Mohon tunggu...
Purbo Iriantono
Purbo Iriantono Mohon Tunggu... Freelancer - Jalani inspirasi yang berjalan

"Semangat selalu mencari yang paling ideal dan paling mengakar" merupakan hal yang paling krusial dalam jiwa seorang yang selalu merasa kehausan kasih...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

(Caraku) Memahami LAS

21 September 2020   08:22 Diperbarui: 21 September 2020   21:21 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi iStockphoto via TIRTO.ID

Apa Bahaya Memasak Air (tercemar) Berulang-kali?


Bertolak dari (sekedar) fakta pengetahuan alam sehari-hari ini, penulis coba memahami landasan dinamika emosi seorang perempuan bernama LAS (Laeli Atik Supriyatin), terdakwa pemutilasi. Kembali ke pertanyaan di atas, bahaya memasak ulang air (tercemar) adalah bahaya terkena paparan racun yang akan dialami pengkonsumsinya. 

Mengapa? Karena, sepengetahuan penulis (sumber dari informasi di Tribunnews hari ini), air yang masih kotor itu mengandung zat yang bila mengalami pemanasan akan berpotensi besar memunculkan reaksi kimia tertentu; kian sering terjadi pemanasan-ulang, kian besar kemungkinan zat-zat kimia yang melekat dalam kotoran air untuk mengalami semacam reaksi, dan reaksi ini akan merugikan kesehatan manusia yang mengkonsumsinya. Oleh karenanya, masak-ulang air minum hanya dimungkinkan bila air tersebut berasal dari air yang tidak tercemar.

Lalu apa kaitan antara proses memasak-ulang air minum (tercemar) dengan landasan dinamika emosi seorang perempuan bernama LAS? Untuk memahami analoginya, penulis terlebih dahulu akan menguraikan ringkasan kisah LAS itu sendiri. Berdasarkan informasi berita terkini yang penulis dapatkan tentang sosok perempuan bernama LAS, ada beberapa fakta yang sebaiknya kita garis-bawahi. 

Pertama, ia adalah sosok perempuan; kedua,ia berasal dari keluarga sederhana yang terobsesi untuk menggapai prestasi (akademik) demi peningkatan status ekoni-sosial; ketiga, ia termasuk perempuan yang cerdas dan kritis; keempat, ia belajar di bidang ilmu yang termasuk di bidang eksakta; kelima, ia hidup di era yang sedang hangat-hangatnya mendukung adagium "produk (akhir) adalah sebentuk state of mind " ; keenam, ia berakhir dengan profesi penjual jasa (di bidang keilmuan yang ditekuninya).

Pertama, mengapa perempuan merupakan kaum yang lebih rentan terpapar gangguan emosi di era yang sedang menonjolakan produk jasa seperti abad kita sekarang ini? Penulis akan menjawab pertanyaan ini bertolak dari temuan pakar sosiologi. Seorang tokoh sosiologi feminis dari Amerika, yaitu Arlie Hochschild tertarik dengan masalah pengaruh peng'kondisi'an aspek sosial budaya pada pengalaman dan "display" (unjukan?) emosi dalam masyarakat kapitalis. 

Penelitiannya terutama berkancah di bidang industri layanan (jasa) pada tahun 1960-an. Ia terinspirasi oleh isi salah satu bab dari buku karya Wright Mills ("White Collar") yang berjudul (bab) "The Great Salesroom" yang intisarinya menegaskan makna pesan bahwa  "kerja" menjual barang atau jasa, tak ubahnya seperti "kerja" menjual kepribadian.

Hochschild berhasil melihat sisi lain dari aspek kritis kerja di bidang layanan penjualan ala Wright Mills tersebut; karena seorang pekerja di industri pelayanan berbeda secara kualitatif dengan pekerja di pabrik atau industri barang jadi lainnya. Konsep khas atau unik yang membedakan kedua jenis pekerja tersebut oleh Hochschild  disebut sebagai "emotional labor", artinya gaya emosi (emotional style) untuk menawarkan jasa (harus) merupakan bagian dari produk jasanya tersebut. 

Hal ini mengimplikasikan bahwa si penjual jasa (umumnya kaum hawa) harus secara terus-menerus memelihara (menopang) dan membentuk emosinya sedemikian rupa, agar  emosi bentukan mereka dapat menghasilkan semacam "state of mind" yang "pantas" pada pihak (orang) lain yang ditawarkan.

Kita ingat ajaran Karl Marx yang menonjolkan produk sebagai sumber potensi munculnya fenomena alienasi di kalangan pekerja industri barang tradisional; dan ajaran Hochschild ini memperlihatkan aspek kritis lain yakni penonjolan makna produk sebagai "a state of mind" yang berpotensi memunculkan perasaan hampa atau kekosongan emosi akibat dari kontradiksi tekanan di antara kedua ranah emosi tersebut  (hal ini paling sering dialami oleh pekerja jasa kaum hawa); emosi bentukan baru pribadinya (karena tuntutan profesionalisme) tidak menyatu (kongruen) dengan emosi bentukan adat-budaya.

Pada titik inilah persoalan mulai muncul, dan fenomena diskrepansi dua jenis emosi ini rentan teridap oleh kaum perempuan. Sejak kecil, anak perempuan diajarkan untuk menjadi mata-air emosi, mereka pun belajar untuk "caring" dan belajar untuk mengatasi hasrat agresi juga hawa amarah; sebaliknya, anak laki-laki diajarkan untuk menutupi rasa takut dan untuk tidak memperlihatkan kerentanannya. Alhasil, perempuan yang umumnya bekerja di bidang pelayanan jasa akan rentan mengalami semacam kehampaan perasaan yang bersumber dari celah (diskrepansi) antara tuntutan gaya emosi dari pekerjaan (emotional labor) dan perasaan bentukan dari riwayat pendidikan sosial-budaya ke-perempuanan-nya di masa lalu; kontradiksi tegangan antara tekanan tampilan emosi dan emosi-nya sendiri. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun