Mohon tunggu...
Annisa F Rangkuti
Annisa F Rangkuti Mohon Tunggu... Psikolog - 🧕

Penikmat hidup, tulisan, dan karya fotografi. https://www.annisarangkuti.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Cindy, Gadis Kecil di Gerbang Masjid

28 Januari 2010   10:10 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:12 305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kali ini nama sebenarnya. Aku tak tahu pasti bagaimana pengejaan namanya ini. Yang pasti, namanya kukira sesuai dengan wajahnya. Cantik. Saat itu, aku baru sampai di pelataran salah satu masjid besar di kotaku.  Waktu itu kami akan shalat zuhur, aku bersama suamiku. Pelataran parkir masjid yang luas ini sudah hampir penuh. Untunglah, kami dapat tempat parkir di bawah sebuah pohon rindang, yang baru saja ditinggalkan mobil sebelumnya. Setelah parkir, kami lalu berjalan beriringan menuju tangga masuk halaman utama masjid. Dari jauh kulihat di pintu gerbangnya, seperti biasa, banyak pengemis yang kebanyakan perempuan. Dari yang kecil, ibu-ibu muda, sampai perempuan paruh baya. Aku jarang memberi mereka sedekah. Wajah-wajah mereka hampir sudah kuhafal semuanya, karena aku dan suamiku cukup sering shalat di masjid ini. Aku malas memberi pada yang tidak benar-benar membutuhkan. Fisik mereka sebenarnya sehat-sehat saja; bisa melihat, mendengar, berbicara, berjalan, hanya dilusuh-lusuhkan hingga tampak seperti jarang mandi dan tak terurus. Lucunya, fisik mereka tampak berisi, bahkan ada yang gemuk. Tak ada yang kulihat kurus kering seperti benar-benar kurang makan selama berhari-hari. Suamiku pun sama. Menurutnya lebih baik menyantuni orang miskin dan anak yatim yang sudah kami kenal di dekat rumah daripada menyantuni para pengemis yang - sudah menjadi rahasia umum - terkoordinasi ini.

Mendekati pintu gerbang, aku mengenal wajah-wajah ini. Tapi ada satu hal yang menarik perhatianku, hingga aku harus memperhatikan mereka lebih lama dari jarak yang agak jauh. Seorang ibu muda dengan tiga orang anak yang duduk di dekatnya. Satu laki-laki yang kukira seusia dengan anak SD kelas 1, satu perempuan yang kurasa masih balita; kira-kira berumur antara 4 sampai 5 tahun, dan seorang lagi yang lebih muda dari keduanya, tampaknya baru bisa berjalan karena langkah-langkah kakinya yang masih tampak doyong, belum stabil. Anak yang paling kecil tampak ceria, ingin berjalan ke sana kemari, tapi kulihat selalu dicegah dan dipegangi ibunya. Tangan kiri ibunya sibuk memegangi anak itu dan tangan kanannya menyodorkan wadah kecil serupa mangkuk ke arah orang-orang yang naik atau turun tangga. Beberapa kali ia mendapat receh, namun lebih sering ia tak diacuhkan. Anak perempuan dan anak laki-laki itu melakukan hal yang sama dengan ibunya. Mereka mempunyai mangkuk masing-masing untuk diisi. Mulut mereka tampak bergumam-gumam yang samar-samar kudengar kalimatnya, "sedekahnya bu, pak...tolong bu, pak...sedekahnya...," begitu berulang-ulang. Kulihat hampir setiap orang yang lalu lalang di gerbang itu memperhatikan keluarga pengemis ini lebih lama, terutama pada anak perempuan itu. Karena kutahu, meskipun mereka, khususnya anak perempuan itu tampak lusuh, mereka tampak lebih bersih dari pengemis lain yang ada di situ. Pakaian mereka biasa tapi cukup bersih. Ibu dan anak perempuannya menggunakan kerudung. Wajah mereka tidak dilusuh-lusuhkan, paling-paling sedikit coklat karena tersentuh debu jalanan sehingga warna dasar kulit mereka yang putih, masih tampak nyata. Aku tahu, dan pasti semua orang yang memperhatikan anak perempuan itu sepakat denganku kalau dia adalah seorang anak perempuan yang cantik. Dia adalah pengemis cilik paling cantik yang pernah kulihat. Selesai shalat, suamiku sudah lebih dulu ke parkiran. Aku menyusulnya dan kembali melewati gerbang itu. Sekali lagi memandang wajah cantik anak perempuan itu untuk beberapa saat. Hebat, wajah cantiknya mampu "menyihirku" untuk memberikan sedikit uang receh di mangkuk yang disodorkannya padaku. Dia hanya tersenyum kecil sebagai tanda terima kasih. Subhanallah...dari dekat, anak ini memang benar-benar cantik. Kulitnya putih, mata hitamnya dilindungi oleh bulu mata yang hitam lebat, bibir mungilnya berwarna merah muda dengan bentuk pipi yang menggemaskan. Mirip anak perempuan Bosnia. Aku ingin sekedar menyapa, tapi mulutku rasanya terkunci karena takjub bercampur heran. Jadi aku hanya memandangnya sejenak lagi lalu turun ke pelataran parkir. Aku masih tak menyangka kalau anak secantik itu turut "berprofesi" sebagai pengemis seperti ibunya. "Kasihan memang anak itu. Sudah banyak yang bertanya tentang dia di sini," kata bapak tukang parkir yang kami tanyai perihal anak perempuan itu. Bapak tukang parkir ini sudah lama kami kenal. Kami sering berbincang dengannya. "Ibunya saja yang bodoh!," ujarnya lagi bercampur kesal. Aku dan suamiku saling pandang. "Maksud bapak?", tanyaku. "Iya...sebenarnya sudah banyak orang yang ingin mengasuh anak itu atau mengangkatnya sebagai anak, tapi ibunya tak pernah mau. Padahal, tak sedikit orang kaya dan pejabat-pejabat yang shalat di sini dan melihatnya, berniat baik ingin membantunya. Tapi itulah...entah kenapa, ibunya saja yang selalu menolak. Seandainya anak itu diizinkannya diasuh orang lain, disekolahkan, diberi penghidupan yang layak, pasti dia tak akan mengemis seperti ini. Kasihan kali memang..." Kata-kata bapak  tukang parkir itu membuat hatiku juga turut prihatin akan nasib anak itu. Masjid ini memang bertetangga dengan kantor-kantor pemerintahan; kantor gubernur, kantor Departemen Keuangan, Bappeda, dan banyak lagi gedung perkantoran lainnya. Di sini memang tempat shalat para pejabat dan pegawai pemerintahan setiap hari, hingga masjid ini tak pernah sepi. Aku sudah lama tak mampir ke masjid ini, jadi aku baru tahu tentang pengemis cilik itu. Hari-hari selanjutnya, aku dan suamiku cukup sering shalat di sini. Tidak sengaja dijadwalkan dan setiap kali itu pula aku bertemu anak perempuan itu. Entah mengapa tiba-tiba jadi kebiasaanku, aku selalu memberi sedikit uang receh kepadanya, tapi tetap tak ada perbincangan di antara kami. Aku dengan anak perempuan itu, atau aku dengan ibu dan kedua anaknya yang lain. Hingga suatu waktu aku tak lagi menemukannya di masjid itu. Berkali-kali ke sana, tak ada lagi mereka yang senantiasa duduk di ujung tangga. Sedikit menyesal, mengapa tidak dari kemarin-kemarin saja aku membuka pembicaraan dan mengobrol dengan mereka. Suatu perasaan lalu menyelusup dalam hatiku; aku rindu dia,  anak perempuan itu.

***

Sudah hampir maghrib ketika aku dan suamiku ke perumahan elite ini. Kami baru saja berkunjung ke salah satu rumah untuk mengantarkan sesuatu. Kami lalu memutuskan untuk shalat maghrib di masjid perumahan ini saja, karena akan lama dan habis waktunya bila harus berkendara lagi sampai di rumah. Baru kali ini aku ke masjid di perumahan ini. Biasanya hanya melewatinya saja. Masjid ini memang indah, bersih dan nyaman. Tampak terawat betul oleh pengurusnya. Mungkin karena terletak di perumahan mewah, jadi tak akan kesulitan mengenai biaya perawatan karena jumlah infaq yang pasti tidak sedikit. Kami baru saja keluar gerbang masjid setelah selesai shalat ketika aku melihat sosok kecil sedang berdiri persis di pintu gerbang. Aku tersentak, karena pantulan cahaya lampu jalan ke wajah anak kecil itu mengingatkanku pada wajah pengemis cilik yang cantik itu. "Tunggu sebentar kak...!" seruku tiba-tiba pada suamiku yang sudah menyetir sampai di belokan. Aku melihat anak itu dari kaca spion. "Ada apa?" tanyanya heran. "Anak perempuan yang pengemis itu...itu sepertinya dia...di pintu gerbang itu..." Suamiku lalu menghentikan kendaraan dan diparkirkannya di pinggir jalan. Aku bergegas membuka pintu mobil dan berjalan ke gerbang masjid, suamiku menyusul di belakang. Perasaanku membuncah, bercampur aduk antara terkejut, senang dan heran. Aku kini telah berdiri di hadapannya. Sambil membungkukkan badan aku bertanya sambil memandang wajahnya.

"Hai...ngapain di sini adik kecil?," sapaku ramah. Dia mungkin heran karena kusapa. Kulihat wajahnya, memang dia...pengemis yang cantik itu. Ia memakai jilbab kecil, cantik sekali. Tangannya masih sama, memegang mangkuk yang berisi uang receh. Aku melihat di sekelilingnya. Tidak ada siapa-siapa yang di dekatnya. Aku mengernyitkan kening. "Kamu sendirian di sini? Mana ibumu?," tanyaku. Dia menunduk sebentar lalu memandang wajahku. "Di sana...," jawabnya pelan sambil menunjuk ke arah belakangnya. Baru kali ini kudengar suaranya. Lucu khas anak-anak. "Di sana mana? Ngapain ibumu di situ? Kok kamu ditinggal sendiri?" "Mamak ngemis di sana kak...sebentar lagi ke sini," kata-katanya lancar. Ya Allah...pasti dia sebenarnya anak yang pintar. "Oh ya...namamu siapa?," kusodorkan tanganku. Ia menyambutnya malu-malu sambil menjawab, "Cindy...," aku gunakan ejaan ini karena kuanggap ini yang paling sesuai untuknya. Cindy yang cantik. Aku lalu menyebut namaku dan memperkenalkan suamiku. Kami lalu menanyakan banyak hal padanya, mulai dari mengapa ia mau mengemis dan sejak kapan, apakah ia bersekolah, sampai pada bagaimana perlakuan ayah dan ibunya di rumah, dan sebagainya. Kami sudah seperti pekerja LSM yang mencoba ingin tahu kehidupan anak jalanan. Tak lama dari arah depanku dan suamiku, seorang ibu mendekat ke arah kami. Langkahnya semakin surut ketika mendapati kami berhadapan dengan Cindy. Aku tak tahu menafsirkannya bagaimana. Mungkin ia heran, curiga, atau waspada karena anaknya kini berhadapan dengan orang tak dikenal. Sebelum langkahnya semakin mendekat, kami sudah tersenyum padanya. Kami tahu, itu pasti ibunya. Wajahnya kami kenal. Usianya kira-kira 30-an tahun. Perempuan kurus berkerudung. Tangan kanannya membawa bungkusan kain. Celana panjangnya menggantung sehingga tampak jelas kakinya yang memakai sandal jepit lusuh. Masih tampak tersisa kecantikan di wajahnya yang tirus. Kecantikan ini yang kurasa diwarisi Cindy. Dia belum berkata apa-apa. Mulutnya sedikit menganga dan tampak agak ragu membalas senyuman kami. Dari sinar matanya terlihat ia bertanya-tanya. "Kami tadi hanya mengobrol dengan Cindy bu...," kataku sambil tersenyum, mencoba memecahkan keraguan dan mungkin rasa curiganya. "Saya tadi heran, kenapa Cindy sendirian di sini. Saya khawatir kalau terjadi apa-apa padanya karena dia kan...anak yang cantik," ujarku jujur. Kata "cantik" mengembangkan senyumnya. "Ibu tadi kemana?" "Saya tadi di sana...di perempatan. Saya biasa mangkal di sana. Cindy memang biasa di sini," katanya ringan tentang profesinya. "Udah berapa lama ibu di sini? Dulu kan saya ngeliat ibu di masjid pusat kota sana." "Iya...saya sering pindah-pindah. Sekarang lagi di sini. Mungkin bentar lagi kami pindah lagi." "Anak ibu yang lain mana?" "Saya tinggal di rumah tadi, sama bapaknya." "Loh, bapaknya nggak kerja?," gantian suamiku yang bertanya. "Bapaknya kerja siang...mocok-mocok...saya sebenarnya kalau pagi juga jadi tukang cuci di rumah-rumah." "Terus...kok anak-anak ibu ikut kerja juga?" Dia terdiam sebentar. Mata dan bibirnya tampak tersenyum malu. "Cemanalah...uangnya nggak cukup...kalo ada orang ini kan terbantu juga...bisa cepat banyak uang." Aku menghela nafas. Tetap saja tak terima alasannya mempekerjakan anak-anaknya sebagai pengemis. "Ibu nggak takut anak-anak ibu diapa-apakan orang? Apalagi Cindy. Dia anaknya cantik bu...saya takut kalau ada orang jahat yang menculiknya lah...atau apalah...," aku tak menambahkan kata "memerkosa" karena aku sendiri bergidik ngeri bila menyebutnya. "Apa ibu nggak takut? Mungkin sekarang masih belum kenapa-kenapa bu...tapi nanti? Sampai kapan ibu mau anak-anak ibu jadi pengemis? Kalau Cindy makin besar...mestinya ibu makin takut. Dia cantik bu...saya takut kalau terjadi apa-apa pada Cindy...," berulang kali aku mengatakan "cantik", karena aku memang benar-benar prihatin dan khawatir akan nasibnya kelak sebagai gadis cantik yang tidak jelas masa depannya. "Ibu tau kan sekarang banyak orang yang menculik dan menjual anak? Ibu sampai hati memperlakukan Cindy kaya' gini? Sendirian malam-malam. Untung di sini masih cukup aman. Bagaimana kalau di jalan besar sana?" Suaraku agak bergetar menahan gejolak emosi yang berubah-ubah. Khawatir, prihatin, kasihan, dan marah pada kedua orangtuanya. Kami terdiam beberapa saat. Kulihat Cindy pun hanya diam, dan kurasa ia mengerti dialog kami. Sesekali bergantian ia memandang kami dan ibunya. "Apa Cindy sekolah bu?," tanya suamiku. "Belum...dia masih 4 tahun. Abangnya sekolah di dekat rumah." "Ya udah...kami harap nanti Cindy sekolah ya bu...jangan sampai dia nggak sekolah. Kasihan bu...kasihlah dia kesempatan untuk sekolah. Kalau dia berhasil nanti kan ibu juga yang senang. Sebaiknya ibu lah yang berjuang untuk hidup mereka. Kan ibu masih muda juga, masih kuat banyak kerja...," ujar suamiku lugas. "Sebaiknya juga jangan mengemis lagi. Apa keterampilan yang ibu punya?." "Saya bisa jahit sikit-sikit..." "Nah...itu kan ada keterampilan ibu. Mulailah terima jahitan aja. Punya mesin jahitnya?" "Belum ada lagi. Yang di rumah udah rusak." "Ya ibu usahalah ya...kan bisa nabung-nabung...kalau niatnya kuat terbelinya itu," lanjut suamiku lagi. Ibu Cindy hanya tersenyum meringis karena malu, kurasa. Kami lalu menanyakan namanya, nama suaminya, dan tempat tinggal mereka. Siapa tahu suatu saat perlu, pikirku. Kami juga banyak berbincang tentang keluarganya dan profesinya sebagai pengemis. Ternyata mereka jenis pengemis "independen", tidak terikat pada suatu "organisasi pengemis" tertentu. Dan syukurlah, tampaknya ibunya mau mengerti dan menerima penuturan kami. Di akhir perbincangan, tak lupa suamiku menyelipkan lembaran uang ke tangan ibunya. Tatapan tanda syukurnya pada Yang Maha Penyayang sudah cukup bagi kami. Kami lalu menyalami keduanya. Saat aku menyalami Cindy, tak lupa aku memandang wajah cantiknya agak lama dan mengelus sayang pipinya yang halus. Dia tersenyum malu-malu, yang semakin memperlihatkan kecantikan dan kepolosannya sebagai anak-anak. Perbincangan usai maghrib ini begitu membekas. Hingga lama kemudian aku maupun suamiku tak pernah lagi menemui mereka hingga saat ini. Biarlah Tuhan saja yang membimbing jalan mereka. Semoga keluarga mereka...terutama Cindy...kelak menemukan jalan menuju bahagia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun