Mohon tunggu...
Anjelika Oktavia
Anjelika Oktavia Mohon Tunggu... Mahasiswa - college student

be a voice, not an echo.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Asah Soft Skill Sejak Kuliah, Pentingkah?

20 Juni 2021   10:53 Diperbarui: 20 Juni 2021   10:57 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

World Economic Forum menyatakan bahwa ada 10 skills yang harus dikuasai karena akan dibutuhkan di tahun 2025. Untuk mencapai sebuah hasil yang maksimal, diperlukan proses yang cukup panjang. Tak perlu khawatir jika kamu merasa proses tersebut berjalan perlahan, karena yang terpenting ialah kamu mampu untuk fokus kepada bertambahnya kualitas diri. 

Oleh karena itu, penting untuk para mahasiswa ataupun kaum milenial mempersiapkan dan melatih diri untuk menyempurnakan skill tersebut dan turut menjawab tantangan dunia kerja di tahun 2025. 

Bersama-sama kita akan membahas dua dari sepuluh skill yang dibutuhkan oleh mahasiswa dalam rangka mempersiapkan diri untuk dunia kerja secara lebih detail dan mendalam.

Dalam Instagram resmi miliknya, Ditjen Dikti menyatakan bahwa, "Penguatan soft skill bagi mahasiswa perlu dilakukan sejak di bangku kuliah melalui berbagai metode pembelajaran," Lalu, adakah yang terbesit di pikiran salah satu dari kalian mengenai sudah sejauh apa para mahasiswa mempersiapkan diri untuk menghadapi dunia kerja di tahun 2025?

Seperti yang kita tahu bahwa soft skill tak kalah penting dari hard skill. Karena soft skill akan memudahkan kita dalam menghadapi berbagai persoalan dalam hidup yang akan semakin menantang. Namun, realitanya pasti akan beragam. Mungkin ada mahasiswa yang saat ini belum menaruh perhatian lebih kepada soft skill yang akan dibutuhkan, atau bahkan ada yang sudah siap untuk mengembangkan dan mulai melatih soft skill tersebut. Seperti Regitta Octavia, mahasiswa jurusan Telekomunikasi di Politeknik Negeri Jakarta yang mengaku sudah mulai mengembangkan soft skill yang dimiliki walaupun saat ini ia masih berada di semester dua. "Saya mulai mengikuti kegiatan organisasi seperti kelompok studi mahasiswa yang mempelajari beberapa bidang dari program studi yang saya ambil sebagai salah satu awalan untuk mengembangkan soft skill yang saya miliki." ujarnya.

Lalu, dengan adanya pandemi Covid-19 membuat pembelajaran harus dilaksanakan secara daring. Peluang untuk mengalami stress semakin besar karena tekanan yang diterima semakin banyak. Riset yang berjudul "Gambaran Psikologis Mahasiswa dalam Proses Pembelajaran Selama Pandemi Covid-19" yang termuat di Jurnal Keperawatan Jiwa terbitan Universitas Muhammadiyah Semarang, menggunakan sampel 190 mahasiswa. Hasil penelitian itu menunjukkan 41,58% responden mengalami kecemasan ringan dan 16,84% merasakan kecemasan sedang.

Lalu bagaimana cara untuk menghadapi situasi tersebut? Tentunya setiap individu memilki cara yang berbeda-beda. Salah satunya Ibnu Fajar, mahasiswa jurusan Teknik Kepelabuhanan di Institut Transportasi dan Logistik Trisakti memiliki caranya sendiri saat mengatasi stress dan tekanan yang ada. "Karena saya masih di semester dua, tekanan pasti tidak seberat para mahasiswa yang sudah berada di semester akhir. Tetapi sejauh ini yang saya lakukan adalah organizing dan kurangi overthinking. Tugas selalu langsung dikerjakan supaya tidak menumpuk, karena kalau menumpuk akan kesulitan dan bisa memicu stress. Kurangi juga berpikir berlebihan karena hanya akan memperburuk situasi dan kondisi." ujar Ibnu Fajar. Ketika dihadapkan kepada sebuah kegagalan atau keterpurukan, pasti ada banyak hal yang kita rasakan dan pikirkan. Pengendalian atas situasi ini sangatlah penting, karena mengingat dunia kerja nantinya akan lebih menantang jika dibandingkan dengan dunia perkuliahan. Oleh karena itu, soft skill pertama yang dibutuhkan yaitu resilience, stress tolerance, dan flexibility.

Resilience dan stress tolerance dapat diartikan sebagai ketangguhan dan ketahanan seseorang dalam menghadapi suatu masalah tanpa merubahnya menjadi sesuatu yang negatif baik untuk diri sendiri maupun orang lain. Sedangkan flexibility merupakan kemampuan beradaptasi dan bekerja dengan efektif dalam situasi yang berbeda dengan berbagai individu atau kelompok.

Menurut George Bonanno, seorang profesor psikologi klinis di Universitas Columbia, elemen utama resilience adalah persepsi. Tergantung kepada bagaimana seseorang memandang suatu peristiwa, apakah menjadi traumatis atau dianggap sebagai kesempatan untuk belajar dan berkembang. 

Setiap orang memiliki batas ketahanan yang berbeda. Ada yang sebelumnya tidak tangguh, tetapi ketika dihadapkan pada suatu masalah, ia akan belajar bagaimana untuk berjuang dan bertahan. Itu semua dapat dipelajari dan dilatih.

Jika kita memiliki resilience, stress tolerance, dan flexibility, hal tersebut akan membantu kita untuk bangkit kembali dan memiliki mekanisme pertahanan diri yang sehat. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa kehadiran mereka tidak menghilangkan masalah, baik masalah pribadi maupun masalah yang timbul di dunia kerja nantinya. Namun, hal tersebut membuat kita mampu untuk melihat dari sisi yang berbeda, sehingga dapat menemukan sisi positif dan mengatasi stress dengan lebih baik.

Apabila kita sebagai mahasiswa sudah memiliki keterampilan untuk mengatasi dan menghadapi stress beserta tekanan yang ada, maka akan lebih mudah untuk mengadopsi dan mengembangkan skill yang lainnya. Karena dengan kondisi mental yang sehat, pemikiran yang positif, dan pertahanan diri yang baik, kita akan mampu memaksimalkan kinerja dalam proses pengembangan skill yang dibutuhkan.

Sebagai seorang mahasiswa, memiliki sikap proaktif sangatlah penting. Hadapi masalah yang ada, bukan malah diabaikan. Cari solusi dengan menganalisis masalah dan pikirkan apa yang harus dilakukan, buatlah rencana, lalu ambil keputusan. Namun, sebelum mengambil sebuah keputusan, hendaknya kita memperhatikan berbagai aspek agar hasilnya menjadi sebuah keputusan yang terbaik. Dalam hal ini, soft skill critical thinking dan analysis sangat dibutuhkan.

Critical thinking adalah kemampuan untuk berpikir secara jernih dan rasional tentang apa yang harus dilakukan atau apa yang harus dipercaya. Seseorang yang memiliki kemampuan berpikir kritis mampu menyimpulkan sebuah konsekuensi dari apa yang diketahui. Dan juga tahu bagaimana cara memanfaatkan informasi yang telah didapatkannya untuk menyelesaikan masalah, mencari sumber informasi yang relevan untuk disampaikan pada dirinya sendiri. Ketika berpikir kritis, kita tidak hanya menerima semua argumen dan kesimpulan begitu saja, tapi juga mempertanyakan validitas dari argumen dan kesimpulan tersebut. Sedangkan analysis merupakan bagian dari critical thinking. Dalam proses meningkatkan pemikiran atau mencari kebenaran terhadap informasi yang diterima dilakukan dengan proses analisis.

Dalam buku Student Guide to Historical Thinking (2011) Ricard Paul dan Linda Elder menegaskan tentang pentingnya berpikir kritis dalam diri seorang mahasiswa yang bertujuan agar mampu mencermati berbagai fenomena dan realitas. Karenanya, sudah menjadi sebuah keharusan bagi para mahasiswa untuk merespons dan memiliki kesadaran akan berbagai persoalan diri dan masyarakatnya sesuai dengan kompetensi dan bidang keilmuan yang digelutinya dengan cara mengidentifikasi masalah, menganalisis, dan selanjutnya dapat memberi jalan keluarnya.

Salah satu kondisi yang pernah dialami oleh Regitta Octavia, mahasiswa jurusan Telekomunikasi di Politeknik Negeri Jakarta yaitu kondisi yang mengharuskan ia untuk keluar dari zona nyaman. "Tentu ada banyak hal yang menjadi pertimbangan. Banyak hal pula yang harus dianalisis seperti bagaimana prospek kedepannya, dan faktor-faktor pendukung lainnya yang membuat saya dapat membuat keputusan besar tersebut." ujar Regitta Octavia.

Sering pula kita melakukan sesuatu karena itu merupakan hal yang lumrah atau sesuatu yang sudah dilakukan secara turun-temurun. Kita tidak mencari tahu alasan mengapa kita melakukan hal itu, apa dasar yang membuat kita melakukan itu, dan sebagainya. Sebenarnya, penting untuk mempertanyakan itu semua. Karena inti dari critical thinking dan analysis adalah bertanya dan rasa ingin tahu. Pertanyaan-pertanyaan dapat muncul dalam benak seseorang karena ia memiliki rasa keingintahuan yang tinggi. Dan dengan adanya pertanyaan itu pula yang akan membuat kita mengerti.

Keterampilan untuk berpikir kritis diibaratkan seperti sebuah tameng. Sebagai contoh, jika kamu mendapatkan sebuah informasi, kamu tidak akan langsung menerima dan menelan informasi itu mentah-mentah. Tetapi, yang kamu lakukan ialah mengidentifikasi, mengobservasi, dan menganalisis informasi tersebut supaya jelas dan terbukti kebenarannya. Hal ini sangatlah penting karena di era yang serba digital seperti saat ini, arus informasi mengalir dengan deras. Jika kita tidak memiliki tameng atau pertahanan diri seperti keterampilan untuk berpikir secara kritis dan logis, maka akan berbahaya karena akan membentuk peluang tersebarnya informasi yang bersifat hoax dan kita akan mudah dimanipulasi oleh informasi yang diterima.

Terdapat salah satu penggambaran yang cukup unik disampaikan oleh salah satu narasumber, Ibnu Fajar, "Misalkan ada jendela yang tiba-tiba berdenyit, pasti ada saja orang yang berpikiran bahwa itu adalah perbuatan makhluk halus atau hantu. Padahal kenyataannya, bisa saja hal tersebut diakibatkan oleh perubahan suhu atau faktor yang lainnya. Atau contoh lain saat ada sesuatu yang sedang ramai diperbincangkan seperti Omnibus Law waktu itu, pasti ada saja orang yang hanya ikut-ikutan tanpa tahu dengan jelas apa yang sedang diperdebatkan. Itulah mengapa penting untuk berpikir kritis dan analisis dengan mempertanyakan sekaligus mencari tahu mengenai hal tersebut." ujar mahasiswa jurusan Teknik Kepelabuhanan di Institut Transportasi dan Logistik Trisakti itu.

Lalu bagaimana caranya agar kita mampu berpikir secara kritis? Mulailah dengan berpikir secara objektif dan seadil mungkin terhadap suatu topik atau isu. Karena tak dapat dipungkiri dalam proses analisis nantinya kamu akan  menemukan berbagai macam argumen dari orang lain yang tidak bisa kita abaikan kebenarannya. Analisis alasan dan faktor-faktor pendukung mengapa seseorang dapat memiliki argumen tersebut. Kita harus terbuka terhadap perbedaan agar kita dapat menemukan pandangan-pandangan baru yang dapat dipertimbangkan kebenarannya. Setelah itu, evaluasi argumen yang kamu miliki untuk menentukan apakah hal itu valid atau tidak. Selanjutnya yang tak kalah penting, jangan lupa perhatikan efek dan implikasi dari argumen tersebut.

Berpikir kritis dan analisis tentunya sangat penting apalagi di dunia kerja nantinya. Karena kita akan selalu dihadapkan pada suatu permasalahan ataupun pilihan yang mengharuskan kita untuk membuat sebuah keputusan secara bijaksana.

Masih ada empat tahun lagi sebelum kita bertemu dengan tahun 2025. Masih tersisa banyak waktu yang dapat dimanfaatkan oleh kita sebagai mahasiswa untuk turut mengembangkan skill yang nantinya akan dibutuhkan. Jika kamu belum memulainya, jangan khawatir. Tidak ada kata terlambat untuk memulai sesuatu hal yang baik. Dengan selesainya artikel ini semoga dapat menjadi suatu awalan yang baik untuk para mahasiswa yang baru saja ingin mulai mengembangkan dan melatih skill terutama soft skill yang dimiliki. Bagi yang sedang berada dalam proses tersebut, teruslah berjuang dan kembangkan hingga mencapai titik yang diinginkan. Perlahan, namun pasti. Mulailah dengan belajar mengendalikan stress dan tekanan yang diterima, tak lupa juga dengan mengasah keterampilan untuk berpikir kritis dan analisis guna menjawab tantangan dunia kerja di tahun 2025. Karena kalau bukan diri kita sendiri, siapa lagi?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun