Pada akhirnya saya harus "menyerah" pada kenyataan kalau zaman telah berubah. Saya lebih akrab dengan laptop dan gadget lainnya. Saya lebih akrab dengan begitu banyak informasi yang dengan mudah saya peroleh di internet. Jari jemari saya lebih lincah menari di atas keyboard daripada di atas kertas. Saya jadi asing dengan keheningan. Tak betah. Ketika sendiri, saya malah berpikir tentang teman-teman di jejaring sosial dan apa yang sedang terjadi di dunia luar sana kala saya duduk santai seperti ini.
Saya jadi seolah tak punya waktu untuk sekadar duduk, diam, menikmati detak jam yang berlalu tanpa merasa bersalah karena menganggap hanya membuang-buang waktu. Saya jadi tak lagi bersahabat dengan ide-ide segar dan murni yang acap muncul di kala sendiri dan hening itu. Ketika hanya saya dan diary saja yang ada di dunia saya. Ketika dunia dan masa-masa yang akan datang tetap menjadi tantangan yang menggairahkan untuk ditaklukkan. Ketika mimpi-mimpi itu terasa begitu dekat untuk diraih dan digenggam dengan sepenuh hati. Ah, rasanya saya ingin kembali ke masa lalu. Kembali menikmati keheningan dengan segenap rasa cinta pada hidup ini.
Tapi waktu terus bergulir dan zaman serta manusianya terus berubah. Mau tak mau, saya harus mengikuti arus yang deras ini dan menyesuaikan diri. Tantangannya kini sungguh berbeda. Di satu sisi, bisa saja impian dan tujuan hidup itu tampak mudah diraih, seiring dengan sisi lainnya yang menyuguhkan jalan terjal yang membuat pikiran kita sudah lebih dulu kepayahan untuk menggapainya. Semuanya tergantung pilihan dan sudut pandang saja. Tetap menaiki gunung impian sampai ke puncaknya atau memilih menyerah di tengah jalan? Dalam kondisi bagaimanapun, dalam situasi sesulit apapun.
***
>> Sebuah racauan kegalauan.