Mohon tunggu...
anny fatimatuz zahro
anny fatimatuz zahro Mohon Tunggu... Mahasiswi PGMI Semester 3 UIN Kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo

Saya seorang mahasiswi jurusan PGMI Semester 3 dari UIN Kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Wajib atau Jebakan Red Flag? Mencari Pengalaman Tanpa Mengorbankan Kesehatan Mental.

3 Oktober 2025   21:25 Diperbarui: 3 Oktober 2025   21:25 5
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
"Ilustrasi: dihasilkan oleh Gemini"

"Harus ikut organisasi untuk pengalaman, tapi takut burnout dan drama red flag?"

Organisasi kampus adalah laboratorium soft skill terbaik untuk mengasah kepemimpinan dan networking---modal emas dunia kerja. Namun, janji ini sering dibayangi ancaman "Organisasi Red Flag," yakni lingkungan toxic yang ditandai oleh kepemimpinan otoriter, eksploitasi berlebihan, dan intimidasi, yang secara paksa melenyapkan batas waktu pribadi. Intinya, lingkungan ini memaksa mahasiswa mengorbankan kesehatan mental dan akademik demi prestige semu. Artikel ini hadir untuk membedah tuntas: mengapa red flag ini muncul, bagaimana dampak destruktifnya, dan yang paling penting, panduan praktis agar Anda bisa mendapatkan pengalaman berharga tanpa kehilangan kewarasan diri.

 Ayo Kita Pahami Fenomena "Red Flag" dari Kacamata Psikologi!

Lingkungan organisasi yang merusak (toxic) bukanlah kebetulan, melainkan produk dari dinamika psikologis yang sakit, dipicu terutama oleh Kepemimpinan Beracun (Toxic Leadership). Hierarki dan senioritas sering disalahgunakan sebagai lisensi untuk otoritarianisme dan penyalahgunaan kekuasaan, memperlakukan anggota baru sebagai objek kepatuhan, bukan mitra. Ironisnya, hal ini diperburuk oleh Groupthink---di mana kebutuhan untuk diterima (need for belonging) mendorong anggota menoleransi tuntutan tak wajar---dan Sindrom Imposter tersembunyi pada senior. Mereka membebankan tugas berat bukan atas dasar kebutuhan, melainkan karena didorong oleh siklus trauma "dulu saya merasakan yang lebih parah, kamu juga harus," yang pada akhirnya melanggengkan budaya eksploitasi dan toxic dari generasi ke generasi. 

Psikologi di Balik "Red Flag" Organisasi

Lingkungan organisasi yang toxic tidak muncul dari kekosongan; ia adalah hasil dari dinamika psikologis yang tak sehat. Setidaknya ada tiga pilar mental yang menopang berdirinya "organisasi red flag":

1. Jerat Toxic Leadership dan Dinamika Kekuasaan

Penyalahgunaan senioritas adalah akar masalahnya. Ketika hierarki kampus diterjemahkan menjadi otoritas tanpa akuntabilitas, lahirlah kepemimpinan yang toxic. Ini menciptakan dinamika kekuasaan (power dynamics) yang timpang, di mana anggota baru dieksploitasi, bukan dibimbing. Para pemimpin otoriter ini menggunakan jabatannya untuk melanggengkan kontrol dan memenuhi ego, bukan untuk melayani tujuan organisasi.

2. Tekanan Sosial dan Efek Groupthink

Mengapa mahasiswa cerdas seringkali diam saat melihat ketidakadilan? Jawabannya terletak pada tekanan sosial dan Groupthink. Manusia memiliki kebutuhan mendasar untuk diterima (need for belonging) dalam suatu kelompok, dan kebutuhan inilah yang dieksploitasi. Anggota baru ditekan untuk menyetujui tuntutan yang melanggar batas pribadi, demi harmoni semu dan ketakutan dicap "tidak loyal." Nalar sehat pun dikesampingkan agar mereka tidak menjadi minoritas yang merepotkan.

3. Imposter Syndrome dan Melanggengkan Siklus Penderitaan

Ironisnya, red flag seringkali dilanggengkan oleh trauma generasi sebelumnya. Banyak senior yang membebani junior bukan karena tuntutan organisasi, tetapi karena dorongan internal yang salah: "Dulu saya merasakan yang lebih parah, jadi kamu juga harus merasakannya." Ini adalah manifestasi dari rasa tidak aman atau Imposter Syndrome yang diproyeksikan. Para senior merasa harus melanggengkan siklus penderitaan tersebut untuk memvalidasi pengalaman buruk mereka sendiri dan menganggapnya sebagai "ujian mental" yang wajib dilewati junior.

Tiga pilar psikologis inilah yang membuat "organisasi red flag" sulit dihentikan, menciptakan lingkungan kampus yang memprioritaskan drama dan kepatuhan buta di atas kesejahteraan mental. Ingat!

  • Senioritas disalahgunakan menjadi otoritas tanpa akuntabilitas.
  • Tujuannya bergeser dari berorganisasi menjadi memuaskan ego dan kontrol.
  • Kebutuhan untuk diterima (need for belonging) dieksploitasi sebagai alat kontrol.
  • Nalar sehat dikesampingkan demi menjaga harmoni semu kelompok.
  • Siklus toxic terjadi karena senior ingin memvalidasi penderitaan mereka sendiri.
  • Beban kerja berlebihan dianggap sebagai "ujian mental" wajib, bukan kebutuhan organisasi.

Lalu, apa yang terjadi pada mahasiswa yang terjebak dalam pusaran organisasi red flag? 

Dampak psikologisnya tak bisa dianggap remeh, bahkan bisa mengganggu seluruh masa studi:
1. Kecemasan Akut dan Stres Akademik
2. Kelelahan Emosional dan Burnout
3. Penurunan Self-Esteem

Dilema Mahasiswa: Perlukah Memaksakan Diri?

Melihat risiko di atas, dilema besar pun muncul di benak mahasiswa: Perlukah saya memaksakan diri?

  • Mahasiswa Anti-Organisasi. Bukan Malas, Tapi Selektif
  • Konflik Internal, Peluang vs. Kewarasan
  • Prioritaskan Self-Care sebagai Fondasi Sukses

Kesuksesan sejati tidak akan bisa dicapai jika fondasi mental Anda sudah retak. Organisasi kampus seharusnya menjadi pendukung, bukan penghancur perjalanan Anda!

Solusi Cerdas: Pengalaman Tanpa Tumbal Mental

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun