Mohon tunggu...
Purbo Iriantono
Purbo Iriantono Mohon Tunggu... Freelancer - Jalani inspirasi yang berjalan

"Semangat selalu mencari yang paling ideal dan paling mengakar" merupakan hal yang paling krusial dalam jiwa seorang yang selalu merasa kehausan kasih...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bagaimana Cara Me-"Lockdown" Tirai?

18 September 2020   00:37 Diperbarui: 18 September 2020   14:47 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sebagian besar penduduk ibu-kota, terutama yang dari kelas menengah ke bawah,  tinggal di rumah-rumah tanpa pintu dan hanya bersekat tirai atau korden, bahkan  mereka yang sudah punya rumah berpintu-pun masih terbelenggu adat kebiasaan lama bersekat korden; fakta kondisi sosial seperti ini, tentunya "beyond" (tidak terangkum) dalam imajinasi sains para pakar pandemik, yakni orang-orang "berkualifikasi ahli" yang sebagian besar hidup di lingkungan mapan gaya perkotaan dengan fasilitas, setidaknya, rumah bertembok dan berpintu. 

Gaya hidup sebagian besar penduduk kota yang tinggal sesekat berbatas tirai ini (atau di deretan rumah dempet), tentunya perlu juga dicermati; karena akan berpengaruh pada cara ter- "adekuat" untuk memilih obyek pembanding (misalnya, negara lain mana yang kiranya sepadan dengan penduduk Jakarta, tingkat kematian pandemik mana pula yang masih bisa ditoleransi, dst.) dalam laporan data statistik terkait PSBB atau  "lockdown";  selain itu, pemahaman si penentu kebijakan pada kondisi lingkungan (tempat-tinggal) penduduk kelas bawah tersebut, jelas akan berpengaruh besar pada tingkat efektivitas kebijakan PSBB.

Gaya hidup masyarakat di lingkungan rumah tak berpintu,  yang  tercermin dalam sikap penonjolan mereka pada nilai kebersamaan (atau mereka yang belum akrab dengan nilai privasi) di antara para anggotanya, sedikit banyak dapat "mengungkap" kerumitan atau kendala PSBB di kancah akar-rumput; mungkin, karena alasan adanya "gap" atau celah sosial-budaya di antara penduduk kelas bawah dengan para pakar pandemik -lah, yang membuat bapak Presiden bersikap hati-hati dan terkesan menunggu, pun beliau lebih cenderung pada pilihan kebijakan lintas mikro: cermati dulu sektor mana yang paling besar kontribusinya pada angka keterjangkitan pandemik atau angka kematian, baru kemudian diintervensi. 

     Bayangkan, negara maju dan bermodal besar, serta rakyatnya bisa dibilang sudah super mapan  seperti Amerika saja masih kelimpungan mengatasi pandemik; maka  kita tidak perlu panik setengah mati, cukup jalankan peran fungsi  masing-masing pihak sebaik mungkin dan, yang juga penting secara terkoordinasi: yang merasa dirinya sebagai politisi tak perlu bergaya sebagai tukang obat atau ahli pandemik dadakan, dan para pakar kesehatan pun cukup konsentrasi pada upaya pencegahan dan penyembuhan versi medis, serta salurkan keluhan serta kecemasan ke kepala daerah atau lembaga pemerintah setempat agar ditindaklanjuti berdasarkan fungsi politik kepemimpinannya; bila, belum juga puas dengan tanggapan pemda setempat, laporkan ke mendagri. Yang penting sosialisasi pencegahan pandemik selalu kita  tebarkan dan taati. Mengapa tangan dingin kita perlukan? Karena status  virus covid-nya sendiri masih terus bermutasi, dan vaksin belum berani unjuk dada, apalagi berkiprah; maka tak ada salahnya, gaya presiden Trump yang sedikit "cuek bebek" kita teladani; bukan karena kurang empati pada mereka yang sedang berjuang melawan ancaman covid, atau pada para korban pandemik, melainkan demi terpeliharanya "akal sehat" bersama. Ivan Illich pernah meneguhkan kita, kaum non-medis, bahwa rasa panik berlebihan ala pakar kesehatan modern dapat melumpuhkan daya imun masyarakat yang terkandung dalam adat budaya-nya. Mungkin, Illich mengungkapkan slogannya tersebut, setelah ia mengamati hidup para gelandangan jalanan yang jauh lebih imun dari orang mapan ala urban. Dan untuk memperoleh kekebalan tubuh ala orang gelandangan, pertama-tama, kita harus bisa bersikap "cuek bebek" seperti Donald bebek, eh Donald Trump! Apakah Trump cuek pada nasib warganya yang terus bergelimpangan diterjang pandemik covid? Tentu saja tidak, tapi menunjukkan sikap panik, di saat krisis penuh ketidakpastian, sama saja dengan bunuh-diri!

Alasan bapak presiden Jokowi untuk tetap bersikap hati-hati dan tidak segera mengambil kebijakan ekstrim, menurut penulis, karena mengubah kebiasaan penduduk kelas bawah secara seketika dan secara masif (skala luas), tidaklah mudah; bahkan dengan argumen ancaman pandemik paling fatal yang telah ditebarkan lewat para artis influencer pun, penduduk kelas bawah ini nyaris tak bergeming. Dalam konteks seperti ini-lah, kita membaca keluarnya isu dari pihak kepolisian yang ingin memanfaatkan tenaga preman pasar sebagai perpanjangan tangan.

"Sincerity' is detrimental to one's job, until the rules of salesmanship and business become a 'genuine' aspect of oneself." (Charles Wright Mills)

Harapan bagi penduduk kota golongan menengah ke bawah, setidaknya menurut penulis, para pemimpin politik atau kepala daerah, semestinya tidak terlalu berat sebelah ketika menghadapi ancaman bermata-ganda, yakni ancaman kematian akibat pandemik dan ancaman merebaknya "gejolak" dalam  masyarakat. Seorang filsuf, tidak akan dipersalahkan bila ia menegaskan bahwa nyawa bukan sekedar angka statistik: namun, bagi seorang pemimpin politik (apalagi kepala daerah), ucapan seperti itu dapat dimaknai sebagai pelecehan pada nilai keadilan yang hanya dapat diungkapkan melalui angka statistik: karena statistik (dan cara bacanya) adalah sarana bagi si pemimpin untuk dapat memutuskan secara berkeadilan. Se-kritis, dan sebahaya apapun ancaman covid versi pakar pandemik; informasi dari si pakar, bagi pemimpin, tetap harus melalui proses  "olahan" (dipertimbangkan, diwacanakan, didiskusikan) agar dapat dihasilkan kebijakan yang matang, kebijakan yang setimbang, atau bahkan kebijakan yang mampu "mengatasi/mencerahkan/membajak" ancaman dari dua kondisi kritis, yakni kondisi ancaman kematian korban pandemik dan kondisi potensi munculnya "gejolak" dalam masyarakat.

Kondisi kekinian masyarakat yang mulai "bergejolak" semestinya pula dicermati dan dipertimbangkan oleh pembuat kebijakan (pemimpin), apalagi di tengah carut-marut kontestasi politik kekuasaan yang semakin sengit. Pemimpin yang tetap "keukeuh" hanya pada prinsip melankolik "nyawa bukanlah angka", akan mudah disalahtafsirkan oleh pemangku kepentingan atau wakil rakyat lain sebagai aktor (intelektual) pemicu gejolak di masyarakat, karena tanpa harus jadi pemimpin, orang awam pun tahu bahwa angka tidak dapat dipadankan dengan nyawa. Tapi, bukan itu persoalannya; persoalan utama adalah, apakah keputusan bapak kepala daerah benar-benar dibuat sesuai dengan fungsi-perannya sebagai penentu kebijakan di daerahnya? Terima-kasih!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun