Mohon tunggu...
ANNISA VIRGI AZZAHRA
ANNISA VIRGI AZZAHRA Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Airlangga

LEGAL

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Tantangan Maritim: Ancaman Konflik di Laut China Selatan dan Dampaknya terhadap Kedaulatan Indonesia

22 Mei 2024   17:49 Diperbarui: 22 Mei 2024   18:07 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Wilayah Laut China Selatan mencakup perairan dan daratan dari sekumpulan dua kepulauan besar, yaitu Pratly dan Paracels, serta bantaran Sungai Macclesfield dan Karang Scarborough. Laut China Selatan berada di bagian tepi Samudra Pasifik, membentang dari Selat Malaka dan Selat Karimata sampai ke Selat Taiwan. Wilayah ini memiliki posisi strategis karena termasuk ke dalam jalur perlintasan perdagangan laut yang penting bagi berbagai negara, seperti Indonesia, China, Malaysia, Vietnam, Taiwan, dan Brunei. Lebih lanjut, Laut China Selatan dikonfirmasi kaya akan komoditas laut seperti ikan dan terumbu karang, bahkan termasuk juga minyak bumi dan gas alam. Dengan demikian, klaim atas yurisdiksi wilayah Laut China Selatan beserta komoditasnya tentu memicu konflik dan sengketa bagi negara-negara yang berbatasan dan memiliki kepentingan di Laut China Selatan. 

 

Laut China Selatan memiliki posisi strategis sebagai jalur perlintasan laut telah mengalami klaim secara tumpang tindih antarnegara yang berkepentingan. Sengketa mengenai yurisdiksi dan kedaulatan wilayah di Laut China Selatan sebenarnya berkaitan dengan kawasan laut dan daratan di dua gugusan kepulauan, yakni Kepulauan Paracel dan Spratly karena terdapat pulau-pulau tak berpenghuni, atol, dan terumbu karang. Republik Rakyat China (RRC) mengklaim bahwa klaim mereka atas wilayah tersebut sudah ada sejak 2000 tahun yang lalu, yaitu pada saat Paracel dan Spratly menjadi bagian dari wilayah China. Menurut Pemerintah RRC, China pernah mengeluarkan peta yang menegaskan klaim kedaulatan RRC atas wilayah Laut China Selatan pada tahun 1947 silam.

 

Pernyataan dari Pemerintah RRC tersebut ditentang oleh Pemerintah Vietnam, yang juga mengklaim kedaulatan atas wilayah tersebut. Vietnam menyatakan bahwa Pemerintah RRC tidak pernah mengklaim kedaulatan atas Kepulauan Paracel dan Spratly hingga dasawarsa 1940.  Kemudian Vietnam mengklaim bahwa kedua kepulauan itu telah menjadi bagian dari wilayahnya sejak abad ke-17. Filipina juga memiliki klaim yang sama dengan mengacu pada kedekatan geografis ke Kepulauan Spratly sebagai dasar klaim mereka atas sebagian wilayah kepulauan tersebut. Sedangkan Malaysia dan Brunei memiliki klaim kedaulatan terhadap sebagian wilayah di Laut China Selatan. Menurut kedua negara tetangga tersebut, wilayah perairan di Laut China Selatan masih berada dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) mereka, sebagaimana yang ditetapkan oleh Konvensi PBB tentang Hukum Laut tahun 1982. Brunei memang tidak mengklaim kepemilikan wilayah atas kedua kepulauan tersebut, sedangkan Malaysia menyatakan bahwa sebagian kecil wilayah di Spratly merupakan yurisdiksi mereka.

 


Pada dasarnya, Indonesia tidak terlibat secara langsung terkait dengan klaim yurisdiksi di wilayah Laut China Selatan. Namun, sejak klaim mutlak yang dilakukan oleh RRC pada tahun 2012, secara tidak langsung juga mengancam kedaulatan dan kepentingan Republik Indonesia, khususnya di wilayah perairan Natuna, yang merupakan bagian dari Provinsi Kepulauan Riau. Klaim mutlak yang dilakukan oleh RRC tersebut dikhawatirkan dapat mengganggu kepentingan negara-negara yang bersinggungan dengan Laut China Selatan, misalnya terkait kontrol, stabilitas, dan keamanan wilayah perairan. Perlu dipertegas kembali bahwa kedudukan Indonesia sebagai negara kepulauan telah diakui oleh PBB dan diberikan kewenangan-kewenangan khusus dalam United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS 1982), terutama dalam mengelola Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) hingga jarak 200 mil laut. 

 

Indonesia tentunya harus siap siaga karena hak-haknya sebagai negara kepulauan berpotensi dibatasi dengan adanya klaim mutlak oleh RRC terhadap Laut China Selatan yang bersinggungan dengan Laut Natuna, khususnya terkait dengan pengelolaan ZEE. Lebih lanjut, klaim tumpang tindih yang dilakukan berbagai negara atas Laut China Selatan juga mengancam hak Indonesia untuk mengekspolrasi sumber daya alam di perairan Natuna. Konflik di Laut China Selatan juga dapat mengganggu kegiatan nelayan Indonesia yang beroperasi di perairan sekitar Natuna. Kehadiran kapal-kapal asing yang terlibat dalam konflik, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mengganggu aktivitas nelayan Indonesia dan mengancam hak tradisional mereka untuk menangkap ikan di wilayah tersebut. Selain itu, Indonesia juga harus terus menjaga dan memastikan bahwa sumber daya dan komoditas di Laut Natuna tidak menjadi sasaran dari negara-negara yang berkonflik atas klaim Laut China Selatan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun