Maraknya kasus korupsi yang dilakukan oleh para petinggi negara membukakan mata kita akan betapa krisisnya moral yang dimiliki bangsa Indonesia. Rasa kemanusiaan yang selalu digaungkan seakan kehilangan makna, tergeletak tak berdaya. Pelaku memanfaatkan kesengsaraan warga demi memenuhi kepentingan pribadinya. Bahkan seringkali ditemukan pelaku korupsi yang dengan bangganya menebar senyum pada media, padahal dengan jelas mereka mengenakan pakaian istimewa bertuliskan tahanan KPK.
Kasus yang belakangan ini menghiasi media, seorang menteri sosial tertangkap atas penggelapan dana bantuan sosial Covid 19. Seorang 'menteri sosial' yang seharusnya menjadi penyambung kehidupan masyarakat Indonesia dikala pandemi malah dengan acuhnya mencari kesempatan untuk memanfaatkan kemalangan warga. Sementara diluar sana rakyat kecil yang terdampak pandemi sibuk memikirkan cara untuk  tetap bertahan hidup, para pelaku korupsi ini malah dengan santainya menikmati uang curian mereka untuk memuaskan kepentingan pribadi. Â
Ironisnya lagi, pelaku korupsi yang memakan uang negara ini malah tanpa malu meminta dibebaskan dengan alasan  yang tidak logis. Pelaku berdalih bahwa putusan majelis hakim sangat berdampak bagi keluarganya, terutama anak-anaknya yang masih dibawah umur dan masih butuh perannya sebagai kepala keluarga. Pernyataan ini tentunya menyulut emosi masyarakat, kemana perginya hati nurani itu saat dengan teganya ia memakan harapan rakyat.
Hal ini menimbulkan sebuah tanda tanya besar, mengapa di zaman sekarang banyak pelaku penggelapan bersikap biasa seolah mereka tidak melakukan suatu kejahatan yang besar dan tanpa malunya malah terang-terangan meminta keringanan?
Nafsu tamak para 'pejabat' seperti membutakan mata dan hati nurani mereka. Mereka lupa akan janji manis yang digembar-gemborkan kepada rakyat saat pemilu. Padahal, saat pelantikan pun mereka telah bersumpah atas nama agama dan di atas kitab suci agamanya untuk mengabdi bagi kepentingan umum, bangsa, dan  negara. Ikrar ketuhanan yang diucap tidak sama sekali menjadi penghambat para pelaku untuk melakukan tindak korupsi. Ini menandakan bahwa para pelaku kejahatan benar-benar telah terbutakan hatinya, masa bodoh dengan segala norma, hukum, serta larangan agama yang dianutnya. Padahal, tidak satupun ajaran agama yang memperbolehkan tindak korupsi karena sama saja seseorang tidak memanusiakan sesama manusia.
Tindak korupsi para pejabat mempengaruhi pola pikir masyarakat akan betapa kejinya korupsi. Maraknya pemberitaan tentang korupsi akan membuat masyarakat berpikir bahwa korupsi bukan lagi suatu kejahatan moral yang luar biasa. Ini juga berdampak pada perilaku korupsi kecil-kecilan yang dilakukan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari akibat mencontoh perilaku para oknum pejabat. Jika tindakan korupsi saja sudah banyak dianggap biasa oleh masyarakat, maka tinggal menunggu waktu saja negara ini akan hancur.
Saat ini, sudah banyak perilaku masyarakat Indonesia yang masuk dalam perilaku korupsi. Ruang lingkupnya pun beragam, antara lain keluarga, komunitas, dan publik. Pelaksanaannya dalam ruang lingkup keluarga dapat berupa meminta uang lebih dengan alasan pendidikan namun malah disalahgunakan untuk kepentingan pribadi. Dalam lingkup komunitas, tindak korupsi dapat berupa memberi uang pada tokoh masyarakat ketika hari raya. Sedangkan tindak korupsi dalam lingkup publik dapat berupa pungutan liar dalam mengurus data pribadi.
Tindak korupsi tidak lain merupakan buah dari kekejian manusia. Hal ini mempunyai daya rusak yang luar biasa dalam berbagai aspek kehidupan manusia, salah satunya dalam hal perekonomian nasional. Sudah jelas tindak korupsi berarti memanfaatkan sejumlah uang negara yang seharusnya digunakan untuk kepentingan bersama dan disalahgunakan untuk memenuhi ego pribadi. Akibatnya, kasus kemiskinan di Indonesia akan terus meningkat dan ketimpangan sosial antar kelas masyarakat semakin jauh. Semakin tinggi tingkat korupsi di suatu negara, bisa dipastikan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat di negara tersebut rendah. Sebaliknya, negara yang tingkat korupsinya rendah, maka dapat dipastikan negara tersebut merupakan negara yang tingkat kesejahteraan masyarakatnya tinggi.
Korupsi sangat dekat dengan kita sehingga seringkali tanpa sadar kita melihat ataupun melakukan tindak korupsi. Pelaku korupsi juga seakan punya 1001 alasan untuk menyangkal perbuatannya, misalnya menyangkal bahwa pemberian uang warga kepada petugas yang telah mengurus data pribadi adalah bentuk balas jasa. Padahal, sebagai petugas berarti seseorang bersedia mengabdi untuk masyarakat dengan jujur dan berkomitmen.
Sistem yang korup ini akhirnya akan membuat orang di dalamnya korup. Sistem pemerintahan desentralisasi yang saat ini dijalankan bertujuan memberikan kesempatan kepada seluruh daerah di Indonesia untuk memajukan perekonomiannya.Sayangnya, pengaplikasian otonomi daerah tidak diikuti dengan kesiapan perangkat hukum dan mentalitas pejabat yang jadi pelakunya. Sistem desetralisasi ini bahkan justru banyak dimanfaatkan oleh para oportunis, mengingat tidak adanya sistem check and balances yang memungkinkan tindak mereka untuk gagal.
Cacat sistem yang terus menerus terjadi di Indonesia perlu dirombak. Budaya korupsi ini sudah harusnya dikubur dalam-dalam. Generasi penerus bangsa masih butuh Indonesia sebagai naungan hidupnya. Jika budaya korupsi masih saja terus berlanjut, bagaimana nasib kehidupan generasi penerus bangsa? Apakah kita tega membiarkan mereka harus hidup berdampingan dengan korupsi?
Memberantas korupsi bukanlah sebuah hal yang mudah, transformasi perlu dilakukan dari hal yang paling mendasar. Untuk itu, ada beberapa langkah yang perlu segera dilaksanakan. Pertama, menguatkan peran pemerintah pusat dengan merevisi UU tentang otonomi daerah. Belajar dari kegagalan sistem desentralisasi yang lemah kontrol, pemerintah harus tegas dalam meyikapi penyelewengan pejabat baik yang tingkat daerah maupun pusat.
Kedua, perlu adanya peningkatan peran dan fungsi pengawasan KPK. Saat ini, kinerja KPK banyak dinilai belum maksimal. Upaya pencegahan korupsi melalui fungsi koordinasi dan monitoring yang diadakan juga masih belum terlaksana dengan baik. KPK perlu realisasi seperti pelatihan pegawai negeri sipil, audit secara berkala, dan perlindungan terhadap whisle blower agar kejahatan korupsi juga dapat dikupas tuntas.
Korupsi harus diberantas dari akarnya. Percuma diciptakan sistem dan peraturan seketat apapun jika mental warga Indonesia masih mental korupsi. Diperlukan komitmen bersama dari pelaku pemerintahan serta masyarakat untuk bersama-sama membasmi korupsi. Setiap warga negara berperan penting dalam mencegah berkembangnya pola pikir korupsi, dimulai dari diri sendiri, lalu mengedukasi orang lain. Selain itu, tiap-tiap warga negara juga diharapkan aktif untuk melakukan pengawasan sehinga dapat mendeteksi perilaku koruptif sedini mungkin. Selanjutnya, jika ditemukan ketidakberesan maka masyarakat diharapkan dapat melaporkan tindak korupsi kepada badan penegak hukum agar dapat diproses dengan adil sesuai hukum yang berlaku di Indonesia.
Terakhir, sikap antikorupsi juga perlu ditanamkan kepada generasi penerus bangsa sejak dini. Mengingat banyak anak yang tumbuh dengan bibit-bibit korupsi yang didapatnya dari lingkungan. Anak-anak harus ditanamkan pendidikan moral agar memiliki kesadaran dan rasa kemanusiaan terhadap sesama sehingga tidak merampas hak orang lain. Jika sikap antikorupsi dapat terimplementasi dengan baik, maka kehidupan bernegara pun akan terlaksana dan cita cita kesejahteraan bangsa pun bisa tercapai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H