Mohon tunggu...
Ano suparno
Ano suparno Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Jalanan

FREELANCER Pernah di Trans TV sebagai Reporter, Kameraman lalu Kepala Biro TRANS. Sebelumnya, sebagai Stringer Tetap BBC London siaran Indonesia, reporter hingga Station Manager Smart FM Makassar. Setelah di Trans, saya mendirikan dan mengelolah TV Lokal sebagai Dirut. Sekarang Konsultan Media dan Personal Branding

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Derap Kaki dari Kampung Sambut Kemerdekaan

18 Agustus 2020   09:17 Diperbarui: 18 Agustus 2020   09:31 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto : Blogger plumpung Tuban

Namun jika kami melihat dari kejauhan Bu Guru Ros nampak sangat akrab dan familiar bersama guru guru yang lainnya.    Lain daripada itu, Bu Guru Ros merupakan anak seorang kepala desa di kampung kami yang tak tergantikan hingga saya meninggalkan Labawang, kampung ku menuju Ujungpandang, Makassar.

Priiittt....pritttt....pritttt...

itulah suara sempritan  yang memanggil kami.  Seperti semut kami berlarian menuju tengah halaman sekolah. Yang paling tinggi diantara kami, harus menempati posisi belakang sementara yang terendah sesuai jalurnya harus berdiri paling depan.  

Saat itu, saya sedikit tergolong lebih rendah ketimbang Paga',  Haming, Herman dan Abdiawan serta beberapa teman beda kelas lainnya.  Posisi saya kedua dari depan, tepatnya di sebelah kanan.  

Barisan rombongan gerak jalan kami terdiri dari tiga barisan.  Di mana barisan laki laki mengapit barisan  perempuan.  Sementara pemimpin barisan kami saat itu adalah Widuri, Perempuan yang memang memiliki postur tegap, tinggi dan suara yang lantang. 

Pernah suatu ketika, saat telah di Makassar kudengar lagu Widuri melalui suara Broery Marantika.  Kusadari betapa  nama  Widuri  begitu terkenalnya hingga ke ibu kota.

Kami Di barisan gerombolan seangkatan ku, meskipun banyak laki laki namun rasanya suara Wiwi nama panggilan Widuri lebih tegas dibanding suara-suara kami. Maka tak ada jalan lain, kami pun ikhlas menerima dipimpin oleh seorang perempuan.  "Itu kan karena bu Ros yang pilih  sesama perempuan" bisik Herman suatu ketika.

"Mengapa kau sinis begitu, Herman" tegur Paga'.  Kedua temanku ini memang seringkali berseberangan pikiran. Jika Paga A maka Herman pasti B. Tak pernah seiring hingga ke sekolah tingkat lanjutan.

"Begini saja. Jika kalian keberatan silahkan protes ke Bu Guru Ros. Tuh sana, berdiri.  Coba lihat,  senyum saja susah"  kata ku kepada Herman dan Paga'.   Akhirnya kami pun tertawa, dan  mengikuti iringan perintah dari  pimpinan rombongan gerak jalan.  

Di kampungku, sejak kecil kami telah fasih berbahasa indonesia sebab orang tua kami adalah militer yang sebelumnya telah bertugas d sejumlah kota dan daerah. Mereka berasal dari berbagai kesatuan tentara dan suku sehingga bahasa keseharian kami adalah bahasa Indonesia.

"Siap gerak. Luruskan barisan. Lencangkan tangan ke depan gerak"  Perintah wiwi, dengan suara menggelegar masuk ke rongga telinga ku.  Kami tak sulit untuk baris berbaris sebab orang tua kami adalah prajurit TNI yang belum lama lama amat memasuki masa pensiun. Bocah bocah se usia ku masih biasa menyaksikan ayah kami berbaris memakai pakaian seragam militernya.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun