Oleh: Dr. Akhmad Aflaha, S.E., M.M.
Kasus yang menimpa Indra Lutfiana Putra (17), siswa kelas XII SMAN 1 Cimarga, Lebak, Banten, kembali membuka luka lama dalam dunia pendidikan kita --- antara disiplin dan kekerasan, antara niat mendidik dan cara yang melukai.
Indra diduga ditampar oleh kepala sekolahnya, Dini Fitria, setelah kedapatan merokok di lingkungan sekolah pada Jumat (10/10). Tindakan itu kemudian memicu amarah orang tua Indra, yang menegaskan akan melaporkan peristiwa ini ke jalur hukum.
Sekilas, kasus ini tampak sederhana: murid melanggar aturan, guru bertindak tegas. Namun di baliknya, tersimpan persoalan yang jauh lebih kompleks: cara sekolah menanamkan disiplin di era yang serba sensitif ini.
Disiplin yang Salah Paham
Kita semua sepakat bahwa merokok di sekolah adalah pelanggaran serius. Tapi apakah tamparan masih bisa dibenarkan sebagai bentuk pendidikan karakter?
Ada garis tipis antara mendidik dengan tegas dan bertindak dengan kasar. Banyak pendidik masih terjebak pada paradigma lama: bahwa keras berarti berhasil, bahwa rasa sakit bisa menggantikan kesadaran.
Padahal, generasi hari ini hidup di dunia yang sangat berbeda. Mereka tumbuh dengan kesadaran hak asasi, keterbukaan informasi, dan keberanian untuk melapor. Maka ketika tindakan fisik digunakan sebagai "alat didik", bukan kesadaran yang tumbuh --- melainkan rasa dendam dan trauma.
Guru yang Tertekan, Sistem yang Kacau
Sebelum jari telunjuk menuding, kita juga perlu bertanya: mengapa seorang kepala sekolah sampai kehilangan kendali?