Mohon tunggu...
Anton DH Nugrahanto
Anton DH Nugrahanto Mohon Tunggu... Administrasi - "Untung Ada Saya"

Sukarnois

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Arswendo Atmowiloto: dari "Lheer..." sampai "Senopati Pamungkas"

21 Juli 2019   15:55 Diperbarui: 22 Juli 2019   02:36 3569
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ketiak Yang Diangkat Ke Atas Selalu Menjadi Ikon Dalam Headline Monitor Dan Disukai Masyarakat, Inilah Yang Disebut Jurnalisme

Sementara genre artikel anak muda tidak selamanya ditautkan pada acara acara televisi yang sifatnya menyeluruh dari tontonan kaum ibu sampai pekerja kantoran, televisi menjadi puncak peradaban komunikasi saat itu, Arswendo melihat ini sebagai peluang. 

Majalah Hai tidak lagi berfokus pada aktor aktor televisi, tapi bisa diarahkan pada anak anak muda idola sekolah dan meledakkan musik musik yang sedang digandrungi saat itu, acara film diserahkan pada ceruk khusus, oleh Arswendo ia mengarahkan pada platform cetak Tabloid.

Penggunaan tabloid dalam industri media menjadi arus besar penciptaan industri gosip baru yang pergerakannya sangat cepat. Arswendo lagi lagi meletakkan sejarah media yang punya pengaruh panjang. Tabloid dijadikan Arswendo tiga pertemuan : Tulisan Jenaka, Merangsang dan Kepo tiga bentuk ini menyatu dalam kalimat celetukan "Lheer".

Ketiak Yang Diangkat Ke Atas Selalu Menjadi Ikon Dalam Headline Monitor Dan Disukai Masyarakat, Inilah Yang Disebut Jurnalisme
Ketiak Yang Diangkat Ke Atas Selalu Menjadi Ikon Dalam Headline Monitor Dan Disukai Masyarakat, Inilah Yang Disebut Jurnalisme

Arswendo menggabungkan kekuatan artis televisi, model perempuan dan kode buntut tiga instrumen ini sebenarnya sebuah lemparan sindiran betapa banal-nya Orde Baru mendidik masyarakat.

Ditengah ide deras seperti ini, ditemukan sebuah tabloid yang nyaris bangkrut dikelola oleh pegawai negeri TVRI, lalu diakuisisi oleh Gramedia Grup. Jacob Oetama, CEO Gramedia mempercayakan pengelolaan tabloid Monitor kepada Arswendo dan hasilnya bikin orang geleng-geleng kepala, penjualan melonjak habis-habisan, sampai satu saat menembus angka 1 juta eksemplar. Arswendo benar benar menjadi 'anak jaman' dalam dunia media.

Kemampuan Monitor secara "Terstruktur, Sistematis dan Massif (TSM)" adalah menggabungkan kekuatan  tiga hal : Kekuasaan, Konglomerasi dan Kejeniusan, kekuasaan dimiliki Harmoko yang dibagi 30% saham di Monitor, konglomerasi ada di tangan Gramedia Grup dan Kejeniusan terletak pada diri Arswendo. 

Kemampuan Arswendo membaca 'jaman yang berahi' di masa Orde Baru telah melahirkan dasar dasar tabloid gossip yang menciptakan lansekap tersendiri dalam sejarah media. Dengan gambar "lheer", cewek yang selalu mengangkat ketiaknya di tiap headline, Monitor telah menguasai pasar media dengan sigap.

"Arswendo mengembangkan Monitor, Arswendo pula yang mematikan Monitor". Sebuah kuis yang bikin geger publik. Tahun 1990 dikenal sebagai tahun kebangkitan kekuatan politik Islam di tengah tengah kekuasaan militer, saat itu Pak Harto dengan dipelopori beberapa mahasiswa dari Malang mendirikan ICMI (Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia), salah satu pendirinya adalah BJ Habibie yang didukung oleh kekuatan muslim urban seperti Amien Rais, Immadudin Abdurahim dan Dawam Rahardjo, sepanjang tahun 1990 kekuatan politik Islam memang sedang mendapatkan tempatnya.

Suharto takut dengan kekuatan politik LB Moerdani, dan membuat kutub tandingan maka BJ Habibie-lah yang dipersiapkan untuk menjaga kekuatan politik Islam sebagai bentuk 'keseimbangan politik', di masa masa inilah perdebatan soal Islam politik menghangat. Gus Dur di satu pihak menolak ICMI dan terus membuka jalan kritik terhadap Suharto lewat Forum Demokrasi dengan Rahman Tolleng tokoh dari PSI sebagai operator politik yang juga mengembangkan gerakan bawah tanah melawan Orde Baru. Gus Dur selalu memberikan kritikan tajam soal ICMI. Di tengah suhu politik seperti inilah "angket Monitor" menjadi suatu 'kejadian besar' yang menyebabkan Arswendo digiring menuju bui.

Arswendo santai saja dibawa ke bui dan menjalani masa tahanan, bahkan alih alih meratapi nasib ia malah membuat buku tentang kehidupan di penjara. Ada tiga buku yang dihasilkan : Khotbah di Penjara (1994), Menghitung Hari (1994), terakhir buku Surkumur Mudukur dan Plekenyun (1995). Arswendo tetap berdiri dan menjadi pribadi yang otentik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun