Pagi ini, sepanjang jalan yang kulalui masih terlihat basah setelah hujan mengguyur dengan deras tadi malam. Seolah menggambarkan paras wajahku yang masih sembab akibat menangis semalam.
Aku terdiam dan terpaku di bangku belakang sebuah angkot yang akan membawaku ke kantor. Rasanya, hilang gairah hidupku setelah menerima kabar pernikahan Mas Ardy akan dilaksanakan bulan depan.Â
Bertahun aku menanti kabar dari lelaki yang aku cintai. Kini, setelah sampai kabar itu, justru membuatku terluka dan merana.Â
Tetiba, mataku terpaut pada sosok lelaki yang berjaket kulit di belakang angkot. Â Seketika jantung berdegup lebih kencang. Kutengok lagi, memastikan kebenaran indra penglihatan ini.
Ah, tak mungkin rasanya ia kembali ke kota ini. Kepergiannya belum lama, butuh waktu dan biaya yang tak sedikit untuk bisa pulang kembali.Â
Angkot berhenti tepat di depan gerbang kantor. Kuayun langkah memasuki halaman yang masih terlihat sepi, belum ada yang datang dan memarkir kendaraan.
"Selamat pagi, Nona manis!" sapa Jesi mengejutkanku.
"Pagi, kok, sudah datang?" tanyaku heran. "Di depan nggak ada motormu, Jes, tapi kok kamu sudah di sini?"
"Aku diantar adikku tadi. Kok, kamu nggak bareng Rudi?" Jesi celingukan memastikan aku datang sendiri.
"Dia ambil barang dulu di stasiun." Kutinggalkan Jesi penuh penasaran.
"Hei, Non! Dia serius cinta kamu, lho. Jangan sia-siakan, ya!" teriak Jesi. Tak kuhiraukan sedikit pun.