Mohon tunggu...
Antonius Ruron
Antonius Ruron Mohon Tunggu... Guru - Guru Penjas Sekolahan

You'll never write alone

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Bukan Sopan tapi Malu

6 Maret 2023   16:12 Diperbarui: 6 Maret 2023   16:26 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Antonius Ruron (guru) dan para siswa SMPN 1 Lewolema. Dokpri

Aroma tanah basah, semilir angin sepoi-sepoi mengantar kesejukan, pemandangan hijau di depan mata, sesekali terdengar kicau burung,  tiba-tiba kenikmatan suasana pagi itu dikejutkan dengan sebuah pikiran bahwa SOPAN SANTUN adalah hal yang Biasa Saja. Sopan santun bukan sebuah hal luar biasa yang harus dibanggakan.

Pikiran ngacoh dari Mas Penulis Asrul Right dalam buku "Guru 5 G" memang sangat menggangu ketika kita baru selesaikan paragraf pertama dari topik kecil dalam bukunya. Setelah menyelesaikan seluruh paragrafnya saya kemudian mulai menyadari bahwa pikiran -- pikiranya banyak benarnya setelah dikaitkan dengan pengalaman-pengalaman yang saya atau mungkin teman teman alami di lingkungan sekolah atau tempat komunitas lainnya.

Saya berjumpa "Guru 5 G" ini ketika mengambil sebuah buku secara acak dari koleksi Pak Maksimus lalu bergabung dengan peserta didik yang memilih mengambil sudut terjauh saat kegiatan membaca 30 menit dua kali seminggu pada pagi hari yang digiatkan di sekolah kami SMP Negeri 1 Lewolema. Dari pikiran Asrul Right tersebut saya dapat menarik sebuah kesimpulan bahwa Sopan Santun itu bukan hal utama yang harus dikejar, melainkan rasa malu.

Pengalaman menjadi guru selama dua tahun ini sering sekali saya menemukan siswa yang terlambat masuk kelas saat pagi hari setelah jam istirahat. Dan uniknya kalimat yang diucapkan siswa saat masuk ketika terlambat itu sama saja tiap siswanya. Kira -- kira begini kejadianya !

"tok tok" suara pintu diketok. Guru menoleh ke arah pintu, siswanya masuk lalu "Pak maaf saya terlambat, saya dari toilet", dengan tatapan yang biasa saja. Kejadian dengan kalimat ini seperti sudah menjadi "template" sekolah. Kejadian tersebut bisa dilakukan siswa yang sama berluang kali. Bahkan beberapa guru sampai saling bercerita bahwa ada siswa tertentu yang selalu terlambat masuk ketika jam pergantian pelajaran.

Kejadian di sekolah ini memberikan gambaran bahwa siswa tersebut memang sopan. Bagaimana ia ketika terlambat masuk kelas, mengetuk pintu, meminta maaf dan menjelaskan mengapa terlambat. Sopan santun terlihat namun apakah ia malu ketika selalu terlambat ? belum tentu. Apakah jika ia selalu sopan maka kejadian yang menggangu itu bisa terhenti ? lalu kalau ia sedikit memiliki rasa malu ketika terlambat apa yang akan terjadi ? Pikiran Asrul Right semakin terlihat benarnya. Bukan sopan tapi malu! Bukan juga malu-maluin.

Kalau dunia orang dewasa hal ini akan terlihat lebih ekstrim. Sering kita mendengar dari beberapa orang yang dengan nada menyesal atau merasa tidak percaya mereka ungkapkan hal seperti ini. "ah tidak mungkin dia seperti itu, anak itu baik, sopan sekali". Atau dengan bunyi kalimat "Dia itu orang yang sangat sopan, tampangnya terlihat alim, masa ia seperti itu? Kalau dengan bahasa Lamatou, "ana pe mae di, nae maka pe hala oa, goe persaja hala".

Setelah membahas murid, sekarang kita bahas gurunya. Sebagai #Gurupenjas yang telah pulang pergi sekolah selama dua tahun dan aktif berorganisasi beberapa fenomena orang dewasa telah saya alami, baik tentang semangat kerja yang naik turun, rekan kerja yang kadang kurang kompak atau motor yang kadang rusak di jalan bahkan mantel hujan yang bolong.

Kadang sebagai guru kita telah bertindak secara santun di depan kelas, memberi tugas kepada siswa, siswa mengerjakan, kita tegaskan untuk kumpul tepat waktu, lalu pekerjaan itu kita tumpuk di meja kerja sampai dua bulan kemudian baru dibagikan kembali kepada siswa. Pasti ada siswa yang kalau mereka sudah paham, dalam hati pasti mereka ngeluh, "Pak ini, kalau kita terlambat kumpul tugas dia marah, setelah kumpul dia tidak periksa". Dalam bahasa Lamatou " Pa pe ane ne, tite kria hala nae teko, tite kumpul kae nae periksa di hala, ema tilu!"  Seandainya kalau rasa malu kita tempatkan di depan mungkin pekerjaan itu tidak tertunda.

Adalagi kejadian tentang ijin tidak masuk sekolah. Minggu ini, "Pak Kepala sekolah, mohon ijin saya sakit". Satu minggu tidak masuk sekolah. Setelah sehat minggu depannya lagi

"Pak kepala sekolah, selamat pagi, mohon ijin saya tidak masuk sekolah 1 minggu karena ikut acara wisuda ponakan di Jayapura".

 Hal ini mungkin tidak terjadi hanya sekedar kiasan. Misalnya kalau rasa malu diutamakan ijin dengan alasan wisuda ponakan tidak akan terjadi. Kalau ijin saja berpeluang rasa malunya kurang,bagaimana kalau dengan yang tanpa keterangan? Bukan sopan tapi malu.

Belum lagi kalau tentang kasus moral yang tersangkanya guru. Ini mungkin puncaknya atau bisa saja ada yanng lebih ekstrim. Tidak perlu dijelaskan lagi tentang tugas guru. Sembari internalisasi nilai Guru penjas ya, "lari lompat lempar dan kawan-kawan, guru bahasa Inggris ya Simple Present Tense, Simple Past Tense dan kawan-kawan. 

Nah kalau guru yang tugasnya khusus membenarkan moral dan akhlak peserta didik lalu menciptakan kasus moral ? Ema tilu ! itu bukan Legend tapi Mythical Glory. Bukan Sopan tapi Malu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun