Yogyakarta: Harmoni atau Ilusi?
Yogyakarta, kota yang kerap disebut sebagai jantung kebudayaan Jawa, memang selalu punya tempat tersendiri di hati para wisatawan. Di setiap sudutnya menyimpan daya tarik simbolik yang melampaui bentuk fisiknya. Dikenal dengan sumbu filosofis yang menghubungkan Gunung Merapi - Tugu Pal Putih - Keraton - Laut Selatan.
Konon sumbu filosofis ini merupakan lambang keselarasan antara manusia, alam, dan tuhan, Yogya digambarkan sebagai ruang kosmis penuh makna spiritual dan keseimbangan. Namun, di tengah narasi besar tentang harmoni itu, muncul pertanyaan kritis: masih adakah harmoni itu? Dan harmoni bagi siapa? Atau sebenarnya, kita hanya sedang menatap ruang kosong yang berisi mitos belaka?
Di balik citra kota yang katanya penuh ketenangan, damai dan bijak ini, Yogyakarta menyimpan ketimpangan yang menumpuk tersembunyi dari konflik agraria, gentrifikasi, sampai represi terhadap suara-suara kritis. Maka tafsir atas sumbu filosofis Yogya tak bisa lagi dipandang hanya sebagai warisan arsitektur atau spiritual, tapi harus dikaji ulang sebagai instrumen kuasa dan ruang perlawanan yang tak kasat mata.
Simbol, Kekuasaan, dan Perlawanan yang Dibungkam
Sumbu filosofis bukan sekadar garis imajiner, ia menjadi penanda tatanan kekuasaan antara alam, manusia, dan raja. Tapi, dalam dunia modern, kekuasaan itu tidak lagi berbentuk raja dan keraton semata, melainkan aktor-aktor ekonomi dan politik yang menguasai ruang hidup warga kota. Di masa lalu, mungkin seperti inilah  cara keraton membangun keteraturan untuk daerah kekuasaannya. Tapi sekarang? Pola kekuasaan itu hadir dalam bentuk yang lebih rumiit dan mulai menyimpang dari jalur asalnya.
Lukisan bernuansa kritis dihapus, diskusi publik dibubarkan, bahkan teater jalanan yang menyentil realitas sosial dianggap mengganggu "ketertiban umum". Dan hal itu dikemas rapih dalam alasan "ketertiban". Sebagaimana diberitakan oleh Tirto (2021), beberapa mural dengan pesan-pesan kritis dihapus secara tiba-tiba oleh aparat. Mural yang seharusnya menjadi suara rakyat kecil malah dianggap sebagai ancaman ketertiban padahal di sanalah keresahan sosial paling jujur tercermin.
Namun, bentuk-bentuk perlawanan non-konvensional itu justru menunjukkan bahwa Yogya masih menyimpan daya kritis. Hanya saja bentuknya berubah tidak lagi melalui demonstrasi besar-besaran, tapi melalui "diam" yang penuh makna dalam bentuk karya seperti  seni, satire, dan simbol. Perlawanan tersebut bukan hanya tentang persoalan melawan kekuasaan, tapi tentang mempertahankan nalar kritis masyarakat agar kota ini tak membeku menjadi museum kebudayaan tanpa jiwa.
Â
Gentrifikasi dan Terpinggirkannya Warga Kecil