Mohon tunggu...
Aqil Ulil Aufa B.
Aqil Ulil Aufa B. Mohon Tunggu... Lainnya - pembelajar sampai habis masa.

mahasiswa yang sering kere di akhir bulan. isi tulisan random serandom orangnya..

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Merdeka dari Pemimpin "Hampa"

4 Juni 2020   15:01 Diperbarui: 4 Juni 2020   15:03 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Seorang pemimpin "hampa" adalah orang yang tidak mengetahui esensi dari menjadi pemimpin di organisasi yang ia jabat, tidak paham bagaimana pergerakan dan kekuatan massa dibangun, tidak sadar bahwa dirinya masih tidak tahu banyak tentang dunia ide.

Budiman Sudjatmiko, dalam satu wawancara dengan media pernah berkata: "Saya manusia politik. Setidaknya ada tiga kriteria menjadi manusia politik. Pertama, harus mencintai dunia ide. Mampu memahami ide-ide besar dari para pemikir untuk kemudian memproduksi ide dan gagasan. Kedua, dekat dengan rakyat. Ketiga, punya kehendak berkuasa. Dan, kalau bisa, punya kemampuan bahasa lisan dan tulisan yang baik."

Di lingkungan kampus yang sejatinya menjadi rumah peradaban untuk melahirkan insan-insan cendekia yang terpelajar dan punya kemampuan nalar yang tinggi, nyatanya tidak semua anggota keluarga di rumah tersebut ingin untuk mencemplungkan diri ke dalam nikmatnya dunia ide dan masturbasi intelektual.

Adakah sematan yang lebih tepat diberikan kepada mereka selain "lupa diri'? Lupa bahwa sedang berada di dalam ruang yang mengharuskan otak untuk digunakan. Parahnya, mereka yang sedang lupa berada di mana sehingga enggan belajar tentang ide-ide malah punya ambisi untuk menjabat jabatan-jabatan strategis di kampus.

Merujuk pada perkataan Budiman tadi, saya lihat di kampus kenapa banyak sekali orang-orang yang punya semangat dan kehendak berkuasa, tanpa diiringi dengan kecerdasan intelektual dan kedekatan dengan rakyat kampus. Mereka hanya didorong oleh semangat emosional, bahwa memimpin adalah kebaikan, pelanjut kebermanfaatan, melayani banyak orang.

Mereka lupa bahwa kapabilitas intelektualitas sebagai tugas utama seorang mahasiswa belum ditunaikan. Kedekatan dengan rakyat kampus selain berarti dekat secara harfiah, juga harus bisa merepresentasikan kepentingan seluruh mahasiswa, tidak hanya sebagian kecil saja. Kalau dua syarat pertama saja belum, maka jangan kehendak berkuasa dikedepankan dan menjadi motif utama dalam bergerak.

Pemimpin "hampa" akan terus terwariskan kalau kesadaran tentang pentingnya nalar tidak disuarakan. Orang-orang dengan ketidakmampuan melihat kemampuan diri, terlebih kapasitas menjalankan logikanya, akan terus direproduksi untuk mengisi pos-pos jabatan di kampus.

Ujung cerita, saya hanya ingin mengingatkan kita sebagai mahasiswa yang katanya "Agent of Change" ini. Marilah kita kedepankan kemajuan nalar kita, jangan berfokus pada hal-hal yang bersifat emosional belaka, jadilah mahasiswa "merdeka" seperti apa yang mereka doktrinkan pada saat pengenalan Budaya Akademik Kampus kepada  para mahasiswa baru. Sebagai penutup, saya ingin menyampaikan pesan dari Band Stoner Rock asal Jakarta, SERINGAI yang berjudul "Mengadili Presepsi (Bermain Tuhan)". semoga bisa menjadi pengingat bagi kita semua.

Membakukan persepsi, bukan jadi jawaban/

Atau gagasan bijak/

Selangkah maju ke depan, empat langkah ke belakang/

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun