"Erlina.. " Vince yang terkejut menutup kedua matanya dan tidak berani memandang Erlina yang berada di bangku dalam ruangan kunjung sore itu.
"Vince.., duduklah Vince aku ingin bertanya." Jawab Erlina merespon perkataan Vince dan ketidaknyamanannya berada di dekat Erlina.
Keduanya diam beberapa lama menahan semua perasaan masing-masing. Rasa bersalah Vince yang dan kesedihan hati Erlina seakan terasakan dalam aura yang ada dalam ruangan tersebut.
"Vince, apa kabar ?" tanya Erlina menahan perasaannya.
"Beginilah Erlina, apalagi yang tersisa dari seorang penyakitan seperti aku." Jawab Vince tanpa sedikit pun berani melihat kepada Erlina.
Keduanya kembali terdiam setelah sepatah kata dari Vince. Hingga akhirnya terdengar suara Erlina setelah beberapa saat.
"Vince, aku mau tanya apakah engkau yang membunuh adikku, Virli ?" Â tanya Erlina sambil terisak, langsung kepada pokok permasalahan karena tak sanggup untuk harus menahan rasa ingin tahu dan kesedihannya.
"Tidak, Lin. Aku tidak pernah membunuh adikmu Virli. Kami memang berhubungan namun hanya sebatas itu saja. Setelah itu aku keluar dan membiarkan adikmu tertidur di kamarku." Jawab Vince berhati-hati dengan setiap ucapannya.
"Lalu kamu kemana Vince ?" tanya Erlina sambil menghela nafas. Hatinya sedikit lega mendengar sahabatnya tidak melakukan pembunuhan terhadap adik kandungnya.
"Aku berada di ruang tengah yang ada di tempat kos tersebut. Aku memang sedang memikirkan adanya seorang pembunuh yang berkeliaran di dekat kosku." Jawab Vince sambil memandang Erlina bersungguh-sungguh.
"Lin, maafkan aku jika nampaknya sepertinya aku mengarang-ngarang cerita. Mungkin memang kesalahanku memikirkan pembunuh yang berkeliaran di dekat rumah kos itu. Namun Erlina aku tidak tahu mengapa benar-benar terjadi kejadian itu. Aku memang membuat sebuah gambar mengenai kejadian pembunuhan tapi bukan aku pelakunya, Lin" lanjut Vince sambil memegang kedua tangan Erlina yang terulur di atas meja.