Mohon tunggu...
anita russian
anita russian Mohon Tunggu... Lainnya - Makhluk

Cari duit, secukupnya. Berbagi, jangan lupa.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kelakarku dengan Abang Gorengan di Hari Kemerdekaan

17 Agustus 2021   20:15 Diperbarui: 17 Agustus 2021   21:57 341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Selera humor seseorang memang berbeda. Tapi, apa yang terpampang ini, jelas menghiburku. Baru saja aku ingin menceritakan kepada kalian, sayangnya harus kutahan karena dari kejauhan kulihat abang gorengan langganan sedang berjalan cepat kearahku sambil melambaikan tangan, seraya menahan tak ingin ketinggalan.

Langkah kakinya terkangkang karena beban pikul gorengan beserta propertinya yang lumayan menghambat jalannya dan tentu cukup menguras tenaga. Uniknya, segala barang yang diangkat bahunya seolah tahu diri. Kilauan minyak hitamnya saja enggan tumpah ruah meski tergoncang kesana kemari apalagi gorengannya yang berjajar, mereka rapat berbaris dan enggan goyah seolah menikmati ayunan langkah si abang gorengan.

Saking akrabnya, bapak tua bernama hasyim ini kupanggil abang. Ia hidup sendiri di Cirendeu, tempat aku dan keluargaku bersemayam sementara. Di sini Ia berkelana mencari pekerjaan serabutan. Perantaun bang hasyim ini bermula sebagai tukang bangunan. Tapi karena seringkali dipermainkan sang mandor, Ia pun keluar dari rombongan dan beralih profesi ke dunia makanan. Bagaimana tidak kesal? Honornya tidak dibayar selama hampir dua bulan sementara Ia harus kerja keras tanpa peduli terik dan hujan. Badannya memang terlihat kering kerontang. Jadi, wajar saja kalau dia memilih untuk keluar. Penghasilan yang seadanya membuat bang hasyim hidup terpisah dengan istri dan ketiga anaknya. Kini, mereka kembali tinggal di Pacitan.

Dengan gorengan, Ia berharap adanya peluang untuk hidup yang lebih terang. Hampir tiap hari bang hasyim melewati perkampunganku yang riuh dengan pemandangan Ibu-ibu gosip di sore hari. Meski sudah berkepala lima, rupa bang hasyim yang cukup tampan seringkali menjadi bahan godaan Ibu-ibu sekitar. Berkat wajahnya yang rupawan, gorengan bang hasyim pun tak pernah bersisa. Tapi, hal itu juga karena rasanya yang tiada dua. Tempatku memang menjadi lokasi favorit bang hasyim parkir. Godaan para ibu muda itu tak jarang membuat bang hasyim mesam-mesem. Mungkin dalam hatinya, ia merasa senang.

Saat membeli gorengan, jarang sekali aku langsung pergi. Biasanya kami bercerita tentang hari-hari. Bang hasyim terkadang mengeluh soal istrinya di kampung. Biasalah persoalan rumah tangga. Namun saat Ia bercerita, mataku seringkali hanyut melihat kelihaian tangannya mengiris tempe yang begitu tipis, memotong pisang yang dibentuk serupa kipas, hingga menggoyang adonan di antara minyak hitam yang membuat olahannya menjadi gurih tiada tanding. Selain tempe dan pisang, bang hasyim juga menyajikan tahu kosong, cireng, dan bakwan.

Ngomong-ngomong soal apa yang ingin kubagikan. Ternyata sama dengan apa yang ingin disampaikan bang hasyim kepadaku. Di antara angin yang sepoi, di bawah pohon mangga bu surya yang teduh, kami terbahak berbincang tentang kelakuan para petinggi baik yang anyar maupun tempo dulu. Hingga tak sadar, bang hasyim pun memakan gorengan yang jumlahnya bahkan lebih banyak dari yang kumakan.

 

Di hari kemerdekaan ini, banyak sekali terpampang wajah-wajah orang di sepanjang jalan. Penampakan wajahnya lebih besar dari tulisan yang disampaikan. Bahkan mataku yang empat terpaksa harus mendekat untuk membaca taglinenya. Ada tertulis kata merdeka. Tapi aku tidak paham apa maksudnya. Entah merdeka karena wajahnya bisa terpampang dimana-mana atau memang tulus berbicara tentang hari kemerdekaan. Walau sulit mengaitkan makna dengan apa yang diperbuatnya, paling tidak ada coretan harapan dibenaknya. Bukan urusanku apabila harapan itu sekedar untuk perutnya, keluarganya, atau orang terdekatnya.

Tidak hanya terjadi pada momen hari kemerdekaan saja. Wajah pejabat publik maupun politisi yang menghiasi sepanjang jalan desa juga erat kaitannya dengan Olimpiade di negeri sakura. Aku kira awalnya mereka ingin menjadi bintang iklan tapi mengapa tidak ada produk yang dijual. Hanya wajahnya yang gitu-gitu saja. Memang ada kata mutiara yang terpampang tapi kecil tulisannya. Justru, wajahnya yang menghiasi lebih dari setengah poster yang dipajang. Apa iya mukanya yang ingin dijual? Kami pun lanjut berkelakar. Walau kami tidak tahu siapa sebenarnya mereka. Tapi heran juga ketika disandingkan dengan peraih medali, lagi-lagi wajah mereka mengalahkan para pemenang. Hingga akhirnya, lelucon kami berakhir pada tanda tanya. "Yang mau dikenang itu sebenarnya siapa? Politisinya atau ucapan selamatnya?"

Beberapa di antaranya tidak kami kenal. Sesekali kami lihat di televisi warung kopi Pak ahmad. Tapi, apa yang mereka bicarakan juga tidak kami mengerti. Mungkin karena bahasanya yang terlalu tinggi. Saling timpal omongan tersebut membuat kami betah duduk di halaman rumah bu surya. Diantara bebatuan yang tertanam entah dari kapan, kami tenggelam dalam perbincangan.

Berpikir soal batu ini asyik pula rupanya. Meski seringkali terinjak, bahkan kadang ditendang, mereka mampu tenteram hidup berdampingan. Memang kami tidak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan tapi kami merasakan sentuhan yang diberikan. Ahiy! Lanturan kami pun semakin panjang lebar tidak karuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun