Mohon tunggu...
Wira D. Purwalodra (First)
Wira D. Purwalodra (First) Mohon Tunggu... Penulis - Let us reset our life to move towards great shifting, beyond all dusruption.

Saatnya menyibak RAHASIA kehidupan semesta yang Maha Sempurna ini, dengan terus menebar kebajikan untuk sesama dan terus membuat drama kehidupan dan bercerita tentang pikiran kita yang selalu lapar, dahaga dan miskin pengetahuan ini. Sekarang aku paham bahwa kita tidak perlu mencapai kesempurnaan untuk berbicara tentang kesempurnaan, tidak perlu mencapai keunggulan untuk berbicara tentang keunggulan, dan tidak perlu mencapai tingkat evolusi tertinggi untuk berbicara tentang tingkat evolusi tertinggi. Karena PENGETAHUAN mendahului PENGALAMAN.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Perilaku Politis Bawahan dan Kekuasaan Atasan?

8 Desember 2017   21:27 Diperbarui: 8 Desember 2017   21:42 689
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh. Purwalodra

Sebulan lalu  atasan saya mengultimatum, bahwa saya mesti menyelesaikan Jabatan Fungsional saya sebagai seorang Dosen, ke tingkat yang lebih tinggi. Ia mengancam saya akan menunurunkan penghasilan bulanan saya sebesar 10%, jika tidak menuruti perintahnya. Dan bulan ini, ternyata ancaman itupun direalisasikan. Apakah ini merupakan awal dari sebuah konflik kepentingan ?!! sampai tulisan ini selesai, saya masih ragu perilaku politik apa yang bisa saya lakukan untuk bisa mengimbangi realitas ancaman yang berawal dari penyalahgunaan kekuasaan tersebut !!? 

Di banyak perguruan tinggi, sebuah jabatan fungsional (jafung) seorang Dosen, diburu oleh Dosen itu sendiri sampai titik darah penghabisan ?!!. Kerna, jabatan fungsional itu kelak akan menjadikannya seorang akdemisi yang berpredikat 'Profesor.' Anehnya, Peguruan Tinggi tempat saya mengabdi, Jabatan Fungsional tersebut dipaksakan dari lembaga dengan alasan agar nilai akreditasi lembaga meningkat lebih prestisius. Bagi seorang profesional apalagi seorang akademisi, tidak mudah rasanya melakukan sesuatu dengan paksaan, baik secara halus maupun kasar. Dan seorang pemimpin yang memimpin para akademisi semestinya juga peka (bukan 'pekok,' red), atawa memiliki rasa dan memahami betul siapa yang ia pimpin tersebut. Jangan samakan, cara memimpin para akademisi dengan cara memimpin para 'kuli panggul' ?!!

Di dalam dunia akademik ataupun di masyarakat pada umumnya, ketika seorang atasan menggunakan kekuasaannya sebagai alat untuk menjalani kepemimpinan, maka para bawahan akan melakukan tindakan politik kepada atasannya. Secara teoritis, politik adalah kekuasaan yang ada dalam bentuk tindakan. Jadi politik adalah sebuah kenyataan dalam organisasi, dimana para petingginya menggunakan kekuasaan dalam berperilaku sehari-hari. Menurut Robbins & Judge (2008),  politik berfokus pada penggunaan kekuasaan untuk mempengaruhi pengambilan keputusan dalam organisasi atau perilaku-perilaku  anggota yang egois  dan tidak melayani kebutuhan organisasi.

Para atasan atawa pimpinan yang egois, biasanya tidak pernah bisa membedakan mana alat dan mana tujuan. Mungkin para atasan perlu memahami, bahwa manusia perlu untuk selalu menjadi tujuan, bukan alat. Apalagi sebagai alat produksi, apapun yang terjadi. Manusia tidak pernah boleh menjadi alat bagi tujuan apapun di luar dirinya. Manusia bukan barang ataupun alat yang bisa dimanfaatkan. Inilah nilai pertama yang selalu harus dipegang oleh para atasan, yang tidak 'pekok' !??

Ketika kita menelaah lebih dalam tentang makna bekerja bagi manusia, Franz Magnis-Suseno pernah berpendapat, bahwa refleksi filsafat tentang kerja dapat ditemukan sejak 2400 tahun yang lalu. Walaupun pada masa itu, bekerja dipandang sebagai sesuatu yang rendah. Warga bangsawan tidak perlu bekerja. Mereka mendapatkan harta dari status mereka. Bahkan dapat dikatakan bahwa pada masa itu, manusia yang sesungguhnya tidak perlu bekerja. Ia hanya perlu berpikir dan menulis di level teoritis. Semua pekerjaan fisik sudah selesai dan diserahkan pada budak. Budak tidak dianggap sebagai manusia seutuhnya.

Pada abad ke 17 dan 18, refleksi filsafat tentang bekerja mulai berubah arah. Salah seorang filsuf Inggris yang bernama John Locke pernah berpendapat, bahwa pekerjaan merupakan sumber untuk memperoleh hak milik pribadi. Hegel, filsuf Jerman, juga berpendapat bahwa pekerjaan membawa manusia menemukan dan mengaktualisasikan dirinya. Karl Marx, murid Hegel, berpendapat pula bahwa pekerjaan merupakan sarana manusia untuk menciptakan dirinya sendiri. Dengan bekerja orang mendapatkan pengakuan (recognition).

Secara singkat Magnis-Suseno menegaskan, bahwa ada tiga fungsi kerja, yakni fungsi reproduksi material, integrasi sosial, dan pengembangan diri. Yang pertama dengan bekerja, manusia bisa memenuhi kebutuhannya. Yang kedua dengan bekerja, manusia mendapatkan status di masyarakat. Ia dipandang sebagai warga yang bermanfaat. Dan yang ketiga dengan bekerja, manusia mampu secara kreatif menciptakan dan mengembangkan dirinya. Dari titik ini, masihkah kita mampu memperalat manusia untuk kepentingan orang perseorangan atawa kita yang dianugerahi predikat sebagai atasan ?!!

Oleh karena itu, ketika manusia tidak lagi dijadikan sebagai tujuan, tapi hanya sebagai alat kepentingan, maka dunia ini akan subur dengan berbagai kekecewaan. Sebab, menata perilaku manusia itu, yang menjadi fokus perhatian bukan etikanya, tapi nurani manusia itu sendiri. Etika merupakan akibat dari nuraninya yang sehat. Sehebat apapun aturan main yang diberlakukan pada perilaku manusia, ternyata manusia akan lebih mampu melampuinya bahkan menyimpangkannya, dengan berbagai alasan dan argumen. Faktor utamanya adalah kekuasaan yang dimiliki atasanya, dan perilaku politik yang diperankan oleh para bawahannya. Kehebatan manusia dalam mengelola kekuasaan, sekaligus memainkan peran-peran politiknya merupakan ciri khas manusia sebagai mahluk politis. Dari titik inilah, kita sebagai manusia perlu memahami perpektif keberadan kita !!!

Terkait dengan perspektif ini, kita perlu menyadari tiga hal. Pertama, kita harus memahami hukum sebab akibat yang bekerja di dalam kenyataan hidup sehari-hari. Kehidupan di alam semesta ini bukanlah sesuatu yang acak dan tanpa arah. Sebaliknya, alam semesta ini mengikuti hukum-hukum sebab akibat yang jelas dan pasti.

Sementara itu, ilmu pengetahuan modern telah berhasil mengungkap hal ini, sehingga ia bisa melahirkan banyak teknologi yang berguna untuk kehidupan manusia. Di dalam metode penelitian ilmiah, hubungan sebab akibat dikenal juga sebagai hukum aksi-reaksi, dan hukum stimulus-respons.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun