Mohon tunggu...
Anjani Viani Lestari Putri
Anjani Viani Lestari Putri Mohon Tunggu... Lainnya - Love yourself

Bismillahirrahmanirrahim

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Teks Kritik Film "Bumi Manusia"

10 Maret 2021   00:13 Diperbarui: 10 Maret 2021   07:02 1085
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Film ini tentang nasionalisme, namun di sisi lain ditemukan beberapa elemen film yang secara implisit justru sedang menormalisasi dominasi Barat. Jika tidak cermat dan kritis saat menontonnya, alih-alih meningkatkan nasionalismemu, kamu justru akan terseret dalam simbol-simbol yang melanggengkan nilai-nilai Barat.


Film Bumi Manusia sedang mengkritik dan menyadarkan kita bahwa saat ini kita masih di bawah dominasi Barat, dalam segala hal. Namun sadarkah penonton, jika tidak hati-hati menontonnya, film ini masih di bawah bayang-bayang nilai-nilai Barat.

Pertama, film pemberontakan terhadap ketidakadilan hukum Belanda, tapi sadar atau tidak sadar film ini masih menggunakan definisi, nilai, dan ukuran yang dianggap baik oleh orang Belanda sendiri (mungkin ini terkait dengan tuntutan film untuk memenuhi selera pasar). Itu bisa dilihat dari pemeran utamanya (pribumi) yang memiliki tipikal wajah Indo. Minke kecil memang kental wajah pribumi, tapi saat dewasa sutradara tidak memasang pemeran berwajah pribumi. Iqbal Ramadhan berwajah coklat cenderung putih bersih, hidung mancung, dan bibir tipis sebagaimana ciri native.
Ine Febriyanti yang memerankan Nyai Ontosoroh juga demikian. 

Ia yang memerankan gundik pribumi, memiliki garis-garis wajah Indo seperti berkulit putih, mancung, dan perawakan tinggi. Pramoedya menggambarkan Nyai Ontosoroh memang berkulit kuning langsat namun tidak ada deskripsi tentang hidung mancung. Sanikem atau Nyai Ontosoroh muda diperankan Amanda Khairunisa yang juga berparas Indo.
Jan Dapperste alias Panji Darman, teman sekelas Minke di H.B.S pribumi yang diangkat menjadi anak oleh orang Belanda. Diperankan oleh pemuda berhidung mancung berkulit putih, padahal dalam film ini dia sebagai pribumi. Pemeran yang berwajah pribumi dalam film ini berperan sebagai pembantu Annelis, pekerja di tanah pertanian Nyai Ontosoroh, pendemo, warga yang bergunjing, pekerja di percetakan dan yang mencolok adalah kakak Minke yang kontras dengan wajah Minke. Kakak Minke berparas bulat, bibir tebal, dan berperawakan pendek, itulah pribumi. Ibu Minke berwajah pribumi, namun pikirannya sangat terbuka seperti orang Barat (berbeda sekali dengan ayah Minke yg otoriter).

Hanung sukses memilih para pemeran pembantu pribumi namun gagal memilih pemeran utama pribumi. 

Kedua, setting di era pra-kemerdekaan menyebabkan penonton membutuhkan energi lebih untuk menerjemahkan teks-teks Pramoedya yang diejawantahkan dalam film.  film menyuguhkan adegan-adegan yang masih mencerminkan kuatnya dominasi Belanda dalam kehidupan sosial Minke. Hasilnya adalah sikap pribumi yang setengah-setengah dalam melawan hegemoni Belanda.

Ini yang dikhawatirkan melanggengkan dominasi Barat dalam film ini. Namun ketika penonton kritis dan tahu memposisikan diri saat ini sebagai generasi muda maka hal ini bisa diatasi.

Misalnya, percakapan di kereta saat Minke dengan tegas menolak permintaan Annelis kembali meneruskan pendidikan ke sekolah Belanda H.B.S dengan alasan Belanda telah sewenang-wenang terhadapnya, Annelis, dan Nyai Ontosoroh. Aku pikir adegan itu awal bagaimana film ini memperlihatkan perjuangan Minke melawan Belanda.

Namun ternyata saya salah, karena Minke (dengan mudah tanpa banyak pertimbangan) dan berakhir dengan kecewa karena sekolah menolaknya kembali. Kembalinya Minke dijawab dengan penolakan pihak sekolah, meski beberapa saat kemudian ia bisa bersekolah lagi karena tuntutan alumni yang melihat Minke siswa cerdas.

Minke yang dianggap cerdas membuktikan dia lulus ranking 1 dan terbaik nomor dua di Surabaya. Dan ini dianggap sebagai pencapaian luar biasa. Sekali lagi ini membuktikan tentang keberhasilan Minke diukur dari nilai-nilai pendidikan Belanda. Nilai ini hingga saat ini masih erat di masyarakat kita yang selalu menggunakan nilai-nilai Barat untuk menentukan kesuksesan dan kebahagiaan masyarakat kita.

Ketiga, detail adegan lain yang mendukung argumen tentang perlawanan setengah-setengah terhadap Belanda yaitu saat Nyai berbicara berapi-api membenci Belanda, dan menolak hukum Belanda dengan keras, namun pada saat bersamaan kamera mengarahkan pada makanan yang sedang dimakan yakni kentang dan daging yang merupakan makanan pokok orang Belanda. Dalam beberapa adegan lain mereka juga menyuguhkan susu dan roti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun