Mohon tunggu...
An Nur Sohib
An Nur Sohib Mohon Tunggu... Mahasiswa

Saya merupakan mahasiswa Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, saya memiliki ketertarikan mengenai isu lingkungan hidup dan alam bebas.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Kondisi Satwa Liar Orangutan Yang Sangat Terancam

2 Oktober 2025   09:23 Diperbarui: 3 Oktober 2025   01:35 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

Orangutan adalah salah satu primata paling ikonik yang dimiliki Indonesia. Mereka bukan hanya dikenal karena kecerdasannya, tetapi juga karena perannya yang besar dalam menjaga keseimbangan ekosistem hutan hujan tropis. Satwa ini hidup di wilayah Sumatra dan Kalimantan, dan keberadaannya menjadi indikator penting kesehatan lingkungan. Sayangnya, kondisi populasi orangutan kini berada pada titik yang sangat mengkhawatirkan. Menurut klasifikasi IUCN, seluruh spesies orangutan telah masuk dalam kategori Critically Endangered, atau sangat terancam punah (Ancrenaz et al., 2016). Status ini tidak muncul tanpa alasan, melainkan akibat tekanan jangka panjang yang terus meningkat dari berbagai faktor, terutama aktivitas manusia.

Secara taksonomi, Indonesia memiliki tiga spesies orangutan yang masing-masing menempati wilayah habitat berbeda. Orangutan Kalimantan dikenal dengan nama Pongo pygmaeus, sedangkan di Sumatra hidup Pongo abelii. Spesies ketiga, yaitu Pongo tapanuliensis, baru diakui secara ilmiah pada tahun 2017 setelah melalui penelitian mendalam yang mencakup analisis morfologi, perilaku, dan genetika (Nater et al., 2017). Penemuan spesies Tapanuli menjadi sorotan dunia karena sekaligus menunjukkan betapa rentannya keberadaan mereka. Orangutan Tapanuli diperkirakan hanya tersisa kurang dari 800 individu, menjadikannya salah satu mamalia besar paling langka di dunia.

Orangutan menghabiskan sebagian besar hidupnya di pepohonan. Gerakannya lambat, tetapi efisien untuk berpindah dari dahan ke dahan. Mereka memakan berbagai jenis buah, daun, kulit kayu, hingga serangga, dan pola makan ini memainkan peran penting dalam proses penyebaran biji. Melalui kotoran yang mereka tinggalkan, biji-bijian tersebar ke berbagai titik, membantu regenerasi alami hutan. Keberadaan mereka bisa dianggap sebagai "petani hutan" yang tanpa disadari menjaga kelestarian vegetasi dalam jangka panjang. Kehilangan orangutan berarti hilangnya salah satu agen ekologi terbaik yang dimiliki hutan tropis.

Namun, peran penting itu tidak sebanding dengan nasib yang mereka hadapi. Beberapa dekade terakhir menunjukkan penurunan populasi yang drastis. Di Kalimantan saja, lebih dari 100.000 individu hilang dalam kurun waktu sekitar 16 tahun (Santika et al., 2017). Angka ini mencerminkan laju penurunan yang sangat cepat dan menunjukkan bahwa populasi orangutan akan semakin menyusut apabila tidak ada intervensi serius. Di Sumatra, kondisinya tidak jauh lebih baik. Walaupun jumlah orangutan Sumatra sedikit lebih besar dibanding spesies Tapanuli, tekanan habitat dan konflik manusia-satwa membuat masa depan mereka tetap suram.

Salah satu penyebab utama menurunnya populasi orangutan adalah hilangnya habitat. Deforestasi menjadi pemicu terbesar degradasi lingkungan yang berdampak langsung pada kelangsungan hidup satwa ini. Alih fungsi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit, pertambangan, dan kawasan industri membuat ruang jelajah orangutan semakin terbatas (Wich et al., 2011). Hutan yang semula luas kini terfragmentasi menjadi petak-petak kecil yang tidak mampu lagi mendukung populasi besar. Fragmentasi membuat kelompok orangutan terisolasi dan sulit berinteraksi, sehingga mengurangi keragaman genetik dan meningkatkan risiko kepunahan lokal.

Selain kehilangan habitat, perburuan dan perdagangan ilegal juga menjadi ancaman signifikan. Banyak orangutan yang diburu karena dianggap mengganggu perkebunan atau karena bayi mereka dijadikan satwa peliharaan. Kasus perdagangan bayi orangutan sering kali diawali dengan pembunuhan induknya, karena bayi tidak akan meninggalkan pelukan ibunya tanpa paksaan (Meijaard et al., 2012). Perilaku ini menunjukkan bahwa ancaman terhadap orangutan tidak hanya berbentuk struktural melalui perusakan habitat, tetapi juga langsung pada individu yang masih hidup.

Meskipun tekanan terhadap populasi orangutan sangat besar, berbagai upaya konservasi terus dilakukan. Lembaga seperti BOS Foundation dan Sumatran Orangutan Conservation Programme (SOCP) memegang peran penting dalam proses rehabilitasi, penyelamatan, dan pelepasliaran orangutan yang disita dari perdagangan ilegal atau terjebak konflik. Pemerintah Indonesia pun telah menetapkan sejumlah kawasan konservasi sebagai habitat penting orangutan, seperti Taman Nasional Gunung Leuser dan Taman Nasional Sebangau. Namun, keberhasilan upaya konservasi tidak dapat hanya mengandalkan institusi atau regulasi, tetapi juga melibatkan masyarakat yang tinggal di sekitar hutan (Meijaard et al., 2012).

Masyarakat lokal memiliki peran besar dalam menjaga habitat orangutan. Di beberapa wilayah, program edukasi dan pemberdayaan ekonomi alternatif mulai diterapkan untuk mengurangi ketergantungan pada pembukaan hutan. Pendekatan berbasis komunitas memungkinkan perubahan perilaku yang lebih berkelanjutan karena masyarakat melihat manfaat langsung dari pelestarian lingkungan. Selain itu, kerja sama dengan tokoh adat dan pemuka desa terbukti efektif dalam mengurangi perburuan dan perambahan.

Namun, tantangan terbesar dalam konservasi orangutan tetap berada pada tingkat implementasi. Kebijakan yang ada sering kali tidak berjalan maksimal karena kurangnya pengawasan, lemahnya penegakan hukum, dan konflik kepentingan. Ekspansi industri yang masih berjalan cepat menambah kerumitan, karena kepentingan ekonomi jangka pendek sering kali lebih diutamakan daripada kelestarian lingkungan jangka panjang. Padahal, orangutan bukan hanya satwa karismatik, tetapi juga bagian dari sistem ekologis yang menopang kehidupan manusia secara tidak langsung (Ancrenaz et al., 2016).

Harapan terhadap masa depan orangutan sebenarnya masih ada. Dengan meningkatnya perhatian global terhadap krisis lingkungan, peluang kerja sama lintas negara, lembaga konservasi, dan komunitas ilmiah semakin besar. Teknologi seperti pemantauan satelit, drone, dan analisis genetika mulai dimanfaatkan untuk mendukung penelitian dan pelindungan habitat. Kampanye publik melalui media sosial dan platform digital juga membantu meningkatkan kepedulian generasi muda terhadap isu konservasi.

Secara keseluruhan, kondisi orangutan mencerminkan tantangan besar yang dihadapi konservasi satwa liar di Indonesia. Populasi mereka mengalami tekanan dari berbagai arah: kehilangan habitat, perburuan, fragmentasi, dan lemahnya penegakan hukum. Namun, dengan pendekatan kolaboratif yang melibatkan pemerintah, masyarakat, organisasi konservasi, dan komunitas internasional, pelestarian orangutan masih memiliki peluang untuk berhasil. Mereka bukan hanya simbol keanekaragaman hayati, tetapi juga bagian penting dari ekosistem hutan tropis yang menjadi penopang kehidupan global.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun