Mohon tunggu...
Apolonius Lase
Apolonius Lase Mohon Tunggu... -

Im a simple one...

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Timbangan Buku: Ada Surga untuk ODHA

7 Oktober 2014   00:17 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:08 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1412590521527592605

Surga untuk ODHA

Amin digambarkan merasa bersalah tidak bisa menyelamatnya nyawa Binto. Hal ditambah lagi dengan gagalnya Amin memenuhi pesan atau wasiat Binto untuk bisa menyelamatkan Kamal. Amin hanya bisa membaca wasiat Kamal alias Lambo agar harta peninggalannya dipakai untuk membantu sesama.

Perjalanan seorang aktivis NU, Amin, itu ditulis apik oleh H. Agus Salim Chamidi (HAS Chamidi), alumnus Antropologi GM Yogyakarta dan IKIP Negeri Yogyakarta, dalam novel yang diberi judul Surga untuk ODHA (An Inspirative Novel about HIV/AIDS).


TENTANG BUKU

Penulis: HAS Chamidi

Judul: Surga untuk ODHA, An Inpirative Novel about HIV/AIDS

Penerbit: Pustaka Ilmu, Yogyakarta

Tahun Terbit: 2013

ISBN: 978-602-7853-36-2

Jumlah halaman: xvi + 200 halaman

Membaca novel ini membawa kita mengenal secara dekat kehidupan para pengidap penyakit paling mematikan HIV/AIDS yang akrab disebut ODHA (orang dengan HIV/AIDS). Pembaca diajak mengetahui bahwa sejumlah aktivitas seksual yang melenceng dan tidak sehat menjadi pemicu bagi pelakunya untuk terserang virus yang merenggut sistem kekebalan tubuh itu. Sebut saja misalnya perilaku LSL (lelaki seks lelaki), yakni lelaki yang berhubungan seks dengan lelaki lain dengan memasukkan alat kelaminnya lewat dubur (anal) atau populer dengan istilah sodomi.

Itulah yang dialami oleh Binto dan Kamal. Binto pernah tepergok oleh Amin sedang ber-LSL dengan Kamal di rumah neneknya di Watusari (hlm. 38-41).Dan sudah rahasia umum, biasanya korban LSL ada kecenderungan akan menjadi pelaku. Secara gamblang dalam novel ini disebutkan bahwa Binto dan Kamal jatuh dalam dunia kelam itu dan membuat mereka terserang HIV yang akhirnya mereka tewas meregang nyawa.

Kepedulian Amin patut menjadi acuan para aktivis HIV/AIDS. Pendekatan-pendekatan yang dilakukannya untuk bertemu dengan para pegiat HIV dilakukan secara elegan tanpa harus terkesan menggurui. Bahkan, Amin membiarkan para sahabatnya di dalam novel itu bercerita sendiri dan ia tinggal mengonfirmasi.

Menjadi ODHA tidak hanya dialami oleh orang yang memiliki kehidupan seksual menyimpang. Namun, anak-anak dan para ibu juga berpotensi mengalami HIV/AIDS. Betapa tidak, jika suami mengidap HIV akibat suka “jajan” atau membeli seks di tempat-tempat lokalisasi atau berhubungan seks dengan wanita atau pria yang sudah terinfeksi HIV sebelumnya, akan menularkan kepada istrinya. Jika sudah terserang HIV, sang ibu bisa dipastikan akan menularkan juga virus itu kepada anak-anaknya lewat air susu ibu atau saat masih di kandungan.

***

Membaca novel ini membuat kita diingatkan bahwa kita perlu memberikan perhatian serius pada HIV, terutama bagi mereka yang mengidap dan yang berpotensi atau berisiko terinfeksi virus HIV. Tidak hanya itu, penjelasan-penjelasan terkait HIV/AIDS juga diuraikan secara santai dan sederhana sehingga membuat pembaca tergugah dan terbuka wawasannnya.

Dari 13 judul yang menggambarkan perjalanan Amin sebagai aktivis NU yang bergiat dalam penanganan kasus AIDS terutama di kalangan nahdliyin itu ada benang merah yang hendak disampaikan, yakni pembaca dibuat mengerti bahwa ada enam rumusan soal HIV/AIDS yang perlu kita ketahui.

Pertama, AIDS digolongkan sebagai dlarar ‘am (haram) karena sudah menimbulkan masalah sosial dan kemanusiaan. Kedua, kewajiban menjaga dari HIV/AIDS itu pertama-tama dan terutama berada para pribadi masing-masing yang dilarang menjatuhkan diri dalam kebinasaan.

Ketiga, masyarakat secara kolektif, termasuk jam’iyah NU, wajib mengingatkan warganya dari bahaya HIV AIDS sesuai porsinya dan sesama anggota masyarakat wajib menyadarkan betapa bahayanya HIV/AIDS. Pada saat yang sama masyarakat saling membantu menangani dan menaggulanginya, dan pada gilirannya negara tentunya harus memperhatikan persoalan HIV/AIDS untuk kemaslahatan umum. (hlm. 52).

Keempat, seseorang yang sehat memiliki hak untuk menggunakankondom atau tidak sesuai kesepakatan dengan pasangannya. Akan tetapi, mubah ini akan berubah menjadi sebuah kewajiban manakala salah satunya mengidap virus HIV.

Kelima, lokalisasi hadir sebagai solusi pemerintah untuk mengurangi dampak perzinahan, bukan menghalalkannya. Dengan dilokalisasi, efek perzinahan dapat dikelola dan dikontrol sehingga tidak menyebar ke masyarakat secara luas, termasuk virus penyebaran HIV. Dengan kontrol yang ketat dan penyadaran yang terencana, secara perlahan keberadaan lokalisasi akan ditutup dengan sendirinya karena para penghuninya telah sadar dan menemukan jalan lain yang lebih santun.

Keenam, tidak ada alasan untuk mengucilkan, memberikan stigma atau cap buruk kepada ODHA. Dalam usaha untuk membendung stigma buruk ini pemerintah harus terlibat penuh. Pemerintah harus berani membendungnya.

***

Beginilah cara HAS Chamidi mengajak kita anak bangsa ini untuk peduli terhadap HIV/AIDS. Penulis novel Pesantren Undercover: Cinta di Pesantren Alaswangi (Pintukata, 2013), Wali China (Pintukata, 2013), dan Alaswangi (Pintukata 2013) ini mengajak pembacanya bahwa “Persoalan HIV/AIDS sudah menjadi persoalan umum bahkan menjadi persoalan yang mendunia.... Tokoh-tokoh agama macam kiai, ulama ustaz, ibu nyai, pendeta, romo, biksu, dan lainnya perlu turut ambil bagian.” (hlm. 137).

HAS Chamidi hendak menyampaikan bahwa penanggulangan HIV/AIDS bukanlah tanggung jawab satu kelompok saja; bukan hanya tanggung jawab NU saja, melainkan tanggung jawab semua kelompok, agama apa pun, suku mana pun, wajib turut ambil bagian dalam usaha menanggulangi masalah HIV/AIDS.

Tugas paling utama kita sebagai anak bangsa adalah bagaimana secara terus-menerus menyebarkan informasi tentang perilaku seksual yang sehat, sebab bukankah lebih baik mencegah daripada mengobati?

***

Novel ini wajib dibaca oleh para generasi muda lintas agama, suku, dan bahasa, agar menumbuhkan kepedulian terhadap penyakit mematikan ini. Bagi para aktivis HIV/AIDS, buku ini menjadi sebuah bacaan wajib untuk bisa mendapatkan inspirasi dalam melakukan kegiatan kemanusiaan dalam menolong mereka para ODHA.

Penggunaan bahasa Jawa di sana-sini sungguh tidak mengganggu pembaca sebab HAS Chamidi langsung mengartikannya dalam format catatan kaki. Pembaca dari suku lain malah seakan mendapatkan kuliah bahasa dan kebudayaan gratis sekaligus sehingga lebih mengenal lebih dekat dengan kebudayaan sesama suku bangsa.

Ucapan salut dan apresiasi perlu diberikan kepada penulis novel ini semoga karya luar biasa ini bisa menjadi oase terhadap redupnya geliat generasi muda untuk menjadi aktivis kemanusiaan. Ada surga bagi HAS Chamidi. [Apolonius Lase]

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun