Mohon tunggu...
Purbo Iriantono
Purbo Iriantono Mohon Tunggu... Freelancer - Jalani inspirasi yang berjalan

"Semangat selalu mencari yang paling ideal dan paling mengakar" merupakan hal yang paling krusial dalam jiwa seorang yang selalu merasa kehausan kasih...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Music Comes In When Words Fail!

23 September 2020   17:34 Diperbarui: 23 September 2020   18:36 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Music  (Leaders/Politicians) Comes In When Words (Experts) Fail...


Semestinya, para pemimpin daerah (politisi) berkiprah bak alunan musik, di tengah bising pendapat (words) para pakar; dengan demikian, rakyat dapat berharap suara (silang pendapat) para pakar itu tersinkronisasi melalui seni musik kepemimpinan. Masalah aktualnya, di era kekinian kedua fungsi peran utama mereka rentan terbenam dalam dominasi fantasi yang menyertai arus deras peredaran uang, kuasa, dan status. Tidak sepenuhnya salah pendapat seorang Karl Marx, bahwa komoditas (yang kini bermutasi jadi uang, kuasa, juga status) merupakan faktor penentu ekonomi libido.

Era kekinian adalah era perlombaan fantasi keunikan yang melanda setiap lapisan masyarakat, maka pertanyaan yang mengemuka di benak penulis:"Masih layakkah bila kita "hanya" mengandalkan suara silang pendapat kepakaran sebagaimana era jadul?" Justru pada titik kesadaran masyarakat bahwa para pakar-pun tak terhindar dari pusaran fantasi (uang, kuasa dan status) yang melanda kelasnya, pertanyaan ini jadi tak mungkin terhindari.

Ada pengaruh perubahan penting yang terlewatkan. Pada masa dulu, ketika semangat sosialisme masih dominan dalam visi dan misi nadi setiap orang; peran kepemimpinan pakar memiliki makna unik bak seorang Nabi yang menjadi sumber cahaya terang, sekaligus sumber gairah "kepuasan" bagi sang pencetus sabda.

Kini, ketika informasi sudah seperti uang receh dan setiap kepala dipenuhi gagasan fantasinya sendiri-sendiri, peran kepemimpinan pakar pun mulai tergerus. Nilai suara kepakaran mengalami semacam inflasi, ketika nilai disiplin yang melekat di dalam upaya pencapaian puncak ilmu-nya mulai luluh dalam arus transaksi ekonomi pasar. Banjir informasi membuka mata kita semua, bahwa etos disiplin keilmuan bukan hal baku yang serba kebal dari terpaan "inti libido" (Jouissance??); hal ini mengimplikasikan bahwa ilmu pun dapat dianggap sebagai semacam komoditas, dan setiap hal yang sudah bermutasi jadi komoditas akan selalu layak untuk dipertanyakan.

Misalnya, sejak akhir abad sembilan belas (1899), seorang cendekia bernama Thorstein Veblen telah mewanti-wanti kita tentang bahaya konsumerisme "barang/jasa dan status/reputasi" yang melanda semua lapisan masyarakat (tidak terkecuali arus ini pun menyeret golongan pakar atau cendekia). Melalui "leisure time" (waktu luang) yang sudah bertiwikrama jadi komoditas, kaum mapan membenarkan segala macam kebutuhan yang non-produktif; para pakar pun mulai asyik membangun menara gadingnya sendiri, menara yang semakin steril dari kancah hidup masyarakatnya. Para orang mapan merasa dibenarkan untuk mengisi waktu luangnya dengan kapal mewah (untuk menjaga atau meningkatkan reputasi sosialnya) berlayar ke tempat-tempat eksotik; dengan kata lain, demi status atau reputasi, mereka menghambur-hamburkan sumberdaya (alam, waktu).

Belum lagi pengaruh gerakan jender yang "menggedor" peran dominasi pria dalam menyuarakan kebenaran. Banyak contoh penyalah-gunaan status kepakaran sebagai salah satu sarana penindas kesetaraan jender. Belum lama ini, kita dikejutkan oleh berita tentang penyalahgunaan "informasi hasil swap" oleh seorang pakar (atau operator kesehatan ?) pandemik untuk ditukar (sebagai alat transaksi) dan dimanfaatkan sebagai alat pengancam pada perempuan agar si perempuan bersedia dilecehkan (sebagai pemuas libido?).

Singkatnya, era kekinian menuntut perspektif pada setiap informasi yang lebih luas dan beragam; nilai kebesaran tunggal sumber informasi kepakaran  telah bergeser ke arah nilai keunikan setiap perspektif. Bahkan di ranah keilmuan kekinian, pada setiap unjuk wacana-nya pun harus diawali dengan pengakuan unik pespektif pegangannya: "Menurut pendapat saya sebagai wakil pria golongan kelas menengah patriakh radikal..."

Selain hal di atas, yang tidak kalah pentingnya, di era kekinian kita mulai sadar akan perlunya pembedaan antara performansi (pentasan perilaku) publik dan privat. Dulu, semua apa yang dikatakan sebagai pernyataan publik oleh seorang pemimpin atau pakar harus mencerminkan praktek hidup kesehariannya; sekarang tuntutan seperti ini mulai dipertanyakan. Perubahan ke arah "toleransi diskrepansi" pada sosok pemimpin  ini, menurut penulis, sejalan dengan tren perluasan (ragaman) perspektif pada nilai informasi ; mustahil, mengharapkan adanya sosok pemimpin yang dapat mengikuti semua selera ideal setiap perspektif yang tumbuh dalam masyarakat. Pada titik inilah, para penganut ideologi radikal "jadul" sering tergelincir dan tertipu oleh sosok pemimpin panggung. Banyak komentar di media maya yang bernada "jadul", mempertanyakan keselarasan wacana calon pemimpin dengan nilai hidup kesehariannya. Komentar "jadul" ini kian semarak dan viral, ketika calon pemimpinnya punya keterkaitan keluarga dengan pemimpin lain yang lebih tinggi dan masih berkuasa (dinastiisme). Sebenarnya, fantasi radikal versi ideologi jadul mereka sudah kurang relevan dengan tuntutan kekinian; tuntutan kekinian lebih memperhatikan atau menonjolkan fungsi  kecermatan, konsistensi dan keakuratan ungkapan bahasa atau kebijakan pemimpin dalam setiap wacana publik, alih-alih pada kesesuaian nilai ucapan mereka dengan hidup keseharian. Karenanya, pemimpin kekinian, terutama dalam situasi kritis, akan lebih suka "diam" daripada salah ungkapkan "statements".

     Mengapa hanya dalam situasi kritis mereka lebih baik diam daripada salah-ucap? Karena dalam situasi normal, pemimpin kekinian didesak untuk terus melakukan unjuk pentas performasinya. Dalam situasi normal-lah, peluang "emas" sang pemimpin kekinian untuk dapat memaparkan visi misinya yang unik.  Bagi masyarakat kekinian, adalah konyol bila pemimpin mereka banyak "bicara" atau banyak tebarkan isu kebijakan kontroversial justru pada situasi kritis;  ucapan pemimpin di saat kritis akan banyak ditanggapi oleh publik dari berbagai macam perspektif, dan itu bumerang bagi diri pemimpin itu sendiri karena mustahil ia dapat memuaskan selera atau ragaman perspektif publik.

Sebagai penutup, penulis berharap masyarakat dan juga para pemimpin daerah, dalam masa krisis berkepanjangan ini lebih baik mulai belajar menyenangi alunan musik daripada memuaskan hasrat berbicara atau deklarasi. Dengan alunan musik, kita mencermati bobot setiap lirik kata atau kalimat yang mencuat untuk kita harmonisasikan dalam lagu kesatuan bangsa yang ingin sehat dan ingin terus maju! Berhentilah men-deklarasikan diri, bekerja dan hiduplah seirama alunan musik. Terima kasih!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun