Mohon tunggu...
Aprilia Rahmawati
Aprilia Rahmawati Mohon Tunggu... Mahasiswa Institut teknologi dan Bisnis Muhammadiyah Grobogan

Mahasiswa Institut teknologi dan Bisnis Muhammadiyah Grobogan.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

" a picture is worth a thousand words" misleanding data visualization

12 Oktober 2025   21:11 Diperbarui: 12 Oktober 2025   21:11 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Ungkapan "A PICTURE IS WORTH A THOUSAND WORDS" sering kali kita dengar untuk menggambarkan betapa kuatnya peran visual dalam menyampaikan pesan. Dalam era modern yang penuh dengan data, grafik, dan informasi digital seperti saat ini, visualisasi data menjadi alat utama untuk memudahkan manusia memahami hal-hal kompleks dalam waktu singkat. Sebuah grafik sederhana dapat menjelaskan tren ekonomi, perkembangan teknologi, bahkan arah politik suatu negara lebih cepat dibandingkan seribu kata dalam teks panjang.

Visualisasi data pada dasarnya merupakan proses penyajian informasi dalam bentuk gambar, grafik, diagram, atau peta, dengan tujuan agar data yang rumit dapat dipahami secara lebih mudah dan intuitif. Prinsip utama dalam visualisasi data adalah keakuratan, kejelasan, dan kejujuran. Data yang divisualisasikan seharusnya merepresentasikan fakta apa adanya tanpa melebih-lebihkan atau mengurangi maknanya. Namun dalam praktiknya, tidak semua grafik atau diagram yang kita lihat bersifat netral. Banyak visualisasi yang justru memanipulasi cara pandang kita terhadap suatu fenomena.

Salah satu bentuk penyesatan yang paling umum ditemukan adalah manipulasi skala sumbu. Grafik batang atau garis yang tidak dimulai dari angka nol dapat membuat perbedaan kecil terlihat sangat besar. Misalnya, ketika tingkat pengangguran naik dari 5% menjadi 6%, perubahannya hanya 1%. Namun jika sumbu vertikal (Y-axis) dimulai dari 4,5%, grafik tersebut akan tampak seolah-olah terjadi lonjakan tajam. Akibatnya, penonton akan menganggap kondisi ekonomi memburuk secara drastis, padahal kenyataannya tidak demikian. Selain itu, pemilihan rentang waktu juga sering digunakan untuk menyesatkan. Sebuah perusahaan bisa saja menampilkan data kenaikan keuntungan selama enam bulan terakhir tanpa menunjukkan bahwa dua tahun sebelumnya mengalami kerugian besar.

Selain skala dan waktu, bentuk visual juga sangat berpengaruh terhadap persepsi. Grafik tiga dimensi misalnya, sering digunakan untuk menarik perhatian, tetapi justru dapat menimbulkan ilusi optik yang membuat ukuran satu kategori tampak jauh lebih besar dari pada yang lain. Diagram lingkaran atau pie chart juga dapat menipu jika proporsi visual tidak sesuai dengan data sebenarnya. Begitu juga dengan pemilihan warna: penggunaan warna merah dapat menciptakan kesan bahaya atau kegagalan, sementara warna hijau menimbulkan kesan aman dan berhasil, meskipun data yang ditunjukkan tidak sesuai dengan arti warna tersebut.

Dalam dunia media, politik, dan bisnis, bentuk-bentuk penyesatan seperti ini sering dimanfaatkan untuk memengaruhi opini publik. Misalnya, stasiun televisi menampilkan grafik inflasi dengan sumbu yang dimanipulasi sehingga tampak melonjak tinggi, membuat penonton merasa panik terhadap kondisi ekonomi. Dalam hal lain, partai politik dapat menampilkan grafik keberhasilan program pemerintah dengan hanya menyoroti data positif, sementara fakta negatif disembunyikan. Perusahaan pun tidak jarang menggunakan infografis yang menggambarkan pertumbuhan pengguna atau laba secara berlebihan untuk menarik investor, padahal peningkatannya hanya sedikit.

Akibat dari visualisasi data yang menyesatkan sangatlah serius. Informasi yang salah dapat membentuk persepsi publik yang keliru, memengaruhi keputusan ekonomi, bahkan mengubah arah kebijakan politik. Dalam konteks penelitian dan akademik, visualisasi yang tidak jujur dapat menurunkan kredibilitas ilmiah dan merusak kepercayaan terhadap hasil penelitian. Dalam jangka panjang, penyalahgunaan data secara visual dapat mengikis kepercayaan masyarakat terhadap lembaga, media, dan sains. Ketika publik mulai meragukan kebenaran setiap grafik atau diagram yang ditampilkan, maka komunikasi berbasis data kehilangan fungsinya sebagai alat pencerdas masyarakat.

Oleh sebab itu, penting bagi setiap pembuat visualisasi data untuk memahami etika dalam penyajian informasi. Etika tersebut meliputi keharusan untuk menjaga keakuratan data, menjelaskan sumbernya secara transparan, menggunakan skala yang proporsional, tidak menyeleksi data hanya yang menguntungkan, serta menghindari efek visual yang menipu seperti grafik 3D yang tidak perlu. Visualisasi data seharusnya membantu orang memahami, bukan mengarahkan mereka pada kesimpulan yang keliru. Selain itu, para pembaca atau penonton juga perlu memiliki sikap kritis terhadap setiap grafik yang mereka lihat. Beberapa pertanyaan sederhana bisa diajukan untuk mendeteksi manipulasi.

Menjadi konsumen data yang cerdas berarti tidak hanya percaya pada angka, tetapi juga memahami bagaimana angka tersebut disajikan. Dunia modern dipenuhi oleh visual yang tampak meyakinkan, namun tidak semuanya menyampaikan kebenaran. Grafik yang tampak sederhana bisa membawa pesan yang kuat, tetapi juga bisa menipu jika digunakan tanpa tanggung jawab. Seperti yang diungkapkan oleh ahli visualisasi data Edward Tufte, "Grafik yang baik adalah yang mengungkapkan kebenaran, bukan yang memperindah kebohongan."

Pada akhirnya, ungkapan "A PICTURE IS WORTH A THOUSAND WORD" tetap relevan, tetapi kita perlu menambahkan satu kalimat penting: "hanya jika gambar tersebut jujur." Sebab, bila gambar atau visualisasi data digunakan untuk menyesatkan, maka seribu kata yang diwakilinya pun menjadi seribu kebohongan.

REFERENCES

Cairo, A. (2016). The Truthful Art: Data, Charts, and Maps for Communication. New Riders.

Knaflic, C. N. (2015). Storytelling with Data: A Data Visualization Guide for Business Professionals. Wiley.

Few, S. (2012). Show Me the Numbers: Designing Tables and Graphs to Enlighten. Analytics Press.

Huff, D. (1954). How to Lie with Statistics. W. W. Norton & Company.

Tufte, E. R. (2001). The Visual Display of Quantitative Information. Graphics Press.

Ware, C. (2013). Information Visualization: Perception for Design. Morgan Kaufmann.

Krum, R. (2013). Cool Infographics: Effective Communication with Data Visualization and Design. Wiley.

Wardhani, D. K. (2021). Etika dalam Visualisasi Data di Era Digital. Jurnal Komunikasi dan Media Digital, 9(2), 114--128.

Nugraha, R. & Putri, L. (2020). Manipulasi Visualisasi Data dalam Media Online Indonesia. Jurnal Ilmu Komunikasi, 18(1), 45--59.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun