Mohon tunggu...
Arai Jember
Arai Jember Mohon Tunggu... Asisten Rumah Tangga - Katakan Dengan Tulisan Jika Tak Sanggup Berlisan

Menulis itu investasi. Setiap kebenaran tulisan adalah tanaman kebaikan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Nikah Muda: Siap atau Terprovokasi Keadaan?

14 Maret 2021   10:07 Diperbarui: 14 Maret 2021   10:21 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: klikdokter.com

Fenomena nikah muda kembali diperbincangkan. Salah satu muasalnya ialah viralnya wedding organizer yang disinyalir mengkampanyekan pernikahan siri hingga nikah muda di medsos. "Promosi untuk nikah di usia muda yang dilakukan Aisha Weddings membuat geram KemenPPPA dan semua LSM yang aktif bergerak di isu perlindungan anak. Tidak hanya pemerintah, tetapi masyarakat luas juga resah karena Aisyah Weddings telah mempengaruhi pola pikir anak muda, bahwa menikah itu mudah," kata Bintang, Rabu (10/2/2021). [1]

Respon atas viralnya kasus tersebut berkembang pada banyak hal, salah satunya menyangkut persoalan resiko pernikahan dini. Berbagai spekulasi bermunculan. Yang pada kesimpulannya menuju titik temu bahwa pernikahan dini cenderung dinilai negatif. Sehingga solusi yang ditawarkan untuk menyelesaikan dampak ini diringkas: tidak menikah dini. 

Namun, jika kita mau memikirkan dengan jeli, pasti ada pertanyaan: apakah benar permasalahan atau keburukan dalam rumah tangga memang akibat dari usia pernikahan yang masih muda? Apakah mereka yang usia pernikahannya memenuhi kriteria ada jaminan akan memiliki rumah tangga yang mulus, datar, minim problematika dan eksploitasi seksual ekonomi? 

Jawabannya belum tentu bukan? Sehingga tidak ada salahnya bila masalah pernikahan tidaklah ditakar dengan pagar usia. Sebab pada dasarnya faktor yang memengaruhi baik buruknya kehidupan pernikahan bukan hanya persoalan usia. Pun setiap agama pastinya memiliki aturan khusus tentang bagaimana sakralnya sebuah pernikahan, sebuah penyatuan pasangan beda jenis yang ditujukan untuk melestarikan keturunan dengan harapan mendatangkan kebaikan. Sehingga masing-masing pasti ada mekanisme menyiapkan generasi menuju pernikahan yang baik. 

Oleh karena itu, dalam memandang pernikahan ini, Islam menempatkannya pada level tinggi. Bukan untuk menyulitkan, melainkan untuk menjaga kemuliaan manusia. Menikah dipandang sebagai penggenap separuh agama, sehingga persiapan menuju gerbang pernikahan adalah aspek penting yang harus diberikan persiapannya. 

Menikah tak hanya sekedar pindah status, beralih dari gelar jomblo semata. Lebih dari itu ada visi misi yang di ada dalamnya harus membawa keluarga menuju surga. Artinya pernikahan harus dijalankan sesuai aturanNya, suami istri berpasangan sebagai sahabat, saling mengingatkan dan memberi nasihat agar setiap hari yang dihabiskan dalam mahligai rumah tangga mendapatkan ridhoNya. 

Itulah mengapa, syarat pernikahan pun tak sebatas baligh semata. Yang mana usia baligh ini berbeda satu dengan lainnya. Lebih dari itu, faktor utama yang perlu disiapkan adalah memiliki bekal yang cukup-yakni tahu bagaimana pedoman agama tentang pernikahan. Sebab misi besar ke surga ini mustahil berhasil bila nahkoda dan awak bahtera rumah tangga tidak tahu peta agama menuju surga. Itulah mengapa salah satu faktor yang diutamakan dalam mempertimbangkan calon pasangan adalah dalam hal agamanya. 

Maknanya, kendati menikah memang syaratnya tidak terikat usia baligh, namun kesiapan menuju ke sana yang jadi perhitungan utama. Sehingga menikah pada usia berapapun, asalkan ilmu ada dan mampu, tak jadi soal. Sebab memang pemahaman utuh tentang syariat pernikahan ini akan menjadikan kesiapan menikah matang, menikah karena ibadah, bukan pelampiasan naluri semata. 

Kondisi matang dan siap menikah atas bekal pemahaman ilmu ini tentu beda fakta dengan gambaran pernikahan dini yang sebatas terprovokasi keadaan. Menikah karena menutupi imbas salah pergaulan misalnya. Atau menikah karena terkompori status teman sepermainan yang sudah tidak jomblo lagi. Atau menikah karena paksaan akibat belenggu ekonomi, dll. 

Faktor pembeda keduanya tidak bisa dilepaskan dari lingkungan yang melingkupi generasi muda. Bila lingkungannya religius, besar kemungkinan generasi muda menyibukkan diri mempersiapkan bekal hidup dulu sebelum berpikir pernikahan. Sebab suasana lingkungan memang mengarahkan keridhoan Allah di atas segalanya. Sehingga naluri seksual mendapatkan jatah kesekian dibanding naluri lainnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun