Mohon tunggu...
Adi Putra
Adi Putra Mohon Tunggu... Karyawan Swasta -

Hidup terus bergulir, kau bisa memilih diam atau mengikutinya, mengacuhkan atau mempelajarinya. Merelakan, atau meratapinya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[My Diary] Hai Orang Bodoh

11 April 2016   14:20 Diperbarui: 12 April 2016   10:28 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Dokumentasi: Fiksiana"][/caption]

Adi Putra, nomor 158.

 

Dear Diary, kalau ada yang tau apa hubunganku dengan putus asa, kaulah orangnya. Memang Tuhan ada di atas sana, dan Dialah yang Maha Segalanya, tapi sepertinya yang kulakukan sepanjang hidupku hanyalah melepaskan ikatanku secara perlahan kepada-Nya. Dan sebagaimana hukum sebab akibat, mungkin karena itulah Dia menjauh dariku, sehingga yang terdekat denganku saat ini, yang mengetahui apa hubungan seorang hamba pendosa ini dengan putus asa, kaulah orangnya.

Hidup ini terlalu asing bagiku, seakan kala ku bangun setiap hari, kadang berusaha mencari tau dan lain hari, seringnya kelelahan dan tak mau tau, namun tak kunjung dapat kukenali. Aku yang mungkin sudah menjalani separuh usiaku di bumi, namun tetap merasa terasing dan terombang-ambing dalam mengarungi laut kehidupan. Makin hari makin tak mengenal lagi arah mana yang harus kutuju, sehingga aku tak bergerak kemanapun namun kelelahan. Begitulah orang bodoh yang tak pandai membaca arah angin dan tak tau bagaimana mengembangkan layar.

Orang yang lelah sudah dekat dengan putus asa, kukatakan seakan kau tak tau tentang ini. Dan itulah, disanalah aku berdiri. Lelah menahan kegamangan hidup. Masalah demi masalah yang merundung, aku tau Tuhan meniatkan sesuatu, hanya saja aku seperti pelari yang tidak memiliki gambaran sama sekali dimanakah gerangan garis finis itu. Tak perlulah aku menceritakan apa dan mengapa, karena setiap orang pasti mempunyai masalah. Aku tidak ingin mencari ajang pembandingan, maupun penghakiman. Aku orang bodoh, namun keras kepala dan angkuh untuk merasa pantas dihakimi.

Kau tau rasanya keterasingan? Sebuah sistem yang tepat untuk membuat hidupmu menjadi palsu. Memasang senyum walaupun di dalam kau menanggung beban itu dan membawanya kemana-mana. Menyeret-nyeret jiwamu sementara kau berlari mengejar bus kota, berlari mengejar dosen pembina, atau siapa saja, atau apa saja. Tambah menyulitkan khusus untuk bus kota, karena biasanya awut-awut dan ngebut. Mungkin lebih mudah khusus dosen pembina, karena biasanya sudah dewasa (baca: tua) dan jalannya kecepatan biasa.

Bila panjang kali lebar kali tinggi menjadi volume, maka apa yang kita dapatkan bila mengalikan lelah, putus asa, dan terasing? Mungkin aku akan tau jawabannya suatu saat nanti. Dan bilamana saat itu tiba, aku mulai dapat meniti jalan pendewasaanku. Karena kita tak dapat mengobati sesuatu yang tidak kita ketahui bukan? Karena kalau ya, maka profesi kedokteran akan binasa. Aku sama sekali tak menginginkan itu. Aku akan mengelaborasinya lebih lanjut. Di tengah lelah dikali putus asa dikali terasing, yang belum kutemukan jawabannya itu, aku yakin akan beberapa hal dalam hidup ini. Mungkin kalau masuk dalam pengibaratan laut kehidupan itu tadi, tali-tali pengikat rakitku cukup kuat untuk bertahan sehingga rakitku tak terberai. Namun aku tetaplah orang bodoh yang belum tau cara membaca arah mata angin dan cara mengembangkan layar.

Salah satu hal dari tak banyak mengenai apa yang kuyakini dalam hidup adalah; Tuhan takkan menjadikan kehendak-Nya secara langsung. Jadi ketika aku yang terombang-ambing sebegitunya dalam usahaku mencari jawaban, bahkan beberapa kali melalui doaku kepada-Nya, Tuhan tidak lantas hadir dan menunjukkan suatu arah yang harus kutuju. Dalam kasusku, bagiku Tuhan menjawabnya dengan kejadian pada hari itu. Lima tahun lalu, yang aku sudah lupa tanggalnya, bahkan bulannya, mungkin sekitar Februari atau Maret. Kejadian pada hari yang bagiku adalah jawaban dari pertanyaan dan juga doaku kepada Tuhan itulah yang mengikat rakitku dengan cukup kuat untuk menahannya supaya tidak terberai.

Hari yang panas, dan aku berkendara motor di antaranya. Sedari pagi sampai matahari meninggi, mengurus administrasi pemindahan domisili. Kau tau kan jamannya siapa, dear diary? Jadi tidak usah diceritakan lagi betapa berbelit dan betapa menguras tenaga, maupun pikiran, dan pada ujungnya, uang. Jadi ketika aku berkendara motor menjelang siang hari, di jalan di daerah Kapuk yang berdebu, aku tak sabar lagi ketika di depanku ada sebuah truk tanpa kontainer yang diklakson berkali-kali tak mau kunjung sedikit menepi memberikanku jalan untuk lewat. Berhasil melewatinya setelah cukup bersusah payah memacu laju motorku, aku sedikit menarik napas lega. Namun tak lama, karena di depanku sudah ada lagi kendaraan serupa, dengan tingkah yang sama. Yang satu ini malah lebih alot, tak sekedar tak memberi jalan, si supir mungkin ada urusan, berkendaranya ugal-ugalan.

Kuklakson berkali-kali, tak kunjung mendapat responnya, maka hilang sudah lega sejenakku barusan, alih-alih malah bertambah gondok. Kok bisa ada lagi? Maka kucoba lagi memacu motorku untuk mendahuluinya. Usaha pertamaku gagal, karena entah perasaanku atau bukan, sepertinya supir truk itu malah menghalangi upayaku ketika aku hendak menyalipnya dari kanan, dengan turut mengarahkan mobilnya lebih ke kanan. Akupun mundur lagi dan berusaha mencari kesempatan lainnya. Ketika yang kurasa kesempatan berikutnya itu datang, kucoba lagi menyalip truk ugal-ugalan itu. Baru saja menarik gas motorku dan memulai tindakan menyalip truk tersebut, di jalur berlawanan kulihat truk dengan bak terbuka yang sama besar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun