Di negeri ini, ironi sering lahir dari ruang publik kita. Beberapa hari lalu, jagat maya gaduh oleh potongan video yang menampilkan Menteri Keuangan Sri Mulyani disebut-sebut menyebut "guru sebagai beban negara." Video itu menyebar cepat, melahirkan kemarahan dan kekecewaan. Walaupun kemudian terbukti sebagai hoaks hasil manipulasi, luka emosional sudah telanjur tertanam. Bagaimana mungkin sosok yang setiap hari mencerdaskan bangsa dilabeli dengan kata "beban"?
Di saat perdebatan itu belum reda, publik kembali dibuat geleng kepala. Kabar mengenai kenaikan tunjangan anggota DPR RI mencuat ke permukaan. Meski gaji pokok anggota dewan tetap di kisaran Rp6 jutaan, tambahan tunjangan dan kompensasi fasilitas disebut-sebut membuat total pendapatan mereka bisa menyentuh angka Rp100 juta per bulan. Ironi makin terasa ketika informasi ini muncul bersamaan dengan naiknya harga kebutuhan pokok, meningkatnya beban PBB, hingga maraknya PHK.
Guru yang Dicurigai
Mari kita lihat posisi guru dalam bangunan bangsa ini. Tanpa mereka, tidak akan lahir dokter, insinyur, pengusaha, bahkan anggota dewan sekalipun. Guru adalah pondasi yang menopang keberlangsungan peradaban. Menyebut guru sebagai "beban"---meski hanya hasil potongan video---adalah bentuk pengkhianatan pada nilai luhur pendidikan.
Fakta sebenarnya, Sri Mulyani memang tidak menyebut guru beban negara. Yang beliau sampaikan adalah pertanyaan tentang bagaimana negara membiayai gaji dan tunjangan guru dan dosen, serta apakah masyarakat bisa ikut berpartisipasi. Namun framing yang keliru sudah terlanjur menohok hati para pendidik. Seolah-olah guru hanyalah angka di atas kertas anggaran, bukan manusia yang memberi makna bagi kehidupan.
DPR yang Dimanjakan
Bandingkan dengan posisi anggota DPR. Tugas mereka memang berat: legislasi, pengawasan, dan anggaran. Namun, publik tentu berhak menilai apakah kerja mereka sebanding dengan fasilitas yang diterima.
Ketika muncul informasi tentang tambahan tunjangan dan kompensasi fasilitas, reaksi keras wajar terjadi. Di mata rakyat, hal ini bukan sekadar angka, tapi simbol. Bagaimana mungkin, di tengah kesulitan ekonomi yang mencekik rakyat kecil, wakil mereka justru terlihat dimanjakan dengan fasilitas baru?
Sementara guru---yang berjasa langsung dalam mencerdaskan bangsa---masih berjuang dengan gaji minim, tunjangan yang sering tersendat, dan status honorer yang tak kunjung jelas.
Luka di Hati Publik
Ketidakadilan itu terasa menyakitkan bukan hanya karena ketimpangan angka, melainkan karena ketimpangan rasa keadilan. Di satu sisi, guru dan tenaga pendidik sering dianggap "beban anggaran". Di sisi lain, pejabat publik dengan mudah menerima fasilitas dan tunjangan tambahan.