Mohon tunggu...
Siska Dewi
Siska Dewi Mohon Tunggu... Administrasi - Count your blessings and be grateful

Previously freelance writer https://ajournalofblessings.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kisah Kasih Para "Malaikat" Berjas Putih

24 Oktober 2020   05:00 Diperbarui: 24 Oktober 2020   08:40 1217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dokter, sang malaikat berjas putih| Sumber: ipopba via Kompas.com

Seorang teman pernah berkeluh kesah tentang pelayanan RS yang menurutnya bak “tragedi kemanusiaan”. Ketika saya gali lebih dalam, meluaplah rentetan kata penuh emosi tentang biaya perawatan yang mahal serta banyaknya pemeriksaan yang tidak relevan, saat anaknya dirawat inap.

“Kalau anak saya sakit bukan di tengah pandemi, sudah saya bawa ke luar negeri.” ujarnya, membuat lidah saya kelu. Mengapa orang Indonesia terkesan senang berobat ke luar negeri?

Dilansir dari Kompas.com, ada dua alasan utama orang Indonesia berobat ke luar negeri. Pertama, kepastian diagnosis yang diartikan sebagai kepastian sembuh. Kedua, kurangnya SDM.

Jumlah dokter spesialis di Indonesia terendah di Asia Tenggara, hanya ada lima dokter spesialis untuk 1.000 orang. (Fathema D.R, Dirut Holding RS BUMN via Kompas.com)

Kenyataan di atas membuat saya tercengang. Beberapa wajah berkelebat dalam benak saya. Wajah para “malaikat” berjas putih yang Tuhan izinkan melintas di jalan peziarahan saya di dunia. Sungguh, suatu anugerah yang luar biasa, mengingat keberadaan mereka demikian langka.

Saya pernah berkisah tentang dokter obgin yang dipakai Tuhan untuk menyelamatkan putri bungsu saya, sejak hari pertama dia dilahirkan. Silakan klik di sini untuk membaca. Kali ini, saya ingin bercerita tentang beberapa “malaikat” lain yang telah menjadi berkat bagi saya.

Pendar Cahaya di Momen Kelam

Dokter Teddy namanya. Beliau hadir sekilas dalam perjalanan kami pada awal November 2015. Saat itu, beliau masih menjabat CEO sebuah RS swasta di Jakarta Utara.

Suatu hari, saya dikagetkan kabar dari Edfren, sepupu saya. Sudah seminggu lebih adik Edfren dirawat pasca stroke dan dalam keadaan koma. Tak ada penjelasan memuaskan dari tim dokter, sementara keluarga merasa kondisi pasien kian hari kian buruk. 

Majikan saya memperkenalkan Edfren kepada dokter Teddy. Saat adik sepupu saya dipindahkan ke rumah sakit tempatnya bertugas, beliau menanggalkan posisi sebagai orang tertinggi. Beliau turun tangan langsung menolong Edfren sejak ambulans tiba di UGD.

Meskipun akhirnya Edfren dan keluarga harus merelakan adiknya menghadap Yang Kuasa, namun edukasi dan empati tulus dokter Teddy beserta tim, telah membuka hati Edfren dan keluarga besarnya, sehingga mereka dapat menerima kenyataan dengan tabah.

Dokter Teddy kembali hadir dalam hidup saya pada akhir Mei 2017, saat ibu saya menderita sakit kanker serviks yang menyebar ke usus. Waktu itu, ibu saya tidak bisa makan dan minum. Beliau memuntahkan apa pun yang dimakan dan diminumnya.

Setelah seminggu dirawat inap dan menjalani aneka pemeriksaan tanpa kejelasan diagnosis, Ibu saya bertengkar dengan internis yang merawatnya dan bersikeras minta pulang.

Tanggal 30 Mei 2017, saya berhasil membujuk suster jaga untuk memberikan seluruh hasil pemeriksaan ibu. Sore itu, dengan membawa seluruh dokumen tersebut, saya bertemu dokter Teddy. Itulah pertemuan kami yang pertama.

Dokter Teddy mendampingi saya berkonsultasi dengan dokter Riki, seorang sub-spesialis gastroentero-hepatologi. Dokter Riki menjelaskan tentang posisi benjolan yang memblokade jalan makanan menuju usus. Satu-satunya cara menolong ibu saya adalah operasi.

Saya ingat pesan dokter Teddy saat beliau mengantar saya hingga lobi rumah sakit malam itu. Beliau mendorong saya untuk berani membujuk ibu agar mau dioperasi, karena itu adalah satu-satunya jalan supaya ibu dapat meneruskan hidup dengan normal.

Beliau juga mengingatkan saya untuk berdoa pasrah. “Serahkan semua kepada Bapa di surga, Dia akan memberikan yang terbaik.” Syukur kepada Allah, ibu saya setuju untuk pindah rumah sakit dan setuju dioperasi.

Selama ibu saya dirawat, kami sungguh merasakan afeksi dari dokter Teddy. Bagi saya dan Edfren, beliau adalah pendar cahaya yang menerangi, ketika kelam menyelimuti jalan orang yang kami kasihi.

Tiga Serangkai Pengubah Paradigma Ibu Saya

Ilustrasi operasi (Computer photo created by wavebreakmedia_micro - www.freepik.com)
Ilustrasi operasi (Computer photo created by wavebreakmedia_micro - www.freepik.com)

Tanggal 31 Mei 2017, ambulans membawa ibu saya tiba di RS tempat dokter Riki bertugas. Sapaan “ayi” dari dokter Riki langsung membuat ibu saya tersenyum. Kata “ayi” dalam Bahasa Mandarin berarti bibi atau tante.

Sambil membaca hasil EKG, dokter Riki menyentuh tangan dan menatap mata ibu saya, lalu tersenyum dan berkata, “Bagus. Jantung ayi kuat.” Kalimat yang langsung membuka pintu hati ibu. Pancaran penuh harap dari mata ibu dan senyum di wajahnya, adalah isyarat bahwa beliau merasa diterima dengan hangat.

Malam harinya, dokter Boni, spesialis bedah yang akan melakukan operasi, datang. Dokter Boni selalu berkunjung pada malam hari, dan selalu menyapa ibu dengan panggilan “mama”.

Tanggal 5 Juni 2017, sebagai persiapan untuk operasi keesokan harinya, ibu saya diperiksa beberapa orang dokter. Sore hari, seorang dokter yang saya taksir usianya sekitar 40-an tahun, datang.

Ibu saya langsung memasang wajah tegang. “Kamu siapa? Kamu mau apa?” Melihat reaksi ibu, dalam hati saya berdoa semoga dokter ini cukup sabar. Teringat internis di rumah sakit sebelumnya yang sempat bertengkar dengan ibu kemudian menyerahkan tugas merawat ibu kepada suaminya. 

Doa saya terkabul. Dengan sabar, dokter itu memperkenalkan diri, “Saya dokter Denio, dokter jantung. Ibu besok mau operasi, kan? Saya mau periksa jantung Ibu.”

“Buat apa periksa jantung saya? Dokter Riki bilang jantung saya kuat!” Oh, jawaban yang tidak saya duga.

Dokter Denio menjelaskan mengapa perlu ada pemeriksaan oleh dokter jantung sebelum operasi. Dengan kosakata yang terbatas, saya berusaha menerjemahkan kepada ibu dalam dialek hokkien.

Keesokan harinya, operasi sukses. Tiga serangkai dokter Riki, dokter Boni, dan dokter Denio merawat ibu dan pelan-pelan mengubah paradigma beliau tentang dokter. Saya dapat melihat bagaimana ibu menerima dan menyayangi mereka.

Tuhan Mengirim Dua “Malaikat” Penyelamat pada Saat yang Tepat

Tanggal 16 Juli 2019 takkan saya lupakan. Sore itu, suami saya masuk rawat inap untuk rencana endoskopi keesokan harinya, karena hematokezia.

Dokter Denio diminta dokter Riki untuk mengevaluasi kondisi jantung suami saya sebelum tindakan endoskopi. Dari pemeriksaan ekokardiografi, dokter Denio meminta endoskopi ditunda. Dibutuhkan rawat inap untuk “membetulkan” jantung terlebih dahulu.

Saya tidak dapat melukiskan halai-balai (kekacauan) perasaan saya ketika melihat dia menulis pada rekam medis suami saya: decompensatio cordis, EF 20%. Malam itu, saya bersyukur kepada Tuhan. Dokter Denio hadir untuk menolong suami saya, tepat pada waktunya.

Saya ajak dokter Riki dan dokter Denio menyatukan doa. Kami percaya kuasa doa. Kami percaya Tuhan bekerja dengan cara yang ajaib. 

Awalnya, suami saya hanya mengeluh kembung dan batuk. Butuh beberapa minggu untuk membujuknya berobat ke dokter Riki. Ternyata, ada gangguan jantung dan ginjal kronis. Dibutuhkan hampir 8 bulan untuk mempersiapkan ginjal suami saya agar dapat dilakukan kateterisasi dan pemasangan ring pada pembuluh darah jantungnya.

Kateterisasi dan pemasangan ring dilakukan pada Jumat Pertama Maret 2020. Saat dokter Denio dan suami saya berjuang di ruang operasi, saya mempersembahkan seluruh usaha sang dokter beserta jiwa dan raga suami saya kepada Hati Yesus yang Maha Kudus, dalam doa tak kunjung putus.

Dokter Milenial “Pengantar” Saya ke Kompasiana

Di antara kisah haru di atas, terselip cerita lucu. Adalah dokter Indra, spesialis metabolik endokrin yang dirujuk dokter Denio untuk mengobati penyakit diabetes suami saya.

Suatu ketika, dokter milenial ini mempersilakan saya follow instagramnya. Jadi, dalam usia sebelas lustrum, saya membuat akun instagram, hanya untuk follow seorang dokter milenial.

Awalnya, saya isi akun saya dengan pindaian cerpen-cerpen lawas. Beberapa orang menyarankan kepada saya untuk membuat blog dan kembali menulis (hobi lama, salah satu sumber penghasilan untuk membayar uang kuliah, yang sudah tiga puluh tahun saya tinggalkan). Satu di antara mereka adalah Rosmani Huang yang mengajak saya menulis di Kompasiana.

Untuk Mestika, Calon Dokter, Sahabat Anak Saya

Ilustrasi dokter dan pasien (Designed by tirachardz/Freepik)
Ilustrasi dokter dan pasien (Designed by tirachardz/Freepik)
Kisah kasih para “Malaikat” berjas putih ini saya persembahkan untuk Mestika (nama samaran), calon dokter, sahabat anak saya. Mestika yang seharusnya sudah memulai ko-ass awal tahun ini, terpaksa bersabar karena pandemi.

Sangat dipahami jika Mestika merasa rugi uang dan waktu. Bayangan akan ilmu yang melimpah dari kesempatan berinteraksi dengan pasien, terpaksa dialihkan menjadi presentasi daring selama masa pandemi.

Mestika pernah bercerita bahwa seorang dokter harus melihat pasien secara holistik. Hal ini sungguh saya rasakan ketika berinteraksi dengan para “malaikat” dalam kisah ini.

Mereka tidak hanya melihat pasien dari keluhan yang disampaikan. Mereka juga tidak membatasi diri hanya dalam sub-spesialisasi yang menjadi bidang mereka saja. Mereka sungguh-sungguh memikirkan kondisi pasien secara holistik, sebagai manusia yang utuh dengan seluruh organ tubuh yang saling terkait, termasuk faktor emosional.

Pengalaman dengan para dokter dalam kisah ini, telah membuktikan kompetensi mereka yang mumpuni di bidang masing-masing. Dari aspek afeksi, mereka bekerja dengan hati. Mereka peduli, penuh empati dan belas kasih.

Menurut saya, kepastian diagnosis berbeda dengan kepastian sembuh. Kepastian diagnosis dipengaruhi oleh kompetensi teknis seorang dokter, termasuk kemampuan melihat pasien secara holistik dan bersikap profesional.

Saya tidak meragukan kepastian diagnosis dokter-dokter yang saya ceritakan di atas. Selain kompetensi teknis yang mumpuni, mereka memiliki kemampuan komunikasi yang baik.

Ilustrasi dokter dan pasien (Card photo created by ijeab - www.freepik.com)
Ilustrasi dokter dan pasien (Card photo created by ijeab - www.freepik.com)

Mereka memperlakukan pasien dengan hormat, menggali informasi, menjelaskan dengan terbuka mengenai tindakan medis yang akan dilakukan beserta konsekuensi positif dan negatifnya. Saya banyak belajar dari mereka.

Namun, sebaik-baiknya dokter berikhtiar, kesembuhan pasien adalah hak prerogatif Tuhan. Para “malaikat” yang saya kenal ini, adalah orang-orang yang sungguh mengandalkan Tuhan dalam pelayanan mereka.

Mereka menanggapi panggilan Tuhan dengan mengabdikan diri bagi peningkatan kualitas hidup para pasien yang Tuhan kirim kepada mereka, seraya mempersembahkan pengabdian mereka untuk kemuliaan Tuhan.

Seperti dokter Boni yang berpegang teguh pada semboyan AMDG (Ad Maiorem Dei Gloriam), inspirasi indah dari Santo Ignatius Loyola, yang secara total menyerahkan segenap hidup untuk keagungan Allah.

Sebagai pasien, suami saya sungguh merasa para dokter yang merawatnya adalah sahabat yang peduli akan kesehatannya. Sentuhan persahabatan menimbulkan motivasi dalam dirinya untuk sembuh.

Ya, para “malaikat” dalam kisah ini adalah oase di tengah belantara kekecewaan seperti yang dialami teman saya di awal cerita. Saya berdoa semoga kelak Mestika pun dapat menjadi oase yang memberkati banyak orang.

Dengan bertambahnya “malaikat-malaikat” berjas putih yang berdedikasi di masa depan, semoga orang-orang Indonesia tidak ragu lagi berobat di negeri sendiri. Selamat Hari Dokter Nasional!

Jakarta, 24 Oktober 2020

Siska Dewi

Referensi: 1, 2

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun