Bagaimana dengan perkawinan antar agama, apakah masih diizinkan oleh hukum untuk dilakukan di Indonesia? Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, maka semua ketentuan hukum yang mengatur tentang kebolehan perkawinan beda agama dinyatakan tidak berlaku lagi.
Apa landasan pemikiran sehingga bangsa Indonesia menolak dilakukanya perkawinan antar agama? Secara pasti penulis tidak menemui argumentasi dari pembuat Undang-Undang perkawinan tentang itu, tetapi yang jelas pada dasarnya semua agama di Indonesia, baik agama islam maupun non islam menolak terjadinya perkawinan antar agama. Semua agama menghendaki agar perkawinan dilakukan atas dasar satu iman dan seagama, walaupun secara politis dan untuk kepentingan misionaris dan invasi terjadi perkawinan antar agama.
Masalah eksistensi talak tiga sekaligus yang menjadi focus pembahasan,terdapat perbedaan yang sangat tajam antara ketentuan Undang-Undang perkawinan dengan pemahaman Masyarakat mulim di lapangan. Dikalangan ulama sendiri terdapat 4 pendapat. Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa talaq tiga yang diucapkan sekaligus, itu berarti jatuh talak. Alasanya adala ia termasuk takak bid’iy. Kedua, pendapat yang dipegang oleh jumhur ulama yang mengatakan bahwa talak tiga sekaligus berarti jatuh talak tiga. Talak yang demikian termasuk talak ba’in alasanya adalah al-qur’an surat al-Baqarah [2]: 230. Jumhur ulama tampaknya tidak membedakan talaq tiga yang dicapkan sekaligus dengan talak tiga yang dilakukan dengan dimulai dari talaq satu kemudian rujuk dan talak lagin (kedua) rujuk lagi dan talak tiga. Ketiga, pendapat yang dipegang oleh ulama Zhahiriyah, syi’ah Imamiyah, yang mengatakan jatuh talaq satu dalam kategori talak sunni. Didasarkan kepada beberapa hadits antara lain hadits Ibn Abbas: “Rukanah mentalak Istrinya tiga kali dalam satu majelis (tempat atau waktu), diapun merasa sangat bersedih karenanya, maka Rasulullah bertanya kepadanya, “Bagaimana kamu menthalaknya?” dia menjawab, “Aku mentalaknya tiga kali dalam satu majelis.” Beliau bersabda, “Itu hanyalah satu talak, maka rujuklah kepadanya”. Keempat adalah pendapat Ibn Abbas yang mengatakan jika talaq itu dijatuhkan bakda dukhul maka talakitu jatuh talaq tiga ,tetapi jika dijatuhkan sebelum coitius maka jatuh talak satu.
Perbedaan pandangan terhadap hukum talaq tiga sekaligus antara Sebagian ulama yang berpegang teguh kepada hukum normative jumhur yang berhadapan dengan hukum positif yang diterapkan di Indonesia, termasuk masalah krusial dalam bidang perkawinan. Secara yuridis,hakim hanya berpegang kepada hukum yang berlaku positif, sementara Masyarakat bersikukuh pada hukum normatif. Dan mengingatkan bahwa pada hakikatnya hakim bebas berijtihad dan bebas memilih pendapat yang sesuai dengan pandanganya,tetutama dalam salah khilafiyyah.
Buku ini juga membahas masalah penting lainnya, seperti:
- Mengenai poligami, dalam buku ini ditegaskan bahwa untuk melakukan poligami harus dengan izin pengadilan agama/Mahkamah Syar’iyah. Poligami tidak boleh dipandang sebagai individual affair, yang semata-mata merupakan urusan pribadi, tetapi juga urusan negara yakni harus ada izin Pengadilan Agama. Jika poligami dilakukan tanpa izin Pengadilan Agama, poligami semacam ini dianggap perkawinan liar, yang tidak sah dan mengikat. Dan dilihat dari aspek hukum pidana, poligami liar merupakan suatu tindak pidana, poligami liar merupakan suatu tindak pidana yang dapat disamakan dengan samen leven/kumpul kebo.
- Ada beberapa kasus yang dapat digolongkan sebagai pologami liar, yang notabenya adalah perbuatan melawan hukum. kasus-kasus tersebet adalah sebagai berikut:
- Poligami dalam masa iddah: adalah jika suami ingin menikah lagi dengan Perempuan lain dalam masa iddah bekas istrinya dan tidak memperhatikan ketentuan pasa 4 ayat (1) Undang-Undang No 1 Tahun 1974, disini bekas suami tersebut telah melakukan poligami liar. Karena itu perkawinan dengan istri kedua tersebut tidak dilindungi oleh hukum, dan karena itu tidak mempunyai kekuatan hukum.
- Poligami akibat berkhalwat: adalah jika suami berkhalwat dengan Perempuan lain akibat perbuatan tersebut keduanya diancam untuk dinikahkan, apabila perkawinan pasangan berkhalwat itu tidak mengikuti aturan berpoligami sebagaimana ketentuan pasal 3,4, dan 5 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 maka perkawinannya dipandang sebagai poligami liar, karena telah terjadi penyelundupan hukum, tidak mempunyai kekuatan hukum, karena itu tidak dilindungi oleh hukum.
- Mengenai sengketa pemeliharaan anak (hadhanah) prioritas utama pemegang hak hadhanah adalah ibu, tetapi hak prioritas itu dapat saja beralih sewaktu-waktu kepada orang lain apabila keadaan menghendakinya. Peralihan hak hadhanah itu tidak harus beralih kepada ibunya ibu dan seterusnya seperti yang terdapat pada kajian fikih klasik, tetapi bisa saja beralih kepada ayah, atau orang-orang yang terdekat dan akrab dengan si anak. Hal ini filosofis adalah untuk menjaga kepentingan si anak baik dari segi psikologisnya dan dari aspek lainya. Oleh karena itu, putusan Mahkamah Agung RI tersebut sekaligus menggeser ketentuan fikih yang mengatur hak hadhanah yang dirasa tidak relevan lagi dengan tuntutan hukum kini.
- Mengenai kedudukan hukum anak angkat, pengangkatan anak dalam islam lebih menitikberatkan prinsip solidaritas sosial yang merupakan sikap kerelaan dan ketulusan seseorang untuk mengambil alih tanggung jawab pemeliharaan anak agar terjamin kebutuhan hidupnya, Pendidikan dan masa depanya yang disebabkan oleh keadaan orang tuanya.perkara pemohonan pengangkatan anak bagi umat islam diajukan ke Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah, karena berdasarkan pasal 2 dan penjelasan pasal 49 ayat (2) Butir 12, Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah berwenang secara absolut memerikasa dan mengadili perkara permohonan adopsi bagi orang” yang berga islam, dan diselesaikan menurut ketentuan hukum islam. Orang tua angkat tidak berwenang menjadi wali nikah anak angkat perempuanya jadi yang berhak menjadi wali ialah wali nasab, dan wali hakim. Anak angkat tidak termasuk golongan yang mendapat warisan dari orang tua angkatnya, karena memang pengangkatan anak tidak menyebabkan timbulnya hubungan hukum salung mewarisi antara anak angkat dengan orang tua angkat. Namun demikian, pasal 209 KHI menghendaki bahwa anak angkat dengan orang tua angkat tidak saling mewarisi tetapi saling mendapat wasiat wajibah.
- Harta Bersama, dasar Pemikiran Tentang Adanya Harta Bersama tidak ditemukan aturannya dalam al-Qur'an maupun Hadits Nabi, juga pada kitab fikih klasik. Ini terjadi karena sistem kekeluargaan di Arab tidak menganut yang namanya harta bersama. Setidaknya ada dua pola pandangan tentang harta yang diperoleh dalam masa perkawinan Memisahkan hak milik suami istri, tidak ada harta bersama. Pencaharian suami adalah milik suami dan juga sebaliknya. Dalam ketentuan ini hak dan kewajiban dibagi atas persetujuan bersama. Mencampurkan harta suami dan istri, yang mengandung akad syirkah atau kongsi. Semua harta yang diperoleh selama sudah menikah adalah harta bersama. Tidak peduli soal siapa yang lebih banyak pemasukannya. Ini termasuk Syirkah Muwafadhah.
- Pada Pasal 35 UU Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, diatur bahwa harta yang diperoleh selama perkawinan adalah harta bersama dan harta bawaan masing-masing adalah dibawah penguasaan masing-masing. Diperjelas oleh M. Yahya Harahap bahwa harta yang dibeli selama perkawinan adalah milik bersama, kecuali uang pembeli barangnya berasal dari hasil penjualan barang bawaan masing-masing sebelum perkawinan.
- Melakukan Transaksi Terhadap Harta Bersama Harus Atas Persetujuan Bersama Suami Istri Jika mengacu pada UU Perkawinan, maka tidak boleh menjual harta bersama tanpa persetujuan bersama dari pihak suami dan istri, termasuk menyewakan, menggadaikan, menghibahkan, dan mengagunkan ke bank juga demiikian. Jika transaksi dilakukan, hal tersebut boleh dibatalkan atau ke pengadilan.Adapun soal hutang piutang, mengacu pada pasal 93 KHI maka pertanggung jawaban hutang suami atau istri ada pada harta masing-masing, jika kepentingan keluarga maka tanggung jawab bersama, dan jika tidak mencukupi dibebankan kepada suami serta jika tidak bisa, maka dibebankan pada istri.Harta Bersama Dalam Perkawinan Poligami Hal ini cukup pelik dan rumit.
- Jika melihat pada pasal 94 KHI, maka harta bersama terpisah dan berdiri sendiri, mulai dihitung dari saat berlangsungnya pernikahan setelah pernikahan pertama. Mahkamah Agung kemudian memperkuat untuk menghindari terjadinya penyelundupan hak istri yang pertama atau yang terdahulu oleh suami. Mahkamah Agung berkehendak pemisahan yang tegas antara harta bersama jika suami akan melakukan poligami, agar tidak ada percampuran harta dengan istri pertama dan seterusnya.
- hubungan antara harta bersama dan kasus hukum lainnya, antara lain sebagai berikut:
- Harta Bersama Dijadikan Agunan Kredit Bank
- Pasal 93 KHI mengatur bahwa harta bersama yang bersivat passiva dibebankan pada harta bersama untuk pelunasan. Jika tidak cukup, maka dibebankan ke suami dan diteruskan ke istri jika masih tidak cukup. Masalah ini juga akan dikembalikan ke pengadilan mana yang lebih kompeten, apakah Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama.
- Kredit yang Belum Lunas Pembayarannya
Tindakan ini termasuk ke perbuatan berhutang terutama kepada benda kepentingan rumah tangga. Penyelesaiannya harus kembali mengacu kepada KHI Pasal 93 ayat (2), (3) dan (4).
- Uang Santunan Akibat Kecelakaan Salah Satu Pihak.
uang santunan salah satunya tidak dianggap sebagai harta bersama dan tidak termasuk harta warisan, tapi termasuk hibah.
- Harta Bersama dan Harta Warisan.
Jika seorang suami atau istri meninggal dunia, maka harta yang dimiliki bersama akan dibagi menjadi dua bagian. Setengah bagian akan diberikan kepada pewaris, sementara setengah bagian lainnya akan menjadi milik pasangan yang masih hidup. Penting untuk melakukan pembagian harta bersama ini sebelum melanjutkan ke proses pembagian warisan, karena meskipun salah satu pihak telah meninggal, harta tersebut tetap dianggap sebagai harta bersama.
- Istri yang Nusyuz Tidak Terhalang atas Harta Bersama.
Hubungan hukum antara harta Bersama dengan Tindakan nusyuz,tampaknya tidak ada relevansinya mengkaitkan dual hal yang memang berbeda. Hal itu karena, berapapun jumlah harta kekayaan yang dapat dikumpulkan oleh suami-istri dengan prinsip perkongsian,masing-masing pihak memperoleh bagian yang sama, tanpa memperhitungkan siapa yang bekerja dan terdaftar atas nama siapa.
Kesimpulan: buku Dr. H. M. Anshary MK, S.H., & M.H., "Hukum Perkawinan Di Indonesia: Masalah-Masalah Krusial", kesimpulan yang dapat dicapai adalah bahwa banyak masalah yang dihadapi oleh hukum perkawinan di Indonesia dapat diselesaikan melalui beberapa perspektif. Dimulai dengan ijtihad, dasar hukum agama dan negara, dan kemudian beberapa aturan seperti KHI dan UU Perkawinan, bersama dengan contoh kasus yang sudah diamati secara langsung oleh penulis buku ini. Buku ini juga dapat membahas banyak masalah perkawinan dan cara menyelesaikan kasus jika konteksnya berbeda sedikit.
Oleh: