Mohon tunggu...
Purbo Iriantono
Purbo Iriantono Mohon Tunggu... Freelancer - Jalani inspirasi yang berjalan

"Semangat selalu mencari yang paling ideal dan paling mengakar" merupakan hal yang paling krusial dalam jiwa seorang yang selalu merasa kehausan kasih...

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Mapel Sejarah: Disisipkan untuk Lebih Dicintai!

23 September 2020   22:44 Diperbarui: 24 September 2020   16:12 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Kekinian, menghilangkan langkah sejarah...

Karena sejarah adalah tentang tindakan, peristiwa, dan identitas:

Kekinian adalah reproduksi, image, dan presentasi.

Pada titik perbedaan inilah muncul tanya tentang makna sejarah  di era simulacra...

Era, dimana tanpa rujukan realitas fisik pun (apalagi realitas fisik kelampauan); realitas baru dapat tercipta, selama image (bukan event) dapat dipresentasi dan direproduksi, atau singkatnya (di) re-presentasi.

Bukan lagi esensi yang kekinian utamakan, melainkan re-presentasi.

(Boudrillard)

Berdasarkan pengalaman penulis, hal paling kritis dalam fenomena pelajaran sejarah di sekolah adalah adanya semacam "diskrepansi"  atau jurang lebar menganga di antara wacana peran kritis yang diemban mapel sejarah dengan praktek pengajarannya itu sendiri. 

Dampak dari adanya diskrepansi seperti itu adalah munculnya fenomena "aneh"; "semakin banyak porsi pelajaran sejarah disediakan, semakin banyak pula keluhan siswa terkait kejenuhan, ke-kurangrelevansi-an bahan ajaran dan sebagainya." Sebaliknya, semakin minim porsi pelajaran sejarah diberikan, kian besar antusias siswa pada bahan pengetahuan sejarah." Fenomena aneh ini seperti fenomena simulacra ala Baudrillard:"realitas (kesejarahan) yang di-imla-kan (dictated) melalui ragam media informasi secara berlebihan, dan berujung pada penyampaian solusi secara simpel, menyebabkan realitas (kesejarahan) luruh. Realitas itu jadi hal yang superfisial. ("It is not because of lack of it, but an excess of it.") Alih-alih terjun ke dalam realitas konflik pasca perang sesungguhnya, kita cukup puas dengan realitas maya war-game; tak peduli dengan realitas horor yang sesungguhnya, kita bahkan asyik sekedar dengan detil penegang syaraf permainan perang; inilah superfisial-nya dunia simulacra. Bukankah pelajaran sejarah yang disampaikan secara dangkal oleh pendidik yang kurang luas wawasannya (dan gagap pula kemampuan komunikasinya) hasilnya bahkan mungkin, lebih buruk daripada permainan war-game?

Berdasarkan fenomena seperti tersebut di atas, yang harus lebih ditonjolkan adalah persoalan strategi, bukan lagi permasalahan esensi terkait penting atau tidaknya pelajaran sejarah bagi siswa didik. 

Untuk masalah esensi, sudah pasti dan jelas sejarah berperan penting pada proses dan produk pendidikan: dan selama ini, kita sudah cukup kenyang dengan pengalaman eksperimentasi, agar nilai kritis wacana sejarah dapat tersampaikan pada siswa, dan berbuah pada indikator motivasi internal yang ditampakkan siswa dalam bentuk rasa antusias dan peningkatan nilai obyektifnya secara runut dan berterima.Tapi upaya eksperimentasi tersebut, bisa dibilang hasilnya "nyaris"(selalu) kandas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun