Mohon tunggu...
Arako
Arako Mohon Tunggu... Freelancer

Best in citizen journalism K-Award 2019 • Pekerja Teks Komersial • Pawang kucing profesional di kucingdomestik.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Tanjung Api Api, Pelarian Asyik Buat yang Bosan di Palembang

3 Januari 2018   10:53 Diperbarui: 3 Januari 2018   17:05 2122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bayi-bayi bakau yang menambah elok Tanjung Api Api



"Perjalanan tanpa rasa sakit? Untuk apa kau hidup?  Jika seperti itu lebih baik kau di rumah lalu tidur."
(Edward Elric - Fullmetal Alchemist)

Exceeds explanation!

Yup. Di luar dugaan. Itu kesan pertama yang mampir di benak saya begitu menginjakkan kaki di Pelabuhan Tanjung Api Api (selanjutnya disingkat TAA). Tidak menyesal rasanya langsung meng-iya-kan ajakan seorang teman sejak bulan September 2017 lalu, meski kenyataannya baru terealisasi pada liburan akhir tahun kemarin. 

Yah, saya memang butuh kabur sejenak dari Kota Pempek yang kian hari kian panas dan sumpek saja (biang keroknya apalagi kalau bukan proyek LRT yang pengerjaannya dikebut untuk Asian Games 2018).

Nah, tentang TAA ini, saya ingin sekali membuat catatan perjalanannya. Tapi berhubung saya bukan seorang traveller blogger, harap maklumi ya kalau hasilnya betul-betul seadanya

Spontanitas Belaka

Sabtu pagi, sekitar jam 10, teman saya mendadak muncul di pintu kosan (bukaan, dia bukan jin). Memamerkan tampang kucelnya yang penuh jejak-jejak stress oleh kerjaan di kantor, ekspresinya sebelas dua belas dengan saya yang juga lagi bete banget sama... cucian!

"Mau kemana kita?" tanya saya dengan nada awas-lu-kalo-ngajak-gue-ke-mall.

"Berhubung udah jam segini, yang paling terjangkau kaya'nya cuma Tanjung Api Api," jawabnya yang langsung bikin saya excited. Mungkin kalau dia datang lebih pagi, sepertinya kami bakal ke Muara Enim atau Lubuk Linggau sekalian. Pfffttt.

Dan. Begitulah. Tanpa rencana dan persiapan sama sekali, kami nekat saja motoran menyusuri jalanan sejauh lebih kurang 80 km menuju TAA. (well, dibilang tanpa rencana banget sih sepertinya kurang pas, ya. Sudah lumayan sering dibicarakan sejak berbulan-bulan yang lalu kok. Tapi untuk pergi hari itu memang betul-betul tidak direncanakan. Saya bahkan belum sempat sarapan).

Akses Jalan Lumayan Baik

Lihat yang ijo begini sayang kalau tidak singgah sejenak
Lihat yang ijo begini sayang kalau tidak singgah sejenak
Akses jalan yang cukup baik dan arus lalu lintas yang cenderung sepi membuat perjalanan kami lancar jaya. Jarak sejauh itu berhasil ditempuh dalam waktu kurang dari 1,5 jam. Memang sih, ada sejumlah titik jalan yang bergelombang dan perlu perbaikan hingga membuat motor terpaksa mengurangi kecepatan. Namun sama sekali bukan masalah besar. 

Toh kedua mata ini cukup dimanjakan oleh pemandangan hamparan sawah luas menghijau di kanan-kiri jalan. Ada juga perkampungan dan kebun kelapa dan kelapa sawit. Duhh, pokoknya adem dan segar sekali rasanya.

Pelabuhan Berselimut Mendung

Meski sangat bersemangat saat berangkat, namun hati saya sebetulnya tak terlalu berharap banyak terkait TAA. Saya tahu pelabuhan ini tak akan seperti Merak atau Tanjung Priok, karena hanya melayani kapal-kapal dengan rute penyeberangan ke Pulau Bangka, Provinsi Bangka Belitung. Bagi saya, bisa kabur sejenak dari kepadatan Palembang sudah lebih dari cukup.

Mendung manja menghalangi kami dari teriknya matahari pukul setengah 12. Antrean panjang kendaraan sepanjang hampir 3 km terlihat di gerbang masuk pelabuhan. Ah, ini tanggal 30 Desember,  saya mengingatkan diri sendiri. Pasti pelabuhan sedang padat-padatnya oleh arus liburan akhir tahun.

Antrean kendaraan yang hendak menyeberang ke Bangka
Antrean kendaraan yang hendak menyeberang ke Bangka
Namun rupanya tumpukan kendaraan hanya ada di seputar gerbang saja. Di area dalam pelabuhan justru sangat sepi. Mungkin karena tidak ada satu kapal pun yang merapat.

Alih-alih tertarik dengan aktivitas khas pelabuhan, saya justru dibuat tercengang oleh pemandangan di depan mata. Jauh dari bayangan saya tentang pelabuhan, di mana akan tampak jelas garis batas antara laut dan daratan... TAA lebih mirip danau yang sangaaaaatt luas dengan hiasan pohon-pohon bakau nan elok.

Bayi-bayi bakau yang menambah elok Tanjung Api Api
Bayi-bayi bakau yang menambah elok Tanjung Api Api
Deru angin, paduan suara burung-burung yang entah apa namanya, hingga debur dan kecipak air yang membentur daratan benar-benar menyatu sempurna dalam harmoni orkestra alam. Memanjakan telinga yang sudah bertahun-tahun muak oleh klakson kendaraan.

Ah..., begitu damai. Begitu tenang. Saking tenangnya, mungkin kalau saya bawa laptop, bisa langsung menyelesaikan sebuah novel dalam sehari (ok. Yang ini lebay ).

"Ini danau, ya? Lautnya sebelah mana?" tanya saya karena memang tak punya bayangan sama sekali terkait letak laut. Di mata saya, perairan ini jelas bukan lautan, hanya tampak seperti Sungai Musi yang seratus kali lebih lebar.

"Bukan. Ini Muara Sungai. Lautnya di sebelah sana," jawab teman saya yang sedang asyik foto-foto. Tangannya menunjuk sisi kanan jalanan aspal mirip jembatan yang ujungnya adalah tempat kapal berlabuh. "Masih jauh...."

Saya manggut-manggut, dan kembali larut menikmati maha karya pahatan tangan Tuhan yang luar biasa ini. Ah, bersyukurnya diberi kesempatan merasakan semua ini... perasaan itu lhoo, seperti ada banyak balon warna-warni yang mengembang di dalam dada.

Sayangnya, balon-balon itu dipaksa langsung mengempis oleh ajakan pulang teman saya. Hadeeeh, merusak kesenangan saja manusia satu ini. Ya ampun, baru juga di sini beberapa menit. Saya belum sempat tanya-tanya dengan pengelola pelabuhan, saya belum punya cukup data untuk dijadikan reportase. Saya bahkan belum tahu berapa lama perjalanan ke Bangka, atau berapa tarifnya. Di atas semua itu, saya belum puas foto-foto untuk stok di blog dan instagram.

Tapi mau bagaimana lagi? Saya kan memang tidak punya pilihan lain.  Memangnya saya bisa pulang sendiri kalau sampai ditinggal dia?

Ah. Menyebalkan!

"Sudah. Ntar kan bisa ke sini lagi. Deket ini kok... next time kita bakal seharian. Dari pagi, jadi ga buru-buru begini," janjinya.

Dan begitulah, perjalanan menyenangkan ini harus berakhir antiklimaks (karena buru-buru pulang). Tapi toh tidak mengurangi fakta bahwa kesuntukan saya sudah berkurang drastis. Otak dan hati saya sudah fresh lagi.

Seperti biasa, perjalanan pulang terasa jauh lebih singkat. Mendung yang mengintai sejak masih di pelabuhan menjelma jadi rintik hujan yang temani kami di sepertiga jalan pulang.

Gigil dan basah dipastikan bertransformasi jadi demam, flu, dan sakit kepala pada malam harinya. Mereka berkolaborasi sempurna dengan sakit pinggang, nyeri di tengkuk dan pegal-pegal yang mendera sekujur tubuh.

Tapi seperti yang Edward Elric bilang, melakukan perjalanan tapi takut dengan rasa sakit mah mending tidur di rumah saja. 

*

Bye, Tanjung Api Api!

I'll definitely be back soon

Kompasianer Palembang
Kompasianer Palembang

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun