Mohon tunggu...
Siska Dewi
Siska Dewi Mohon Tunggu... Administrasi - Count your blessings and be grateful

Previously freelance writer https://ajournalofblessings.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Penghasilan Istri Lebih Besar dari Suami? Bersyukurlah, Itu adalah Anugerah!

14 Desember 2020   06:00 Diperbarui: 24 Mei 2022   14:45 1865
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
People photo created by jcomp - www.freepik.com

Sebuah penelitian terhadap lebih dari 6.000 pasutri selama 15 tahun oleh Dr. Joanna Syrda, seorang ekonom dari University of BATH di Inggris, menghasilkan beberapa kesimpulan menarik.

  • Para suami merasa cemas ketika menjadi satu-satunya pencari nafkah dan memikul semua beban tanggung jawab atas keuangan rumah tangga.
  • Tingkat stres menurun secara bertahap saat isteri ikut bekerja hingga menghasilkan 40% dari pendapatan rumah tangga.
  • Seiring dengan pendapatan isteri yang melebihi 40% dari pendapatan rumah tangga, tingkat stres suami secara bertahap meningkat.
  • Suami mencapai tingkat stres tertinggi ketika isteri mengambil alih peran sebagai satu-satunya pencari nafkah dalam rumah tangga.

Mari kita simak hasil penelitian Dr. Syrda dan saya akan bagikan pengalaman seorang sahabat karib di akhir cerita ini. Teman saya sangat menghormati suami yang berpenghasilan lebih rendah dari dirinya. Dia dan suaminya memandang penghasilannya sebagai anugerah Tuhan yang tak henti mereka syukuri.

Sebuah Pengecualian

Menurut Dr. Syrda, ada pengecualian terhadap temuan yang dipaparkan di atas. Pengecualian terjadi jika isteri sudah berpenghasilan lebih tinggi dari suami sebelum menikah.

Pria yang secara sadar menikahi wanita yang berpenghasilan lebih tinggi, tidak menderita tekanan psikologis ketika isterinya menghasilkan lebih banyak. Hal ini disebabkan pria tersebut sudah mengetahui dengan jelas potensi kesenjangan pendapatan yang akan dihadapinya.

Sebuah Paradoks

Ketika pasutri memutuskan bahwa isteri perlu bekerja untuk meringankan beban suami sebagai satu-satunya pencari nafkah, saya percaya mereka melakukannya dengan harapan bahwa keadaan akan menjadi lebih baik.

Penelitian Dr. Syrda menunjukkan bahwa pria lebih bahagia saat isteri mereka berkontribusi secara finansial. Para suami tampak lebih santai ketika isteri memperoleh penghasilan hingga 40% dari pendapatan rumah tangga.

Tingkat stres suami meningkat tajam ketika gaji isteri naik melebihi 40% dari pendapatan rumah tangga. Para suami merasa paling stres saat mereka sepenuhnya bergantung secara ekonomi pada para isteri mereka. Tingkat stres dalam penelitian ini dihitung berdasarkan perasaan sedih, gugup, gelisah, putus asa, dan tidak berharga. 

Pria yang menjadi satu-satunya pencari nafkah, relatif tidak bahagia. Akan tetapi, mereka tidak stres seperti pria yang pasangannya adalah pencari nafkah utama. 

Tak satu pun dari kedua skenario ekstrem ini yang baik untuk kesehatan mental pria.

Gambaran di atas menjadi seperti sebuah paradoks. Apa yang awalnya diharapkan akan membawa kebaikan, ternyata berkembang menjadi petaka. Keputusan untuk keluar dari skenario ekstrem pertama (suami sebagai satu-satunya pencari nafkah) membawa pasutri memasuki skenario ekstrem kedua (isteri sebagai pencari nafkah utama).

Mari kita pahami mengapa kedua skenario ekstrem tersebut tidak baik untuk kesehatan mental pria.   

Keseimbangan kekuatan

Ada berbagai alasan suami yang isterinya berpenghasilan lebih tinggi bisa menderita tekanan psikologis. Ketika salah satu dari pasutri mengkontribusikan proporsi yang jauh lebih besar dari pendapatan bersama, terciptalah ketidakseimbangan hubungan.

Jika ketidakseimbangan hubungan membuat relasi pasutri memburuk secara signifikan, kemungkinan perceraian atau perpisahan dapat terjadi.

Seandainya pasutri tersebut memilih untuk tetap bersama, kesenjangan penghasilan dapat memengaruhi keseimbangan kekuasaan.

Ketidakseimbangan kekuasaan akan berdampak besar ketika pasutri berbeda pandangan mengenai apa yang terbaik untuk keluarga mereka, berapa banyak yang harus ditabung, cara mendidik anak, serta berbagai rencana dan keputusan besar lainnya.

sumber gambar: www.dlpng.com
sumber gambar: www.dlpng.com

Budaya Peran Gender

Teori lain menyoroti efek historis dari norma-norma sosial, psikologis dan budaya dalam hal peran gender. Konstruksi sosial pencari nafkah laki-laki bertahan sangat lama di masa lalu.

Dari generasi ke generasi, dalam banyak budaya, terdapat harapan bahwa laki-laki akan menjadi pencari nafkah utama dalam keluarga, dan maskulinitas sangat terkait untuk memenuhi harapan tersebut. 

Pria yang berpenghasilan lebih rendah dari isteri cenderung mengalami tekanan psikologis tingkat tinggi.

Harapan lingkungan mengenai peran laki-laki sebagai pencari naskah utama agaknya perlu ditinjau kembali karena sesungguhnya banyak hal sudah berubah. Di tempat-tempat seperti Amerika, persentase istri yang menjadi pencari nafkah utama, meningkat.

Pada tahun 1980, hanya 13% wanita yang sudah menikah berpenghasilan sama atau lebih tinggi dari suaminya. 

Pada tahun 2000, angka itu hampir dua kali lipat menjadi 25%. 

Pada tahun 2017, naik lagi menjadi 31%. 

Tren ini kemungkinan akan berlanjut di masa depan dan pola serupa telah diamati di negara lain.

Kisah Swanny, Sebuah Anugerah

Swanny dan suaminya memulai karier di Kantor Akuntan Publik yang sama. Saat mereka memutuskan untuk menikah, Swanny lebih dahulu mengundurkan diri dari kantor tersebut dan memulai kariernya di sebuah perusahaan manufaktur sebagai Chief Accountant.

Karena sesuatu dan lain hal, suami Swanny memutuskan untuk menjadi dosen purnawaktu pada tahun ke-16 pernikahan mereka. “Ada yang berubah setelahnya,” cerita Swanny. “Proporsi penghasilan kami menjadi terbalik. Awalnya, dia menghasilkan hampir dua kali penghasilanku. Setelah keputusan itu, penghasilanku hampir dua kali penghasilannya.”

 Menurut Swanny, salah satu resep kerukunannya dan suami adalah komunikasi terbuka sejak awal. 

“Dia mendiskusikan rencana banting stir denganku sebelum memutuskan. Aku sangat menghargai keterbukaannya ini. Aku juga memahami latar belakang mengapa dia memutuskan demikian. Karena itu, aku mendukung dia.”

People photo created by tirachardz - www.freepik.com
People photo created by tirachardz - www.freepik.com

Swanny berkisah bahwa keputusan suaminya membuat penghasilan total mereka berkurang hampir 50%. “Kami menyesuaikan gaya hidup setelah itu. Hal-hal yang bersifat kesenangan kami kurangi. Sebagai contoh, kami tidak lagi makan di restoran. Menu makanan di rumah pun kami cari yang lebih murah namun tetap bergizi.”

Mengganti kebiasaan makan di restoran dengan memasak makanan sederhana di rumah adalah salah satu contoh. Mereka juga mengganti kebiasaan nonton di bioskop dengan nonton televisi di rumah. Pembelian pakaian baru mereka kurangi, begitu juga perjalanan wisata. Intinya, mereka setia pada komitmen "susah senang dijalani bersama". Ini adalah resep lain kerukunan mereka.

Karier Swanny terus berkembang hingga ia duduk di jajaran direksi di tempat kerjanya saat ini. Karier suaminya juga meningkat meskipun secara penghasilan, remunerasi yang diterima Swanny tetap lebih tinggi.

“Sebagai isteri, aku harus dapat menempatkan diri. Suami adalah kepala rumah tangga yang harus dihormati. Aku bersyukur bahwa suamiku selalu mempertimbangkan pendapatku meskipun pada akhirnya dia yang mengambil keputusan untuk hal-hal penting dalam rumah tangga.”

Swanny mengaku tak pernah hitung-hitungan dengan suami dalam hal keuangan. Ia tampak sangat bangga akan pengabdian suaminya bagi dunia pendidikan. Sebaliknya, saya dapat melihat bahwa suaminya pun sangat bangga akan dirinya.

“Jalan suamiku adalah mengabdi di dunia pendidikan. Kami bersyukur bahwa Tuhan tetap pelihara kami lewat jalan yang dibukakanNya bagiku. Meskipun berpenghasilan lebih tinggi dari suami, aku tahu bahwa aku tidak layak membanggakan diri. Karena semua yang aku capai hingga hari ini, semata-mata adalah anugerah.” pungkas Swanny menutup kisahnya.

***

Jakarta, 14 Desember 2020

Siska Dewi

Referensi: satu, dua

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun