Mohon tunggu...
Siska Dewi
Siska Dewi Mohon Tunggu... Administrasi - Count your blessings and be grateful

Previously freelance writer https://ajournalofblessings.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kisah Nyata: Dampak Pola Asuh Helikopter

19 September 2020   19:14 Diperbarui: 24 September 2020   21:56 1344
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi ibu dan anak perempuan (Designed by tirachardz/Freepik)

Di kelas enam, saya berusaha keras memperbaiki prestasi saya. Namun, keinginan untuk kembali menjadi juara kelas justru berkembang menjadi tekanan psikologis. Alih-alih menjadi juara, prestasi saya di kelas enam malah melorot ke peringkat ketiga.

Beruntung kami pindah dari kota kecil Bagan Siapi-api ke Jakarta saat saya memasuki jenjang Sekolah Menengah Pertama. Ibu rupanya memahami bahwa sebagai anak kampung yang baru masuk kota, saya perlu banyak menyesuaikan diri. Beliau sudah cukup senang melihat saya dapat mempertahankan prestasi sebagai sepuluh besar di kelas selama duduk di bangku SMP.

Ibu memutuskan pendidikan lanjutan atas yang menjadi arah masa depan saya 
Sejak kecil, saya selalu bercita-cita menjadi guru. Di SMP, seorang guru menemukan potensi menjadi penulis dalam diri saya. Beliau merekrut saya menjadi tim majalah dinding. Lulus SMP, saya kubur cita-cita masa kecil dan mimpi masa remaja saya. 

Menurut ibu, jika saya menjadi guru, saya tidak dapat meningkatkan kesejahteraan keluarga. Apalagi jika saya menjadi penulis, meminjam istilah beliau, "masa depannya tidak jelas".

Patuh pada keinginan ibu, saya mendaftar ke SMEA jurusan Tata Buku (sekarang SMK jurusan Akuntansi dan Keuangan Lembaga). Pertimbangan ibu sangat sederhana. 

Jika saya lulus SMEA, saya sudah siap kerja di kantor. Pada saat itu, pekerjaan di bidang akuntansi termasuk pekerjaan yang cukup bergengsi. Jika ada rezeki, saya bisa melanjutkan kuliah di Fakultas Ekonomi sambil bekerja.

Syahdan, itulah yang terjadi pada diri saya. Campur tangan ibu di dalam memutuskan jurusan pendidikan lanjutan atas mengantar saya menjadi seorang mahasiswi yang bekerja di Kantor Akuntan Publik pada pagi hingga siang hari, dan kuliah di Fakultas Ekonomi jurusan Akuntansi pada sore hingga malam hari.

Setelah saya menikah, ibu menginginkan saya tetap bekerja
Setelah saya menikah, ibu tetap tinggal bersama saya. Beliau tidak ingin menjadi beban menantu. Karena itu, beliau ingin saya tetap bekerja. Untuk mendukung agar saya dapat bekerja dengan tenang, beliau mengatur seluruh urusan rumah tangga dan anak-anak saya.

Beruntung, suami saya juga mendukung saya tetap bekerja. Menurut suami saya, tetap berkarier adalah sesuatu yang baik untuk aktualisasi diri saya. Dia juga tidak keberatan ibu yang mengatur urusan rumah tangga dan anak-anak kami.

Dua hal yang membantu saya menetralkan dampak negatif pola asuh helikopter

Menyigi potensi dampak negatif pola asuh helikopter yang dijelaskan di atas dan merefleksikan pengalaman hidup sendiri, saya merasa ada dua hal yang membantu saya menetralkan dampak negatif pola asuh helikopter.

Pertama, saya memang merasakan tekanan psikologis di kelas lima dan kelas enam SD. Ketika itu, saya tidak berhasil mempertahankan gelar juara kelas. Tekanan psikologis tersebut membuat prestasi saya semakin menurun meskipun saya berusaha agar dapat meningkat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun