Mohon tunggu...
Veeramalla Anjaiah
Veeramalla Anjaiah Mohon Tunggu... Administrasi - Wartawan senior

Wartawan senior

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Gencatan Senjata Berakhir di Sahara Barat, Orang Indonesia Menyesalkan Langkah Terbaru Polisario

22 November 2020   06:36 Diperbarui: 22 November 2020   07:35 600
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Duta Besar Maroko Ouadia Benabdellah (kanan) sedang bertemu dengan Presiden Joko Widodo (kiri) dan Menteri Luar negeri Retno LP Marsudi (kedua kiri) di Istana Presiden dalam upacara penyerahan surat kepercayaan kepada Presiden.| Sumber: Kedutaan Besar Maroko di Jakarta

Oleh Veeramalla Anjaiah

 Indonesia, negara mayoritas Muslim terbesar di dunia, jauh dari Maroko di Afrika Utara. Tetapi orang Indonesia peduli dengan apa yang terjadi di negeri yang jauh itu karena baik orang Indonesia maupun Maroko merupakan teman dekat.

"Memang benar hubungan kami sangat baik dengan Indonesia. Kami sangat mendukung integritas dan kedaulatan wilayah Indonesia," Duta Besar Maroko untuk Indonesia Ouadia Benabdellah mengatakan kepada penulis baru-baru ini.

Warga Indonesia khawatir dengan insiden terbaru di Sahara Maroko yang juga dikenal sebagai Sahara Barat, wilayah yang telah menikmati kedamaian selama 29 tahun terakhir.

Baru-baru ini, Frente Polisario atau Front Polisario yang didukung oleh Aljazair, sebuah kelompok pemberontak bersenjata separatis, yang ingin mendirikan negara Sahara Barat yang merdeka, mengganggu perdamaian di zona penyangga dan membatalkan gencatan senjata tahun 1991 dengan Maroko secara sepihak. Kelompok pemberontak kecil, yang memiliki beberapa ribu gulungan bersenjata, menyatakan perang melawan Maroko.

Lebih dari 80 persen Sahara Barat berada di Maroko sementara Polisario menguasai 20 persen gurun, di mana tidak banyak orang tinggal. Sebagian besar orang Sahrawi tinggal di Maroko. Beberapa ribu pengungsi Sahrawi tinggal di Tindouf, Aljazair, di mana Polisario mendirikan pemerintahan pengasingan dengan dukungan penuh dari Aljazair. 

Apa yang sebenarnya terjadi di Sahara Barat baru-baru ini?

Peta Maroko | Sumber: Kedutaan Besar Maroko di Jakarta
Peta Maroko | Sumber: Kedutaan Besar Maroko di Jakarta
Menurut Kementerian Luar Negeri Maroko, milisi bersenjata Polisario memasuki daerah Guergarate, yang terletak di dekat perbatasan Maroko-Mauritania, pada tanggal 20 Oktober dan memulai blokade orang dan barang di sepanjang perbatasan.

Maroko telah beberapa kali memberi tahu Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai kegiatan banditisme dan penutupan jalan tersebut. Kurangnya tanggapan PBB mendorong Angkatan Bersenjata Kerajaan Maroko (FAR) untuk melancarkan operasi pada tanggal 13 November untuk mengakhiri blokade sesuai dengan atribusi dan tugasnya dan sepenuhnya patuh kepada legalitas internasional.

"Setelah berkomitmen untuk menahan diri selama ini, dalam menghadapi provokasi dari milisi Polisario, Kerajaan Maroko tidak punya pilihan lain selain memikul tanggung jawabnya untuk mengakhiri situasi kebuntuan yang ditimbulkan oleh tindakan ini dan memulihkan gerakan sipil serta komersial yang bebas," ujar Kementerian Luar Negeri Maroko dalam sebuah pernyataan.

Polisario, lanjut Kementerian, terus menerus mengganggu pengamat militer PBB di kawasan itu. 

"Tindakan yang terdokumentasi ini merupakan tindakan destabilisasi yang telah direncanakan sebelumnya, yang mengubah status daerah tersebut, melanggar perjanjian militer dan merupakan suatu ancaman nyata bagi keberlanjutan gencatan senjata," kata Kementerian.

Intervensi tersebut, kata FAR, adalah 'non-ofensif', dan tidak ada tentara Maroko yang terluka dalam operasi tersebut. Polisario memang melepaskan tembakan ke tentara Maroko di Guergarate sebelum melarikan diri ke wilayah Mahbes, di mana mereka melancarkan serangan lain. Tentara Maroko menangkis kedua serangan tersebut.

Banyak negara, seperti Uni Arab Emirat, Bahrain, Kuwait, Oman, Arab Saudi, Qatar, Yordania, Mesir, Sao Tome dan Principe, Djibouti, Republik Afrika Tengah, Komoro dan Gabon, mengecam tindakan Polisario dan mendukung tindakan Maroko dalam melawan milisi di zona penyangga. 

Menanggapi hal ini, Polisario menyatakan pada 14 November bahwa gencatan senjata yang telah berlangsung selama 29 tahun antara Polisario dan Maroko tidak lagi berlaku. Keesokan harinya, diumumkan bahwa mereka akan memobilisasi ribuan sukarelawan untuk berperang melawan Maroko. 

"Ribuan sukarelawan yang telah menyelesaikan pelatihan mereka sedang bersiap untuk pergi ke wilayah militer," kata Mohamed Salem Ould Salek, 'menteri luar negeri' Republik Demokratik Arab Sahrawi (SADR), pemerinthan Polisario, kepada AFP.

Tetapi Maroko mengumumkan bahwa mereka akan tetap berpegang pada gencatan senjata 1991. Raja Maroko Mohammed VI, menurut Duta Besar Ouadia, melakukan percakapan telepon dengan Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres baru-baru ini untuk membahas situasi terbaru di zona Guergarate. 

"Selama percakapannya dengan Guterres, Yang Mulia Raja berkata bahwa Kerajaan Maroko akan terus mengambil tindakan yang diperlukan untuk memastikan ketertiban dan menjamin pergerakan orang dan barang yang aman dan lancar di wilayah perbatasan antara Kerajaan dan Republik Islam Mauritania," kata Kementerian Luar Negeri Maroko dalam sebuah pernyataan.

Banyak orang Indonesia menyesalkan tindakan provokatif Polisario, yang mengganggu perdamaian, dan menghargai tindakan serta upaya Maroko untuk mengembalikan perdamaian di Sahara Barat.

"Polisario tidak memiliki niat baik. Anda tidak bisa menyelesaikan semua masalah dengan menggunakan kekerasan. Kedua belah pihak duduk bersama dan menyelesaikan masalah melalui negosiasi damai," kata Dr. Arisman, seorang pakar dan direktur eksekutif Pusat Kajian Asia Tenggara (CSEAS) di Jakarta, kepada penulis baru-baru ini.

Senada dengan itu, jurnalis senior dari Jakarta mengecam Polisario.

"Langkah Polisario untuk membatalkan gencatan senjata adalah sebuah langkah mundur. Tindakannya akan membawa lebih banyak penderitaan bagi orang-orang Sahrawi. Mereka melakukan ini pada saat sulit pandemi COVID-19," kata Muhammad Anthoni, jurnalis veteran Indonesia, kepada penulis.

"Pemerintah Indonesia harus meminta kedua pihak untuk menghormati gencatan senjata 1991. Perang tidak baik untuk kita semua. Jika perang pecah di Sahara Barat, sektor pertanian kita akan terpengaruh. Karena kita mengimpor fosfat, bahan utama dalam pupuk, dari Maroko."

Indonesia yang memiliki hubungan baik dengan Maroko dan Aljazair tetap menjaga netralitas dalam masalah Sahara Barat. Namun Indonesia menginginkan masalah tersebut untuk diselesaikan melalui negosiasi damai.

Saat mengomentari tindakan Maroko terhadap Polisario, seorang pemuda Indonesia mengapresiasi upaya Maroko dalam menjaga perdamaian dan mengamankan lalu lintas jalan raya di kawasan Guergarate.

"Maroko adalah negara berdaulat dan Sahara Barat adalah bagian integral dari Maroko. Apa yang dilakukan Maroko dalam menghapus blokade jalan raya adalah langkah yang benar. Maroko juga memberitahu PBB tentang kegiatan ilegal Polisario di zona penyangga," kata Sanjeevini Pertiwi, seorang mahasiswi yang berusia 23 tahun.

Mengapa tindakan Polisario ini mudah dimengerti?

Polisario dan SADR-nya kehilangan cahayanya dan menjadi sasaran kemarahan orang-orang Sahrawi. Menurut pemberitaan terbaru di media internasional, banyak pemuda anggota Polisario yang marah kepada pimpinan Polisario atas kondisi kamp pengungsian yang menyedihkan. Kamp-kamp pengungsi dikontrol dengan ketat dan mereka tidak diizinkan untuk meninggalkan kamp. Sistem satu partai membatasi hak-hak rakyat dan menyebabkan penyalahgunaan kekuasaan.

"Polisario ingin meningkatkan citra di kalangan kadernya. Itulah mengapa mereka membatalkan gencatan senjata dengan Maroko," kata Sanjeevini.

Beberapa pengungsi yang frustasi bergabung dengan kelompok teroris Negara Islam (IS) dan al-Qaeda. Ada juga laporan tentang orang-orang yang melarikan diri dari cengkeraman Polisario dan membelot ke Maroko.

Masalah Sahara akan berakhir dengan mudah jika Aljazair berhenti mendukung Polisario.

Aljazair memiliki dendam terhadap Maroko setelah perang perbatasan yang disebut Perang Pasir pada tahun 1963 antara kedua negara. Itulah alasan utama mengapa Aljazair mendorong Polisario dan mendukungnya dengan uang dan senjata untuk berperang melawan Maroko.

Baik PBB maupun komunitas internasional harus menekan Aljazair untuk memerintahkan Polisario menerima gencatan senjata 1991 dan kembali ke meja perundingan.

 

Penulis adalah wartawan senior yang tinggal di Jakarta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun