Mohon tunggu...
Abah Iqbal
Abah Iqbal Mohon Tunggu... -

Lahir di Jakarta, tepat tatkala mentari berkalang rembulan. Bergelar Abah bukan karena ahli agama atau orang alim, melainkan menjadi doa agar segera berkeluarga. Pakai Peci karena atribut nasional. Berkalung sorban bukan karena perempuan, melainkan takut masuk angin. Hanya seorang sontoloyo (mencari kewarasan dalam kesintingan). Menulis dalam rangka menenangkan "the beast" di dalam "suksma", "menggugah", sekaligus mengingatkan diri sendiri. Terkadang butuh dihina agar dapat selalu ingat dan waspada untuk merendahkan hati kepada sesama dan merendahkan diri kepada Yang Maha..

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Apa yang Kau Cari???

16 November 2009   02:56 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:19 2722
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

1/ Sang Fajar telah tiba... Merekah! Merona merah menyapa alam mayapada... Teriringi kokok ayam jantan, bersahut-sahutan menyambut mentari Tetesan embun, berkelap-kelip gemilang membiaskan sinar Sang Surya Menentramkan jiwa...membasuh kalbu...mata terkhidmat memandang... Gemerisik daun bambu, terhembus semilir angin musim hujan Berdendang syahdu...membisikkankan nyanyian karunia segala zaman Gemericik air sungai di antara bebatuan, Mendesahkan kedamaian...nan tersembunyi dibalik pergerakan alam. Sayup-sayup terdengar alunan seruling bambu... Dialunkan bocah hitam legam penunggang kerbau di ladang sana. Sederhana lagu nan terlantun, namun penuh rasa ikhlas dan syukur... Atas karunia Sang Pencipta, yang termaktub di alam semesta. 2/ Teeeettt, Brmmmm, Cittttt, Setan! Anjing!! Babi!!! Bermaki-makian benda mati dan makhluk hidup!?! Di sebuah belantara berpohonkan beton... Beralaskan aspal, beratapkan asap! Berlatar suara mesin terseling makian.. Penghuninya berwujud manusia... Namun wajahnya selalu tertekuk ke dalam, suram-muram, serta liar matanya Pandangannya selalu tertuju ke depan, jarang melihat ke bawah mensyukuri bumi, maupun menengadah ke atas mengagungkan luasnya langit... Kalaulah tertunduk kepala ke bawah, itu karena perasaan rendah diri! Kalaulah terangkat dagu ke atas, kepongahan hatinya seolah Tuhan mayapada ini! Hanya satu tujuan hidupnya, mengumpulkan kertas-kertas berangka!?!? Pada kertas inilah terjanjikan kenikmatan dari dunia ruang dan waktu! Pada kertas ini pulalah terjanjikan kekuasaan atas sesamanya!! Demi kertas itu, hati nurani rela tergadaikan, berkhianat pada Tuhan pencipta setan!!! Jiwa mereka t’lah terpenjara dalam darah dan dagingnya sendiri... T i a d a lagi kedamaian batin, melainkan hanya pemuasan nafsu duniawi... Di kala terbangun, jiwanya tertidur; di kala tidur, jiwanya terbangun... Kala berjalan, cepat sekali langkahnya bak tertohok bokongnya oleh bambu... Manakala jiwa-jiwa yang sakit itu semakin terombang-ambing dalam keraguan, terhanyut dalam kesepian, serta dikejar rasa ketakutan, air kata-kata menjadi obat pelipur lara... Gemerlap lampu diskotik, serta gerak tari erotis perempuan malam, menjadi hiburan penyesat jiwa... Di hutan belantara itu, sang fajar enggan merekah.... Kokok ayam jantan tersenyap oleh deru mesin-mesin... Embun pun enggan menetes!? Tiada dedaunan segar tempat bermesraan... Tiada gemerisik daun bambu dibelai semilir angin... Yang ada hanyalah angin panas bercampur debu menerpa muka-muka keras penghuninya! Menambah kerut merut di dahi serta kerasnya hati!! 3/ Inilah hutan metropolitan! Di mana penghuninya t’lah menjadi budak sang waktu!! Di mana manusianya menjadi pengikut nafsu angkara murka!!! Di mana jiwa-jiwa penggerak jasad t’lah bersujud pada kenikmatan duniawi!!!! Di mana mereka semua percaya bahwa kebahagiaan didapat melalui pemenuhan nafsu!?!? Apabila makhluk-makhluk ini diperintahkan berkaca, gemetarlah seluruh tubuh mereka... Terlihat kerut-merut di dahi menemani garis-garis keras otot muka... Kala mereka paksakan diri tersenyum, hambar... dan tiada makna... Tertegun diri mereka; bertanyalah mereka serta merta: “Inikah diriku? Inikah diriku?” Namun semua t’lah terlambat! Mereka t’lah tenggelam terlalu dalam... tak kuasa mereka khazankan hati untuk kembali ke permukaan... Sampai tiba nanti saatnya, tatkala badan lumpuh tiba-tiba... atau jantung berhenti berdenyut serta merta.. karena hasrat melampaui daya... Di saat itu pulalah cermin tempat mereka berkaca pecah berhamburan, menjadi kepingan-kepingan nan tak mungkin direkatkan kembali... 4/ Nun jauh di sana, Di antara padi-padi yang menguning... di tengah semilir angin beraromakan tanah dan rerumputan... sang anak gembala penunggang kerbau masih berkemasyuk diri dengan seruling bambunya. Alunan suara seruling bambu, berbaur dengan kicau burung di ladang, menambah indah dan khidmatnya hari... Sang surya sepenggalah bersinar dengan hangatnya, membelai lembut tubuh sang bocah. Jernih nian sinar matanya, senyum enggan terlepas dari bibirnya. “Kala kupulang siang nanti, ibu pasti telah menyiapkan sayur daun singkong kesukaanku”, pikir sang bocah sembari tersenyum lepas. Mentari pun tersenyum, pepadian pun menari gemulai bersama semilir Sang Angin... Bumi pun berbahagia, tiada segannya menumbuhkan kekayaan nabati... Air sungai pun ikut beriak dengan riangnya, mengalir menyuburkan... Alam persada turut berbahagia bersama si anak gembala penunggang kerbau... Esok harinya, sang fajar kembali merekah dengan agungnya, Ayam jantan kembali berkokok bersahut-sahutan dengan nyaringnya Embun pagi kembali menetes menyejukkan pagi Dedaunan bambu kembali bergemerisik, berdendang ria Dan sang anak gembala kembali melantunkan nada dengan seruling bambunya. Alam semesta berpadu penuh khidmat menyuarakan kedamaian... 5/ Pada belahan lain bumi pertiwi.. Di sela-sela belantara beton... Zombie-zombie berwujud manusia memulai aktivitas mereka... Menggadaikan hati nurani! Mengejar uang! Dan dikejar sang waktu! Menggapai bahagia nan tak kunjung datang... Tiada ingatkah mereka bahwa air sungai pun kan kembali ke lautan? Menjadi ombak dan kembali ke tepian... Pecah berhamburan menjadi buih-buih nan tiada arti... Wahai sang anak gembala, bantulah jiwa-jiwa yang t’lah tersesat itu! Ulurkanlah tanganmu, ajaklah mereka bersama dikau menunggang kerbau, Bersama-sama meniup seruling, bermesraan dengan alam persada.... Agar terbuka mata mereka akan indahnya dunia, Supaya terbuka mata hati mereka akan khidmat kehidupan... Agar hati bertaut asa, dan kalbu bertumpu rasa Dan mungkin saja, terkecap jua oleh mereka apa yang dinamakan bahagia... By: Muhammad Iqbal February 16, 2001 Kusumaatmaja 61

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun