Mohon tunggu...
Annisa Wahyu Dhiannawati
Annisa Wahyu Dhiannawati Mohon Tunggu... Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Sebelas Maret Surakarta

Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Sebelas Maret Surakarta MK Jurnalistik Cetak Annisa Wahyu Dhiannawati (12)

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Dorong Pendidikan Karakter Lewat Sastra dan Literasi di Era Digital bersama Diklisa

9 Oktober 2025   00:06 Diperbarui: 9 Oktober 2025   00:06 9
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Poster kegiatan Seminar DIKLISA#5 

DIKLISA merupakan komunitas aktif penggiat literasi, bahasa, dan sastra khususnya dalam bidang pendidikan yang telah menjadi komitmen bersama. Pada Senin, 29 September 2025 komunitas ini telah melaksanakan seminar dengan mengangkat tema "Peluncuran Karya bersama DIKLISA dengan Buku Pendidikan Abad XXI dalam Berbagai Perspektif" dan cerita bersama "Sastra sebagai Pilar Pendidikan Karakter untuk Masyarakat NKRI". Kegiatan ini dilakukan dengan tujuan untuk berbagi ilmu yang bermanfaat dan mencerdaskan melalui karya buku yang dihasilkan melalui kolaborasi.

Komunitas DIKLISA dikenal sebagai wadah yang memfasilitasi para anggotanya untuk terus berkembang di bidang literasi. Salah satu contohnya adalah peluncuran buku "Pendidikan Abad XXI dalam berbagai Persepektif". Buku ini adalah hasil kolaborasi nyata antara 34 penulis yang terdiri dari guru dan dosen. Dalam sambutannya, Muhammad Rohmadi menegaskan bahwa ia berharap melalui DIKLISA dapat tumbuh sinergitas yang mewarnai sumber literasi bagi masyarakat umum.

Tangkapan layar seminar DIKLISA#5 
Tangkapan layar seminar DIKLISA#5 

Selain memotivasi untuk menghasilkan suatu karya sebagai alat bantu pengembangan diri, seminar ini juga membahas tentang pengembangan nilai karakter melalui pesan moral yang tersimpan dalam drama. "Belajar sastra akan mendapatkan banyak nilai-nilai karakter. Percaya diri saja dan harus punya mental yang kuat. Dunia teater membuat pribadi percaya diri", ujar Ahmad Ripai selaku narasumber dari dosen PGRI Semarang (29/9). Ia menyebut bahwa sebagai seorang pendidik haruslah mengenalkan anak dengan dialog, bacaan, dan tontonan karena banyak nilai positif yang bisa didapat dari belajar teater seperti berlatih tanggung jawab dan tepat waktu.

Di era globalisasi dan disrupsi digital sering terjadi pergeseran nilai, karakter, bahkan moralitas. Yosi Wulandari, sebagai salah satu pembicara menyebutkan "Tantangan ini bisa diatasi dengan sastra lokal yang bisa dijadikan pilar dalam pendidikan karakter, terutama di era modern" (29/9). Ia menjelaskan lebih lanjut bahwa sastra dikenal sebagai suatu karya imajinatif yang menyimpan pengalaman estetik, moral, dan spiritual. Sedangkan pendidikan karakter adalah proses menanamkan nilai moral, budaya, dan religius. Melalui kolaborasi padu keduanya, maka lahirlah pribadi yang berakhlak, mempunyai identitas Indonesia, dan berkepribadian luhur.

Teks cerita sastra tradisional yang selama ini beredar di kalangan masyarakat Indonesia sebenarnya merupakan upaya untuk mengajarkan tentang bagaimana membangun karakter bangsa. Nilai-nilai karakter yang bisa diambil seperti nilai religius, nasionalis, mandiri, gotong royong, dan integritas yang baik untuk dibudidaya.

Lebih lanjut, Yosi mendeskripsikan tiga aspek yang bisa dilatih seperti berikut: (1) kognitif, yakni mengenal nilai, (2) afektif, yakni merasakan nilai, dan (3) konatif, yakni bertindak sesuai nilai. Jadi, pembelajaran sastra tidak cukup hanya memahami isi cerita, tetapi harus sampai pada keteladanan dan praktik nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Melalui strategi yang bermacam-macam seperti alih wahana ke bentuk karya sastra yang lain, integrasi PS, dan proyek lintas budaya dapat menjadi strategi praktis untuk mengimplementasikannya dalam pendidikan.

Pendidikan karakter berbasis sastra lokal ini dapat bermanfaat dalam upaya untuk memperkuat budaya nasional jika dipadukan dengan teknologi di era globalisasi yang mudah mengeser nilai tradisional sebagai identitas Indonesia. Ia kembali menegaskan "Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai cerita leluhurnya. Sastra lokal bukan sekadar warisan, melainkan pilar pembentuk karakter bangsa yang beradab, beriman, dan berkepribadian Indonesia."

Masyarakat Indonesia membutuhkan karakter-karakter yang kuat yang harus dimiliki siswa, mahasiswa, pendidik, dan masyarakat. Budaya lokal menjadi embrio untuk menguatkan karakter tersebut, sehingga harus kita tekankan pada masyarakat agar cita-cita Indonesia Emas 2045 bisa tercapai. Kita harus mengimbangi karena tidak semua budaya modern itu positif dan tidak semua budaya modern itu negatif. Pembangkitan komuintas teater di sekolah, masyarakat, perguruan tinggi juga merupakan salah satu wadah menciptakan pendidikan karakter.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun