Program Makan Bergizi Gratis (MBG) menjadi salah satu program unggulan pemerintah dengan niat mulia: memastikan anak-anak Indonesia, khususnya siswa sekolah, mendapatkan asupan gizi yang cukup agar tumbuh sehat, cerdas, dan berdaya saing. Namun, di balik niat tersebut muncul sejumlah problem yang patut dikritisi secara sehat.
Di satu sisi, pemerintah mengalokasikan anggaran hingga Rp 15.000 per porsi sebagaimana disampaikan dalam berbagai pemberitaan (Detik, 24 Juni 2024; Tempo, 3 Juli 2024). Akan tetapi, di lapangan, implementasi program ini kerap hanya menggunakan kisaran Rp 10.000 per porsi dengan menu yang justru diragukan kandungan gizinya. Beberapa daerah bahkan terpaksa mengganti menu standar dengan roti tawar atau sereal instan karena keterbatasan anggaran dan logistik (Kumparan, April 2024).
Lebih jauh, kasus keracunan massal yang terjadi di Sukabumi dan Palembang (Kompas TV, Liputan6, Detik, Juni–Juli 2024) semakin menegaskan bahwa pelaksanaan MBG tidak semudah slogan yang digaungkan.
Guru sebagai Garda Terdepan Profesionalisme
Dalam situasi ini, peran guru menjadi krusial. Guru tidak hanya berfungsi sebagai pendidik, tetapi juga sebagai pengawal profesionalisme dalam memastikan program yang masuk ke sekolah selaras dengan tujuan pendidikan. Ada beberapa tuntutan profesional yang perlu dipegang guru dalam menyikapi MBG:
1. Mengutamakan keselamatan dan kesehatan siswa
Guru harus berani menyuarakan keberatan jika menu MBG tidak memenuhi standar gizi atau bahkan berpotensi membahayakan siswa.
2. Mengintegrasikan pendidikan gizi dalam pembelajaran
MBG seharusnya tidak hanya dimaknai sebagai konsumsi makanan gratis, tetapi juga sebagai media edukasi. Guru dapat menanamkan kesadaran pentingnya gizi seimbang kepada siswa.
3. Menjadi mitra kritis pemerintah