Mohon tunggu...
Purbo Iriantono
Purbo Iriantono Mohon Tunggu... Freelancer - Jalani inspirasi yang berjalan

"Semangat selalu mencari yang paling ideal dan paling mengakar" merupakan hal yang paling krusial dalam jiwa seorang yang selalu merasa kehausan kasih...

Selanjutnya

Tutup

Sosok Pilihan

Giring dan Slam Dunk Kekepoan!

25 Agustus 2020   12:15 Diperbarui: 25 Agustus 2020   22:53 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosok Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Fenomena pengajuan calon presiden 2024 yang sangat berani dari partai (PSI)pengusung yang tidak kalah nekatnya, menarik minat, setidaknya minat penulis yang hidup di tengah negeri bhineka ini. 

Di tengah kegelapan krisis pandemik melanda negeri, dan di tengah gejolak politik tarik-menarik dengan tema berulang dan jadul, maka keberanian untuk memecah situasi dan menggedor kesadaran etika politik dalam prosesi kepemimpinan yang kerap diabaikan secara sengaja, patut kita hargai. 

Terlepas dari semua prasangka negatif, desakan itu menggambarkan batas kesabaran generasi kekinian yang mulai muak dengan pola-pola jadul "konfrontasi" politik yang temanya diulang-ulang.

Setidaknya, pemimpin masa depan bangsa adalah pemimpin yang selalu berusaha menemukan potensi terbaik dari orang ataupun kelompok atau pun masyarakat yang dipimpinnya.

Sebagai peluang untuk pengembangan diri, untuk tumbuh-kembang kelompok, dan demi kemajuan masyarakat luas.Ia menghadapi realitas keterkungkungan manusia yang dipimpin bukan sebagai "fatally limit border", melainkan sebagai isyarat adanya pengaruh daya dominasi negatif yang luar-biasa yang harus ia segera atasi sebagai semacam tantangan atas kemampuannya memimpin.

     Pada titik inilah terletak pusat kelemahan pemimpin yang hanya menonjolkan aspek nilai-nilai idealis pribadinya; karena tuntutan untuk mau dan sanggup melawan pengaruh dominasian.

Yang menyebabkan kelumpuhan diri dari kelompok atau masyarakat adalah juga tuntutan untuk segera keluar dari zona aman, dari zona tradisional yang stagnan (karena ada zona tradisional yang progresif), dari pengaruh semua ajaran yang kaku dan bersifat tertutup ; "it means personal great war!"

Tapi, hal tersebut di atas  juga mengimplikasikan tuntutan peran kritis dan fundamental bagi seorang pemimpin, yakni mampu memadukan atau mempersatukan masyarakat dengan kode moral yang koheren dan dengan cara dipaksakan (diwajibkan) melalui piranti sistem pemerintahan yang kuat dan etis. 

Kode moral ini akan berlandaskan pada apa yang dibutuhkan untuk kebaikan atau kemaslahatan terbesar masyarakatnya.

Terkait pemahaman tentang kemampuan pemimpin ideal dan handal untuk dapat atau mampu memaksakan persatuan kode moral ini, penulis petik dari cendikiawan Cina jadul bernama Mozi, sang inspirator bagi Sun Yat Sen dan Mao Zedong. 

Di dalam ranah negeri kebhinekaan seperti Indonesia, peran dan fungsi kritis pemimpin sebagai tokoh sentral pemersatu kode moral merupakan hal yang tidak dapat ditawar-tawar. 

Melalui terang latar seperti inilah kita seharusnya memandang upaya keras pemerintah dalam mewujudkan Pancasila sebagai haluan negara, sebagai satu-satunya alat pemersatu yang paling berterima dan muwakil seluruh komponen masyarakat, bukan dari cara pandang penuh prasangka untuk mengganti atau mengubah atau bahkan melecehkan ideologi tertentu.

Demi terpenuhi upaya strategis untuk terwujudnya persatuan yang lebih kokoh dan menyeluruh dari bangsa besar berbhineka, apa pun caranya layak kita perjuangkan; apalagi di era milenia yang deras perubahan fundamentalnya, maka kebutuhan akan sarana pemersatu ideologis itu kian mendesak, karena kita semakin dihadapkan pada banyak tuntutan  yang mengarah pada peningkatan drastis daya inovatif dan kreatif. 

Maka pertanyaan yang muncul dari benak penulis :"Apakah dalam era seperti ini kita dibenarkan untuk terus bersikukuh pada prinsip yang mungkin sudah kurang relevan? Pemerasan Pancasila jadi eka atau tri -sila semestinya dilihat dalam perspektif ini, sebagaimana pada awal lahirnya, 

Pancasila pun merupakan produk dinamis diskusi atau seminar yang menawarkan ragam alternatif; bukan untuk mengubah Pancasila melainkan untuk memperoleh intisari pesan yang terkandung di dalamnya.

Agar lebih relevan dengan tuntutan perubahan jaman yang mulai lelah dengan kegaduhan akibat rumitnya birokrasi topeng-topeng ideologi di negeri kaya perbedaan ini, agar mengurangi potensi friksi dari wacana-wacana yang mengancam persatuan dan yang bersumber dari sila-sila yang dianggap sudah kurang relevan untuk selalu dipolemikkan.

Bahkan sila-sila yang sudah kurang relevan itu dijadikan sasaran atau bahan atau alat untuk dapat memicu perpecahan di antara anak sebangsa; lebih ironus lagi, sila-sila yang sudah kurang relevan tersebut dilecehkan lewat kaca-mata perbandingan atau pertentangan makna preferensi dengan aspek-aspek dalam ideologi-ideologi lain. 

Jadi, justru mereka yang sangat menghormati Pancasila-lah yang ingin menyelamatkan Pancasila dari ragam rupa "pelecehan" sebagai cara provokasi pemecah-belah bangsa, dan mereka yang berteguh pada obsesi orisi nalitas bentuk rupa, dan hanya diam ketika terjadi ulah pelecehan.

Lalu berdalih Pancasila itu yang terpenting amalannya; bila benar dalihnya demikian, dan Pancasila dipahami seperti jimat historis yang hanya layak disimpan dalam peti es; mengapa bentuk formal diubah sedikit sudah seperti pemimpin kebakaran jenggot? 

Ini seperti penganut sikap kontradiktif ala munaf(ik); mengapa kita tidak belajar dari para penganut Katolik yang berpegang pada intisari pemaknaan ajaran Tuhan daripada ribut-ribut aturan formal permukaan?

Meskipun sikap mereka (kaum Katolik) juga merupakan bagian tanggapan dari sejarah kelam masa lampau, tapi setidaknya kita bisa memetik hikmah masa lampau era abad kegelapannya. Kekinian mereka saat ini lebih bertopang pada masalah fundamen iman yakni spiritualitas, alih-alih pada formalitas agama dan atau ideologi yang rentan disulap jadi ideologi politik. 

Contoh konkrit dari kasus perjuangan berat para ulama Katolikbyang memihak demokrasi alih-alih menonjolkan kuasa gerejanya adalah Francisco de Vitoria; beliau dikenal sebagai pejuang pembela kaum "unbeliever" (kafir) dengan adagium terkenalnya  :

 "Ownership and dominion are based either on natural law or human law; therefore they are not destroyed by want of faith."

Dan perjuangan beliau menjadi sangat berat, justru karena berhadapan dengan puncak semangat kolonialisme yang sedang menggebu-gebu dada para raja di Eropa. Beliau berjuang menolak digunakannya semua atribut atau argumen relijius demi pembenaran hasrat berperang atau menjajah. 

Bayangkan, seorang ulama berani melawan hasrat fiktif penyebaran agamanya sendiri; hasrat yang banyak dijadikan dalih atau topeng dari para raja kolonialis untuk menjajah kaum pribumi Asia atau Afrika. Betapa, sudah sejak di era akhir abad pertengahan ulama Eropa mengkritisi agamanya sendiri.  

Contoh lainnya, adalah Francisco Suarez, seorang Jesuit Jenius pejuang toleransi dan pemisahan kuasa gereja dan kuasa politik. Adagium Suarez terkait toleransi dan pemisahan kuasa agama dari kekuasaan politik yang terkenal dan masih relevan dengan era millenial adalah :

"There is no doubt that God is the sufficient cause and, as it were, the teacher of the natural law. But it does not follow from this that He is the lawgiver."

Banyak ajaran dari Suarez ini yang kemudian diteruskan oleh Hugo Grotius, sang pakar perintis hukum bebas kelautan.

Jadi sebenarnya siapa yang kurang menghargai Pancasila? Bahkan ideologi agama pun bisa dan mungkin untuk dikritisi; hanya mereka yang masih terfiksasi masa lampau atau yang masih diliputi prasangka tidak berdasar-lah yang selalu menyamakan "kritik membangun" dengan upaya untuk mengubah atau bahkan meniadakan. 

Sudahlah, mengapa energi besar itu tidak kita gunakan ke arah yang lebih mendesak, lebih  strategis, lebih kreatif dan lebih produktif?

Persoalan yang dihadapi pemimpin handal kian rumit ketika terdapat konflik nilai antar atau di dalam individu, kelompok dan masyarakat. Jadi bukan karena persaingan dan dominasi, melainkan karena perbedaan orientasi nilai.

Hal ini harus di bedakan karena akan berpengaruh luas pada frame cara pandang kita terhadap segala hal yang berbeda dengan kita. Meskipun sangat dimungkinkan bahwa yang awalnya karena perbedaan orientasi nilai, kemudian berlarut-larut, dan akhirnya menjelma jadi hasrat untuk mendominasi. Inilah tantangan khas untuk  the art of a leader! 

Karena ini menyangkut seluruh aspek "reevaluation of all values of his own belief". Taraf ini tidak mudah, bila bukannya tidak mungkin, berhasil diatasi oleh seorang pemimpin yang punya pandangan terlampau rijid terkait keyakinan dan kebenarannya sendiri.

"Yang terbaik untuk individu belum tentu berterima pada tingkat kelompok, bahkan mungkin bertentangan, begitu pula sebaliknya dan demikian pula yang terjadi pada level yang lebih tinggi dan yang lebih luas seperti dalam level masyarakat."

Berdasarkan pertimbangan di atas, maka alasan memilih pemimpin dari mereka yang muda dan peka pada isu global jadi sangat penting dan kritis karena dalam era milenial, desakan ke arah penyatuan global kian kuat; kita tidak lagi dapat hanya mengandalkan diri pada pemahaman nasional apalagi hanya yang bertaraf lokalan. 

Jaring keterkaitan berlevel global ini kian pekat dan merubah secara revolusi perspektif kita pada semua konsep stagnan era abad 19. Analogi sederhana untuk menggambarkan cepatnya perubahan tuntutan model dan sifat kepemimpinan nasional atau lokal adalah melalui cepatnya perubahan kuantitas informasi global yang terserap ke seluruh lapisan penduduk. 

Bagi yang tidak pernah memikirkan pengaruh kedalaman dan keluasan informasi yang kita peroleh di era kekinian, maka tidak akan mudah bagi mereka untuk bisa memahami tuntutan perubahan yang mendekati kecepatan revolusi, perspektif mereka akan selalu terpatok pada doktrin-doktrin formal yang kini harus sudah mulai kita tanggalkan.

Seprogressif apapun pendidikan formal yang kita peroleh di masa lalu; kini sudah mulai kembali usang, dan proses cepatnya keusangan itu terutama disebabkan oleh daya revolusi dari tsunami pandemik covid.

Daya pemahaman pada semua kompleksitas global ini hanya mungkin diperoleh dari asumsian pada produk kontroversialnya pendidikan konvensional. Mereka yang telah merasakan dan berkomitmen untuk mengkritisi kelemahan mendasar dari produk konvensional-lah yang berpeluang besar untuk dapat memahami kondisi terkini.

 Dengan demikian, tuntutan pada pilihan pemimpin yang punya "kualifikasi unik" dari output piramida pendidikan, tak dapat lagi kita abaikan; hanya segelintir orang yang sangat berbakat dan cerdas yang dapat keluar dari kotak pakem ini. 

Sekarang, faktor kritisnya ada pada kualitas pendidikan formal yang harus bersedia untuk lebih terbuka dan luwes pada tuntutan perubahan yang kian cepat, agar produk utama-nya lah yang kelak mampu berkompetisi, alih-alih produk side-effect-nya. 

Terima-kasih dan selamat ber "slam dunk" pada semua prasangka kepo!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosok Selengkapnya
Lihat Sosok Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun