Mohon tunggu...
antonius dian
antonius dian Mohon Tunggu... -

Mahasiswa Kajian Media Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Atma Jaya Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Fenomena Korean Wave di Indonesia

28 November 2013   13:45 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:34 688
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13856209851252872407

[caption id="attachment_305168" align="aligncenter" width="576" caption="Konser SNSD di Ancol Jakarta 2013 (Foto oleh tribunnews.com)"][/caption] Tentu kita sudah tidak asing lagi dengan istilah K-Pop. K-Pop merupakan kependekan dari Korean Pop, yaitu salah satu jenis musik yang berasal dari Korea. Saat ini demam musik K-Pop sedang melanda seluruh anak muda di dunia, baik dari Benua Asia hingga Benua Amerika. Fenomena tersebut biasa disebut dengan istilah Korean Wave atau Hallyu Wave. Siapa yang tidak kenal dengan boyband Super Junior, PSY, dan girlband Girls Generation asal Korea. Jika dilihat di Youtube, jumlah akses video terkait dengan single hit Super Junior tembus hingga angka 68 juta, PSY dengan “Oppa Gangnam Style” tembus pada angka 1,7 miliyar, dan Girls Generation pada angka 109 juta. Data tersebut memperlihatkan bahwa animo masyarakat dunia terhadap Koeran Wave sangat tinggi. Demam musik K-Pop saat ini juga sedang manjamur di industri musik Indonesia. Demi tuntutan pasar, para produser pun berlomba-lomba menciptakan girlband dan boyband yang berkiblat pada aliran musik tersebut. Sebut saja SM*SH, Cherrlybelle, dan 7 Icon, nama-nama itu cukup popular dalam dunia permusikan Indonesia saat ini. Lewat produksi massa dan pemberitaan yang tak kunjung henti membuat Korean Wave ini semakin mendapatkan tempat di masyarakat. Hal tersebut tidak lepas dari apparatus media yang berperan penting dalam menyebarkan wabah ini. Menurut pengamatan dari sumber di internet, pada tahun 2013 saja suadah lebih dari Sembilan artis korea yang manggung di Indonesia, seperti Super Junior, SHINee, 2PM, Beast, Infinite, Sistar, Teen Top, dan Eru, dan yang terakhir Girls Generation (SNSD). Pada tahun-tahun sebelumnya ada BoA (2004), Wonder Girls (2010), Jang Na Ra (2009), Rain (2009), SHINee (2010), PARAN (2007), 2PM (2012), G Dragon (2012), SISTAR (2012), dan masih banyak lagi. Para promotor musik pun berlomba-lomba mendatangkan artis-artis Korea. Tiket yang ditawarkan pun harganya tidak tanggung-tanggung, misalnya konser SNSD membagi tiketnya kedalam 6 kategori, Premium Red Rp 2.500.000. Red Rp 2.200.000, Pink A dan Pink B Rp 1.750.000, Yellow A B C  Rp 1.500.000 Purple Rp 1.000.000, Green A B C  Rp 600.000. Tiket tersebut terjual habis dalam waktu 3 menit. Itu menunjukan bahwa artis Korea banyak digandrungi di Indonesia, bahkan ada yang membuat fans base sendiri demi menyalurkan kegemaran mereka terhadap artis tersebut. Di Indonesia demam K-Pop tidak hanya merambah dalam bidang musik saja, namun juga di bidang fashion, seperti style berpakaian dan gaya rambut, serta ranah perfilman. Banyak anak muda di sekitar kita yang berdandan ala artis Korea. Fenomena tersebut dimanfaatkan oleh sejumlah industri fashion untuk memproduksi pakaian dan aksesoris seperti yang dikenakan artis-artis korea. Online shop yang menyediakan fashion ala Korea pun tumbuh pesat bagaikan jamur di musim hujan. Model yang mereka gunakan sebagai promosi pakaian juga menggunakan standar ciri artis Korea, yaitu cantik, putih, tinggi, langsing, dan berambut lurus. Teori Musik Pop dan Industri Budaya Adorno Mewarisi logika berpikir marerialisme historis dari Karl Marx, kelompok kritis berpikir dalam skema base structure-super structure. Corak produksi ekonomi material menentukan bangunan ideologis, kultural, dan intelekual masyarakat. Determinisme structural berbasis ekonomi ini menjadi pegangan penting untuk memahami cara berpikir kelompok kritis. Theodor Adorno (1903-1969) adalah seorang sosiolog, filsuf, musikolog, dan komponis berkebangsaan Jerman pada abad 20. Dia adalah angota Mazab Frankfurt bersama koleganya Max Horkheimer, Walter Benjamin, Habermas, dan lain-lain. Salah satu sumbangannya dalam teori kritis adalah kritiknya terhadap masyarakat modern mengenai penindasan yang dilakukan kapitalisme terhadap manusia. Adorno terkenal dengan konsep industri kebudayaan (cultural industry) dimana produk-produk kebudayaan dan kesenian tidak lagi sekedar medium ekspresi manusia namun sudah menjadi komoditas. Adorno menganalisis fenomena tersebut melalui teori musik pop. Teori musik pop merupakan analisis yang terkenal dari Adorno dalam menjelaskan industri budaya. Menurutnya, teori pop ini terkait dengan teori industri budaya dan komoditas fetisisme. Komoditas Fetisisme dan Teori Industri Budaya: Komoditas Fetisisme ialah suatu upaya yang dilakukan industri untuk membuat masyarakat melakukan “pemujaan” terhadap suatu produk dari industri budaya. Pemujaan di sini bukan merupakan pemujaan secara nyata terhadap produk, tetapi lebih cenderung kepada symbol dan merek dari produk tersebut. Masyarakat dibuat merasakan kenimatan semu melalui merek dan symbol-simbol dari produk industri budaya. Mereka menganggap kenikmatan yang mereka dapatkan merupakan kenikmatan sejati dari produk yang memiliki nilai tersendiri. Fetisisme komoditas ingin berbicara mengenai kenikmatan semu yang dirasakan masyarakat dalam mengonsumsi produk industri budaya dan mengenai kesalahan penempatan pemujaan terhadap produk tersebut. Sedangkan teori industri budaya ingin menyatakan bahwa industri budaya membentuk selera dan kecenderungan massa, sehingga mencetak kesadaran mereka atas dasar kebutuhan-kebutuhan palsu. Maka dari itu industri budaya berusaha mengaburkan kebutuhan-kebutuhan riil masyarakat. Industri budaya sangat efektif dalam menjalankan hal tersebut hingga orang tidak menyadari apa yang tengah terjadi. Melalui industri budaya dan komoditas fetisisme inilah teori musik pop muncul dan membuat musik menjadi analisis Adorno demi membuktikannya. The Culture Industry and Popular Music: Menurut Adorno, musik pop dihasilkan melalui dua proses dominasi industri budaya, yakni standardisasi (standardisation) dan individualitas semu (pseudo-individualisation). Standarisasi menjelaskan mengenai tantangan dan permasalahan yang dihadapi musik pop dalam hal originalitas, autentisitas ataupun rangsangan intelektual. Standarisasi menyatakan bahwa musik pop mempunyai kemiripan dalam hal nada dan rasa antara satu dengan lainnya hingga dapat dipertukarkan. Dengan kata lain ada kemiripan mendasar pada musik pop dalam berbagai hal yang dikandungnya yang mampu dipertukarkan hingga menjadi komoditas tersendiri. Pengkomodifikasian tersebut yang menghasilkan komoditas fetisisme nantinya. Sementara standardisasi berjalan, individualitas semu dijalankan demi membuat kabur individualitas rasa yang seharusnya ada dalam diri individu dalam menikmati musik. Individualitas rasa merupakan hal yang dihasilkan produk budaya dalam memengaruhi suasana individual. Demi mengaburkannya, individualitas semu diciptakan. Individualitas semu mengacu pada perbedaan-perbedaan dalam musik pop yang sifatnya hanya kebetulan, hal ini dapat tercipta melalui pengaburan kemiripan-kemiripan dalam musik pop dengan cara memberi variasi. Adorno mencoba membandingkan hal ini dengan musik klasik dan titik temunya adalah pembahasan mengenai standardisasi dan non standardisasi. Musik klasik dinilai sebagai musik yang mampu menjelaskan tantangan fetisisme komoditas karena musik klasik seperti Beethoven adalah musik serius yang meninggalkan komoditas. Musik klasik dianggap mempunyai detail yang membuatnya berbeda satu sama lain serta dapat membangkitkan rasa individualitas masyarakat. Sementara itu, ketidakhadiran detail dalam musik pop dimaknai sebagai kerangka, yakni standardisasi terhadap musik-musik pop yang ada dan menentang prinsip-prinsip liberalitas karena tidak diperbolehkannya individu memilih musik yang lebih variatif dalam musik pop. Hal tersebut karena sudah terpakemkan, baik dari segi produksi maupun konsumsi. Namun demi memunculkan detail-detail dalam musik pop, kaum industri menciptakan individualitas semu, yakni membuat suatu kebebasan individu dalam memilih musik pop, tetapi kebebasan tersebut pun telah distandardisasi sebelumnya oleh elit-elit industri. Hal ini disebut kebebasan yang ada karena standardisasi itu sendiri. Contohnya terdapat dalam musik Jazz, improvisasi yang ada merupakan individualisasi semu guna mengaburkan standar maupun pakem-pakem yang telah dibuat. Kemunculan musik pop macam ini, menurut Adorno merupakan kehendak kaum kapitalis yang ingin memanipulasi selera musik masyarakat. Melihat potensi pasar yang besar dalam budaya, membuat kaum kapitalis tergiur untuk kembali menciptakan pasar yang sangat menguntungkan dengan masyarakat sebagai aset hidup sekaligus menekan pesaingnya, yakni budaya yang berperan sebagai filter masyarakat terhadap dominasi kapitalis. Musik tidak lagi dinilai sebagai karya intelektual yang dapat dinikmati dan dipelajari, tetapi menjadi produk industri yang berperan hanya sebatas hiburan dikala lelah dan waktu senggang. Analisa JIka dilihat dari pemikiran Adorno mengenai culture industry, produk-produk kebudayaan dan kesenian Korea tidak lagi sekedar menjadi medium ekspresi masyarakat Indonesia, namun sudah menjadi komoditas. Fenomena K-Pop memang dirancang untuk memenuhi selera pasar. Selera pasar itu pun merupakan bentukan dari media massa yang merupakan perpanjangan tanggan dari kapital. Media massa disini tidak memberikan pilihan-pilihan individual kepada penontonnya, namun melakukan distribusi informasi yang bersifat massal, karena aspek massal itu akan membangun selera yang mendukung aktivitas jual beli produk dalam kapitalisme. Industri membuat masyarakat melakukan “pemujaan” terhadap produk dari budaya K-Pop. Pemujaan di sini bukan merupakan pemujaan secara nyata terhadap produk, tetapi lebih cenderung kepada symbol dan merek dari produk K-Pop. Di sini masyarakat Indonesia dibuat merasakan kenikmatan semu dari mengkonsumsi merek dan simbol-simbolKorean Wave. Contohnya ketika seseorang membeli tiket konser artis Korea, maka yang dipuja-puja bukanlah konser tersebut tetapi simbol dan brand dari konser tersebut yakni tiket konser yang berlabel serta dibeli dengan harga yang tidak murah. Industri budaya juga membentuk selera dan kecenderungan massa, sehingga mencetak kesadaran mereka atas dasar kebutuhan-kebutuhan palsu. Misalnya kebutuhan berpenampilan ala artis korea dan kebutuhan untuk selalu update lagu-lagu terbaru artis korea. Dalam teorinya, Adorno berpendapat bahwa musik pop mempunyai kemiripan dalam hal nada dan rasa antara satu dengan lainnya hingga dapat dipertukarkan. Ada kemiripan mendasar pada musik K-Pop asli Korea dengan musik K-Pop asal Indonesia. Faktor itulah yang dipertukarkan hingga menjadi sebuah komoditas tersendiri, bahkan dalam fenomena Korean Wave bukan hanya kemiripan nada yang dikomodifikasi, namun juga sytle bernyanyi, kostum, dan aksi panggung. Untuk lebih jelasnya kita bandingkan saja penampilan boyband Super Junior dan SM*SH, banyak hal yang identik dari aksi panggung mereka, misalnya gaya rambut, kostum, nada dan juga aksi panggung. kaum industri menciptakan individualitas semu, yakni membuat suatu kebebasan individu dalam memilih musik pop, tetapi kebebasan tersebut pun telah distandardisasi sebelumnya oleh elit-elit industri. Masyarakat Indonesia tidak lagi otonom sebagai individual, namun hanya merupakan kawanan dimana selera dan pilihan individunya sudah tak berdaya menghadapi produksi kebudayaan dari para kapital. Yang diuntungkan disini adalah pemilik modal yang memanfaatkannya. Misalnya, banyak promotor musik yang mendatangkan penyanyi Korea demi merauk keuntungan dari fans yang berada di Indonesia. Cara merauk keuntungannya pun dapat dilakukan melalui beberapa cara, misalnya melalui penjualan tiket, penjualan atribut maupun merchandise, jumpa fans, dan lain-lain. Hal sekecil apapun dapat dijual karena untuk mendapatkan kepuasan semua ada harganya. Publik di Indonesia tidak merasa bahwa kesadaran mereka sedang direkayasa dan dibentuk preferensi estetikanya untuk melanggengkan kapitalisme. Efek lain dari situasi ini adalah adanya cultural dominaton karena hanya corak kebudayaan yang sesuai dengan kehendak capital saja yang diakomodasi dan berkembangdi media massa. Media massa tidak lagi mengakomodasi kepentingan budaya di luar corak itu. Misalnya model iklan kecantikan didominasi model yang memenuhi standar cantik Korea, iklan oprator seluler yang menggunakan Cherrlybelle dan 7-Icon, juga iklan sepeda motor yang menggunakan boyband SM*SH sebagai brand ambassador. Kesimpulan Demam K-Pop di Indonesia merupakan produk dari industri budaya yang dilancarkan oleh Korea. Kultur yang dihasilkan dari Korean Wave bersifat manipulatif dan tidak otentik. Dibalik itu semua ada kepentingan industri yang bertujuan mencari profit dari produk budaya yang ditawarkan. Publik telah ditipu (decepted) oleh mekanisme ini, karena preferensi selera individu harus melebur dalam selera pasar. Hal tersebut tidak lepas dari apparatus media yang berperan penting dalam menyebarkan tren K-Pop di Indonesia. Media massa merupakan alat yang ampuh untuk membentuk, merawat, dan mereproduksi kebudayaan K-Pop sesuai kehendak kapital. Di sini massa tidak memberikan pilihan-pilihan individual kepada penontonnya, namun melakukan distribusi informasi yang bersifat massal, karena aspek massal itu akan membangun selera yang mendukung aktivitas jual beli produk dalam kapitalisme. Daftar Pustaka Kristiawan, R. Penumpang Gelap Demokrasi: Kajian Liberalisasi Media di Indonesia, Jakarta, Aliansi Jurnalis Independen, 2013. Fiske, John. Memahami Budaya Populer, Yogyakarta, Jalasutra, 2011. Storey, John. Cultural Theory and Popular Culture, Great Britain, Simon & Schuster International Group, 1993. Strinati, Dominic. An Introduction to Theories of Popular Culture, London, Routledge, 2005. http://kimabdul.blogspot.com/2012/05/10-artis-korea-yang-pernah-manggung-di.html http://ormitamedia.com/k-pop-industri-musik-dari-negeri-korea.html http://hiburan.kompasiana.com/musik/2013/09/13/galauisasi-melanda-sone-yang-tidak-dapat-menyaksikan-konser-snsd-di-jakarta-592165.html

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun