuka tidak dengan memutar ke kiri seperti yang diajarkan oleh ilmu fisika, melainkan kearah yang berlawanan.

Keran air aneh itu seolah mengingatkan kita bahwa paradigma-paradigma yang selama ini kita yakini benar itu belum tentu benar-benar “benar”.

Bayangkan seandainya anda menemukan keran air seperti itu, lalu anda bersikeras untuk membukanya dengan memutar kearah kiri. Sekuat apapun anda, tidak akan bisa membuat keran itu mengalirkan air. Barangkali, hidup kita juga demikian. Mungkin kegagalan yang kita alami itu bukan lah karena nasib. Melainkan karena kita terlampau keras kepala untuk melakukan segala sesuatunya dengan cara-cara yang kita anggap benar. Kita memaksakan diri agar orang lain atau lingkungan melakukan segala sesuatunya sesuai keinginan kita. Padahal, bahkan “si keran air” pun memiliki aturannya sendiri. Supaya airnya keluar, kita harus bersedia mengalah. Dan meletakkan dogma dalam pelajaran fisika yang kita tahu. Lalu, mengikuti aturan keran itu untuk memutarnya ke arah yang bertolak belakang dengan nilai-nilai yang selama ini kita anggap benar. Dan ketika kita mengalah, keran terbuka. Lalu air mengalir untuk kita.

Apa yang diajarkan oleh keran air itu? Bahwa bebaskan lah diri kita dari egoisme, dan perasaan benar sendiri. Coba lah untuk memberi toleransi dan saling memahami.  Coba kita perhatikan,  bukankah sumber segala pertengkaran yang terjadi adalah karena sikap kita yang keras kepala? Atau kita memaksakan kehendak kepada orang lain? Atau keangkuhan kita yang merasa ‘kamu salah’ dan ‘saya benar’? Well, mungkin segala permasalahan hidup yang kita hadapi ini sebenarnya bisa kita atasi dengan cara mengubah diri kita sendiri. Bukan menunggu orang lain yang mengubah diri mereka untuk kita. Karena, seperti keran air itu, ketika kita bersedia mengikuti iramanya; dia bersedia mengalirkan airnya.

Ketika gagal membuka keran itu, saya sempat mengira bahwa sudah nasib saya untuk tidak kebagian air. Namun, ketika saya memutar dengan cara yang meruntuhkan semua paradigma yang saya ketahui, saya menyadari bahwa ternyata nasib saya bukanlah 'tidak mendapatkan air', melainkan 'mendapatkan air'.

Perhatikanlah, betapa mudahnya nasib berganti.

Fenomena itu menunjukkan betapa tipisnya dinding pemisah antara “nasib mendapatkan air” dan “nasib tidak mendapatkan air”. Keduanya hanya dipisahkan oleh “usaha” yang didasari dengan runtuhnnya paradigma lama kita. Usaha yang kelihatannya mustahil, namun dengan tenaga yang kecil, bisa menunjukkan hasil yang sesuai dengan keinginan kita. Sama seperti kisah simpul karung beras yang sebelumnya saya share.

Dalam hidup juga barangkali demikian. Ada sebuah dinding tipis antara “nasib kita untuk gagal”, dengan “nasib kita untuk berhasil”. Mungkin, selama ini kita sudah bekerja keras. Berusaha semaksimal mungkin untuk meraih “nasib berhasil” itu. Namun, mengapa kita selalu dihadapkan kepada “nasib gagal”? Lalu kita pun berkata, ”Tuhan, sudah aku lakukan semua yang bisa kulakukan. Tapi, mengapa aku masih gagal juga?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun