Ditambah lagi bila guru secara monoton hanya menggunakan metode membaca mandiri, dijamin pada satu waktu siswa akan menemukan titik jenuh.Â
Padahal masih ada metode membaca nyaring (read aloud), membaca bersama (shared reading) dan membaca terpandu (guided reading) yang bisa jadi lebih mengasyikkan. Akhirnya aktivitas literasi malah dianggap sebagai momok menakutkan atau sekurangnya membosankan
Literasi pada dasarnya adalah istilah umum yang merujuk kepada seperangkat kemampuan dan keterampilan individu dalam membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian tertentu yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari.Â
Dalam modul yang diterbitkan Satgas Gerakan Literasi Sekolah Kemendikbud, literasi terdiri enam jenis yaitu literasi baca tulis, literasi numerasi, literasi sains, literasi finansial, literasi digital serta literasi budaya dan kewargaan.Â
Merujuk definisi ini, literasi tak bisa sekadar dimaknai kegiatan baca tulis, tapi juga menghidupkan budaya ilmu dan riset.Â
Pada titik tertingginya, kita hendak menciptakan pola pikir masyarakat modern yang disebut High Order Thinking Skills (HOTS). Lalu bagaimana seharusnya?
Literasi dari Keluarga
Berdasarkan prinsip yang diusung oleh Ki Hajar Dewantara bahwa di dalam tripusat pendidikan terdapat tiga pihak yang sangat berpengaruh, yaitu, keluarga, sekolah dan masyarakat.Â
Maka dari itu, keluarga memiliki peranan penting sekaligus menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan program Gerakan Literasi Nasional. Khususnya dalam menumbuhkan budaya baca.
Suka tidak suka, harus kita akui bahwa salah satu musuh terbesar gerakan literasi adalah gawai (gadget). Gawai memang tak berdosa karena ia benda netral ibarat pisau bermata dua. Tergantung bagaimana kita mengendalikannya.Â
Sayangnya, di republik ini kebanyakan pengguna gawai adalah pecandu permainan daring (game online) seperti PUBG dan Mobile Legend.Â