Putri saya pun  menyanggupinya dan mau ikut tes TPA sebagai jalur masuk SMP negeri. Alhamdulillah berhasil, dia bisa diterima di sekolah yang jadi tujuannya.
Sebenarnya meski dengan tes TPA, tetapi pilihan sekolah pun masih dalam sistem zonasi, lho. Namun tidak semata-mata yang dekat sekolah yang diterima, meskipun nilainya jelek.
Ada kesempatan bagi calon siswa lain masuk suatu sekolah yang dituju melalui tes. Jika diterima ya syukur, artinya dia memang layak sekolah di situ, tetapi jika  gagal ya mau gimana lagi. Belum rejekinya sekolah di sana.
Namun untuk pelaksanaan PPDB Surabaya tahun ini, sudah tidak menggunakan tes TPA lagi dan sudah digabung dengan Jalur Prestasi Lomba dan Rapor. Itu pun masih dibagi dua lagi untuk Jalur Nilai Rapor Sekolah dan Jalur Prestasi Lomba.
Beda dengan tahun lalu yang harus ada demo emak-emak ke Dispendik Surabaya, agar anaknya bisa mengikuti seleksi masuk sekolah tujuan meskipun harus dengan tes, tahun ini suasananya lebih tenang. Selain adanya pandemi, mungkin juga karena sudah terakomodasi apa yang jadi keinginan masyarakat Surabaya.
Jadipersyaratan usia sebagai salah satu cara seleksi, lho.Kesimpulan saya, meskipun zonasi tetap akan diterapkan, harus ada mekanisme lain untuk menyaring siswa agar tidak terjadi kesenjangan. Jumlah sekolah negeri harus diperbanyak, dan fasilitas pun ditambah, sehingga tidak ada lagi istilah sekolah favorit atau sekolah pinggiran.
tidak ada yang merasa dirugikan atau lebih diuntungkan. Cukup adil dan transparan, semua jalur bisa dimanfaatkan agar siswa bisa melanjutkan ke jenjang berikutnya melalui cara yang sewajarnya. Juga tidak adaDengan begitu semua anak usia sekolah dan berjarak berapa kilometer pun tertampung di sekolah negeri terdekat. Tak perlu lagi ada persyaratan usia sebagai cara seleksi.Â
Sudah siapkah Mas Nadiem dengan masukan seperti ini? Menambah sekolah dan fasilitasnya untuk menampung generasi bangsa mendapatkan hak pendidikannya?Â
Semoga bermanfaat. Â